Integrasi Regional ASEAN
Makmur Keliat, PENGAJAR ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UI
Sumber : KOMPAS, 18 November 2011
Empat tahun dari sekarang, ASEAN diproyeksikan
menjadi suatu komunitas regional. Tidak hanya dalam pengertian komunitas
politik-keamanan, sosio-kultural, tetapi sekaligus juga ekonomi. Ratusan
rencana aksi telah dirancang untuk menuju tahun 2015 itu.
Integrasi regional Asia Tenggara tampaknya hanya
masalah waktu. Namun, di tengah proses itu, muncul sikap pesimistis tentang
manfaat dari integrasi itu bagi ASEAN. Salah satu nada pesimistis dikemukakan
Syamsul Hadi (Kompas, 16/11/2011). Dalam bagian akhir tulisan, ia mengajukan
pertanyaan: apakah Indonesia memang harus terus ”setia” mendudukkan diri
sebagai ”konsumen massal” bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang
beroperasi di kawasan ASEAN?
Satu Pasar Sepuluh Negara
Apa yang dicemaskan Syamsul bukan tak beralasan.
Persoalan besarnya terletak pada sudut pandang melihat gagasan komunitas
ekonomi ASEAN melalui konsep ”pasar tunggal” dan ”basis produksi tunggal” itu.
Banyak gugatan bisa dilontarkan.
Misalnya, apakah ”Indonesia” memang sudah jadi
”pasar tunggal”? Apakah interaksi ekonomi dan lalu lintas faktor produksi
antarwilayah di seluruh Indonesia, misalnya antara Papua dan Jawa,
merefleksikan telah hadirnya ”pasar tunggal” nasional? Bagaimana kita bisa
menjelaskan Indonesia telah jadi ”pasar tunggal” ketika ada gap sangat besar
antarwilayah dalam fasilitas infrastruktur fisik seperti jembatan, pelabuhan,
dan jalan?
Tidakkah lebih baik membuat seluruh wilayah
Indonesia, baik yang maju maupun tertinggal, terintegrasi menjadi suatu ”pasar
tunggal” nasional lebih dulu sebelum menuju ”pasar tunggal” ASEAN? Tidakkah
gagasan ”pasar tunggal” ASEAN akan membuat wilayah yang lebih maju dan
kota-kota besar di Indonesia lebih terintegrasi dengan kawasan ASEAN daripada
dengan wilayah Indonesia sendiri? Mengapa tidak mendahulukan konsep ”pasar
tunggal” Indonesia daripada pasar tunggal ASEAN? Bagaimana kita bisa meyakinkan
publik bahwa konsep ”pasar tunggal” ASEAN 2015 akan memperkuat ”pasar tunggal”
Indonesia?
Rangkaian pertanyaan ini menunjukkan ada persoalan
legitimasi politik pada gagasan ”pasar tunggal” ASEAN itu. Kerumitan legitimasi
politik berawal dari fakta bahwa ratusan rencana aksi yang dituangkan dalam
dokumen komunitas ekonomi untuk menuju pasar tunggal ASEAN 2015 pada dasarnya
merupakan tindakan liberalisasi ekonomi, yang intinya mengurangi intervensi dan
otoritas negara dalam pengaturan pasar di kawasan. Dalam bahasa sederhana,
sasaran akhirnya agar pasar di Asia Tenggara tak lagi sepuluh, tetapi jadi satu
dengan jumlah populasi diperkirakan lebih dari 650 juta jiwa. Ukuran luasan
pasar seperti ini tentu saja sangat besar dan di urutan ketiga setelah China
dan India yang masing-masing telah melewati angka 1 miliar jiwa.
Namun, dari perspektif politik, besaran pasar
tunggal ASEAN sangat berbeda dengan China dan India karena keduanya masih
berada dalam wilayah otoritas negara masing-masing. Sebaliknya pasar tunggal
ASEAN, yang kian besar, masih tetap berada dalam sepuluh wilayah negara.
Ringkasnya, proses integrasi ekonomi regional ASEAN yang tengah berlangsung dan
merupakan produk dari konsep pasar tunggal dan basis produksi tunggal itu
tidaklah diiringi integrasi politik. Sepuluh negara anggota masih tetap hadir.
Tak ada dokumen ASEAN apa pun yang menunjukkan ASEAN merupakan ”kendaraan”
untuk menuju integrasi politik di kawasan dan menghilangkan eksistensi sepuluh
negara anggota.
Integrasi Regional Negatif
Fakta semacam ini tentu saja baik. Namun, di sisi
lain, satu pasar dengan sepuluh negara tentu saja juga memunculkan kerumitan
politik. Watak pasar berbeda dengan watak negara. Watak negara adalah
solidaritas, sedangkan pasar berwatak persaingan. Negara harus menjalankan
mandat politik bahwa ia harus mampu melindungi setiap warganya, bahkan yang tak
mampu bertahan dan memenangi persaingan di pasar. Sebaliknya, pasar tak pernah
diharapkan membawa misi solidaritas seperti itu. Watak pasar sangat sederhana,
tak ”emosional”, dan ”dingin”. Pelaku yang tak mampu bersaing akan menerima
hukuman, tersingkir dari mekanisme pasar, dan hanya sebagai konsumen.
Logika interaktif antara solidaritas negara dan
”kekejaman pasar” inilah yang menyebabkan muncul banyak kecemasan terhadap
gagasan ”pasar tunggal” ASEAN. Jika konsep integrasi ekonomi hanya dipahami
dalam cermin besaran pasarnya seperti jumlah penduduk atau besaran agregat PDB
regional negara anggota, siapa yang akan melindungi pelaku ekonomi yang tak
mampu bersaing di pasar tunggal ASEAN? Kecemasan ini tentu saja tidaklah khas
ASEAN. Memperkuat pasar dengan mengurangi otoritas dan kapasitas negara juga
telah memunculkan kecemasan dalam proses integrasi ekonomi Uni Eropa.
Fritz W Scharpf (1998) pernah memunculkan konsep
integrasi regional negatif (negative regional integration) jika proses
integrasi ekonomi regional sekadar penghilangan regulasi negara dalam mengatur
pasar nasional. Ia mengusulkan perlu juga dikedepankan dan diseimbangkan dengan
konsep integrasi regional positif (positive regional integration). Substansi
konsep ini adalah pada tindakan penguatan institusi regional untuk menjalankan
sebagian dari fungsi solidaritas negara yang kian tergerus sehingga dapat
meminimalkan eksploitasi pelaku pasar besar terhadap warga.
Jika konsep integrasi regional positif jadi
rujukan, ada keharusan bagi ASEAN untuk tak sekadar melakukan abolisi regulasi
nasional dalam kerja sama ekonomi, tetapi harus juga disertai tindakan
re-regulasi di tingkat regional. Misalnya, ASEAN sebagai organisasi regional
harus mampu melahirkan dan menerapkan standar-standar sosial baku semacam pakta
sosial (social pact), seperti aturan perlindungan pekerja, jaminan kesehatan,
dan lingkungan hidup. Tujuannya, agar proses pasar tunggal ASEAN tak seperti
dicemaskan banyak pihak.
Standar-standar itu tentu saja tak mudah dilakukan
dan masih merupakan jalan panjang. Lihat saja, misalnya, kesulitan yang
dihadapi untuk mendapatkan kesepakatan menciptakan regulasi untuk melindungi
pekerja migran antara Indonesia dan Malaysia. Walau akan panjang, harus tetap
dilakukan. Diskusi tentang ini harus segera bisa dimulai dan merupakan langkah
awal memperkuat legitimasi politik ASEAN secara lebih nyata dan terasa bagi
publik. Solidaritas tak akan muncul dari hadirnya skala pasar yang kian besar,
tetapi dari kemampuan suatu institusi mendekatkan diri untuk mau memenuhi
kebutuhan dasar dan nyata dari publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar