Rabu, 02 November 2011

Endorgan dan Neo-Ottomanisme


Endorgan dan Neo-Ottomanisme
Dr. A. Ilyas Ismail, DOSEN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Sumber : REPUBLIKA, 01 November 2011



Sebagai bangsa, Turki memiliki sejarahnya sendiri yang unik. Kasus Turki mengundang minat dan perhatian banyak pengamat, karena terjadi banyak paradoks di dalamnya. Pertama, Turki adalah bangsa Muslim, tetapi negara sekuler. Dalam sejarah, Turki pernah dicatat sebagai bangsa yang sangat gigih mengupayakan terwujudnya doktrin kesatuan agama dan negara (wahdat al-din wa al-daulah), tetapi orang Turki pula yang mula-mula menghancurkannya melalui gerakan sekularisme yang dilancarkan oleh Mustafa Kamal Ataturk.

Kedua, Turki juga pernah dicatat dalam sejarah sebagai kekuatan adidaya (superpower) yang disegani di Timur maupun Barat. Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19 M, muncul sebutan olok-olok sebagai "the sick man Europe" (orang Eropa yang sakit). Sebutan ini mengandung dua interpretasi. Pertama, sebagai olok-olok atas kekuasaan Turki yang terus melorot. Kedua, juga olok-olok karena Turki modern, meskipun secara kultural adalah Arab dan Islam, tetapi mereka lebih suka mengidentifikasikan diri kepada Eropa dan Barat.

Ketiga, Turki dicatat pula sebagai bangsa Islam yang paling awal melakukan pembaharuan. Tapi, Turki tak kunjung maju-maju, tak berbeda dengan negeri-negeri Islam lain yang belum lama melepaskan diri dari penjajahan Barat.

Namun,  ini cerita masa lalu. Tentu lain dulu lain sekarang. Tampilnya Recep Tayyeb Erdogan, pemimpin baru Turki sekarang, memberikan harapan baru, tak hanya bagi Turki, tetapi juga bagi dunia Islam. Di bawah kepemimpinan Erdogan, tulis Graham E Fuller, Turki telah menjadi negara penting di dunia Islam, A Pivotal State in the Muslim World (2008), dan diharapkan menjadi pemain internasional (the international player) yang mampu mengambil peran dalam masalah-masalah regional dan global. Posisi baru Turki ini, disebut oleh R Harris Jerry Harris, sebagai fenomena "Neo-Ottomanisme". (The Nation In the Global Era: 2010).   

Masa depan Neo-Ottomanisme   

Hampir satu dekade ini, sejak 2002, Turki terus menorehkan banyak kemajuan dan prestasi, baik secara politik maupun ekonomi. Perkembangan ini bermula sejak Partai Keadilan dan Pembangunan, The Justice and Development Party (JDP), memenangkan Pemilu Parlemen di Turki yang mengantarkan Recep Tayyep Erdogan, pemimpin partai itu, menjadi perdana menteri Turki. Sejak itu, nama Erdogan terus berkibar dan dalam keadaan on fire selalu. Erdogan kemudian banyak mendapat sanjungan.  James Bainbridge (2009) menyebut Erdogan sebagai  "the skillful and inspiring leader." Verity Campbell (2007) memberi  gelar yang sama, "the deft and inspiring leader".

Sejak memimpin, Erdogan mengambil langkah-langkah strategis dalam politik maupun ekonomi. Di antaranya, yang penting, Erdogan melakukan amendemen konstitusi, menghapus hukuman mati, mengeliminasi pelanggaran HAM, dan membangun komunikasi yang lebih santun dengan kelompok Kurdi. Erdogan dicatat sebagai satu-satunya pemimpin Islam yang berani menolak dan menyatakan "tidak" atas permintaan "joragan besar" presiden AS George W Bush ketika itu, agar Turki jadi pangkalan militer bagi Amerika dan Sekutu dalam perang melawan Saddam Hussen, tahun 2003.

Erdogan juga dicatat sebagai satu-satunya pemimpin Islam yang berani melawan Israel. Dalam kasus Mavi Marmara, Erdogan mengutuk Israel dan memaksa Israel meminta maaf. Akibat kasus ini, Erdogan menurunkan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengusir para diplomat Israel dari Turki. Bahkan, dalam pertemuan forum ekonomi di Davos, belum lama ini, Erdogan berani menunjuk-nunjuk Presiden Israel, Simon Perez, sebagai pembunuh. "You are killing people," teriaknya, sambil keluar meninggalkan forum itu.

Erdogan terus menggebrak dan ekonomi Turki pun menggeliat. Waktu Erdogan mulai memimpin, tahun 2002, gross domestic product (GDP) Turki hanya 3.492 dolar AS, tetapi pada 2010 berubah menjadi 10.079 dolar AS. Dalam bidang ekonomi, Erdogan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, terutama dengan negara-negara Arab. Untuk kepentingan ini, ia menghadiri  Forum Ekonomi Arab (Arab Eeconomic Forum), di Beirut tahun 2005. Erdogan juga tercatat sebagai satu-satunya Perdana Menteri Turki yang menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi Liga Arab (Arab League Summit) di Khartoum, dan Turki diberi status "Permanent Guest". Semua langkah Erdogan ini, selain memperkuat pengaruh Turki di negeri-negeri Arab, juga  dengan sendirinya menaikkan kemajuan ekonomi Turki itu sendiri.

Fakta inilah yang membuat Abdel Halim Ghazali,  komentator resmi The New Anatolian, mengimbau para pemimpin dan penguasa Arab agar berubah memandang Turki sekarang. Menurut Ghazali, Erdogan menjalin hubungn ekonomi dan persaudaraan dengan Arab  secara sungguh-sungguh, jauh dari basa-basi, dan tak lagi sebatas retorika. Kebangkitan Turki di bawah Erdogan dan peran politik luar negeri Turki yang makin menonjol belakangan ini, dinilai banyak pengamat, termasuk oleh lawan-lawan politik Erdogan, sebagai fenomena kebangkitan "Neo-Ottomanisme."

Neo-Ottomanisme adalah visi kenegaraan dan politik baru Turki yang menekankan  kekuatan peran politik Turki, baik pada tingkat regional maupun global melalui kekuatan diplomatik. Jadi, Neo-Ottomanisme  --berbeda dengan  Kekhalifahan Usmani--  merupakan grand strategic yang memosisikan Turki sebagai pemain dunia (international player), tetapi menggunakan kekuatan lunak (soft power) dan steril dari interest imperialisme. 

Paham Neo-Ottomanisme ini digagas untuk pertama kalinya oleh Prof Ahmed Davutoglu, ketua Penasihat Erdogan untuk urusan kebjikan luar negeri, dalam karyanya yang termasyhur, Strategic Deph. Davutoglu dikenal sebagai tokoh yang paling  vokal menyuarakan Neo-Ottomanisme dan menekankan pentingnya warisan Ottomanisme sebagai pemikiran besar yang perlu diperhatikan oleh para pengambil kebijkan di Turki (the most elaborate articulation of neo-ottomanism, and importance of ottoman legacy, on strategic thinking of Turkish decision makers).

Menurut tesis Davutoglu, kekuatan (politik) suatu negara ditentukan oleh dua faktor. Pertama, faktor geo-strategi dan geo-politik. Kedua, faktor kesejarahan, tetapnya kedalaman (kekayaan) sejarah (historical dept). Turki, menurut Davutoglu, merupakan negara yang istimewa (unik), karena dianugerahi oleh Tuhan kedua kekuatan itu, baik dari lokasi geo-politiknya yang menguasai dan mengendallikan selat Bosporus, epicenter dari Balkan, Timur Tengah, dan Kaukasus,  maupun keutamaan warisan (legacy)-nya yang amat besar dan agung dari Kerajaan Ottoman. Berkat kekayaan legacy-nya ini, Turki, tegas Davutoglu, berpeluang besar menajdi penguasa di kawasan Islam. (That Turkey is the natural heir to Ottoman Empire that once unified the Muslim World and therefore the potential to become the Muslim regional power).

Dalam konstalasi politik di kasawan Timur Tengah yang kini bergolak dan sedang  mencari bentuk, maka Turki paling berpeluang memainkan peranannya di kawasan ini. Faktanya, ketika belum lama ini, Erdogan mengunjungi Mesir, Tunisia, lalu Libya, Perdana Menteri Turki itu, bak  bintang superstar, disambut meriah dan histeris oleh kalangan muda, pendukung dan penggerak reformasi di tiga negara itu.

Dalam konstalasi politik dengan negara-negara Barat, Turki tidak pula mau dipandang sebelah mata. Turki, tegas Davotuglu,  bukan negara pinggiran, peripheral, dan tidak pula hanya "konco wingking" (sideline) dari Uni Eropa, NATO, dan Amerika Serikat. Sebaliknya, Turki justru diharapkan, seperti masa lalunya yang gemilang, menjadi international player baik pada tingkat regional maupun global. Inilah hakikat Neo-Ottomanisme. Pertanyaannya, mampukah Erdogan mewujudkan visi Neo-Ottomanisme ini? Sejarah jugalah yang akan membuktikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar