Rabu, 02 November 2011

Tujuan Nasional dan Strategi Kebudayaan


Tujuan Nasional dan Strategi Kebudayaan
Hajriyanto Y. Thohari, WAKIL KETUA MPR RI
Sumber : SINDO, 01 November 2011



Tidak syak lagi,akhir-akhir ini kita menyaksikan kecenderungan menguatnya kembali keraguan masyarakat akan keberhasilan pencapaian tujuan dan cita-cita Proklamasi setelah 66 tahun merdeka.

Ya, setelah 66 tahun merdeka: sebuah masa yang tidak lagi bisa dikatakan pendek. Terkadang kita tidak percaya, memang,mengapa hal itu bisa terjadi setelah selama itu? Sungguh fenomena ini menyisakan sebuah ironi yang sangat pahit. Pasalnya, Indonesia sekarang ini menjadi negara dengan cadangan devisa terkaya ke-14 di dunia.Dan justru karena itu,Indonesia masuk dalam G-20 sebagai manifestasi 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Apalagi, volume Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita berhasil mencapai angka Rp1,418 triliun (2012), sebuah capaian tertinggi dari pemerintahan kita yang mana pun! Capaian Presiden SBY-Boediono ini sulit dimungkiri, dan karena itu harus kita acungi jempol. Dengan capaian ekonomi yang sedemikian bagus (berarti uangnya ada) mestinya tidak ada alasan tujuan nasional, utamanya mewujudkan kesejahteraan rakyat, semakin jauh dari gapaian.

Memang angka kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) turun 4 juta dari 35 juta pada tahun 2008 menjadi 31 juta pada 2010.Tetapi menurut berbagai sumber nonpemerintah,jumlah orang miskin justru bertambah 2,7 juta menjadi 43,1 juta pada 2010.Okelah,kita pegang angka resmi pemerintah, toh jumlah penduduk miskin tetap saja masih sangat besar: 31 juta! Angka konservatif ini tetap saja menghantui benak pikiran kita bersama.

Ke mana pun kita pergi, orang mengeluhkan kehidupan semakin susah. Banyak sekali orang menitipkan anak atau keponakannya untuk dicarikan pekerjaan. Mereka pikir kita yang datang dari Jakarta, apalagi menduduki jabatan tinggi, bisa memasukkan anak-anaknya di sektor formal, atau syukur- syukur menjadi pegawai di pemerintahan. Mereka tidak pernah tahu bahwa jumlah pegawai negeri di negeri ini sudah sangat besar, bahkan saking terlalu besarnya sudah sangat membebani keuangan negara (APBN).

Bayangkan, hampir 20% APBN habis untuk gaji pegawai dan 60% APBN konon habis untuk anggaran rutin. Bagaimana mungkin akan ditambah lagi? Ini kita belum berbicara tentang jaminan kesehatan, pendidikan, bahkan sekadar kebutuhan primer dan elementer: air bersih, misalnya. Masih banyak rakyat Indonesia yang masih kekurangan air bersih, bahkan air untuk keperluan kehidupan selain masak dan minum (MCK).

Sabuk Pengaman Sosial

Untung saja Indonesia memiliki “sabuk pengaman sosial” yang luar biasa berharga, yaitu konsep keluarga besar (extended family) dan ajaran agama yang sebagian terwujud dalam banyaknya lembaga-lembaga sosial keagamaan. Dengan sistem sosial yang bercorak extended family, keluarga-keluarga miskin masih dibantu dan ditanggung oleh saudara-saudaranya yang mampu. Adanya ajaran agama seperti zakat, infak, sedekah, kurban, dan amal-amal ibadah lainnya sungguh sangat membantu mengurangi beban rakyat yang semakin berat itu.

Demikian juga halnya dengan banyaknya lembaga-lembaga filantropi baik yang “sekuler” maupun terutama yang berbasis keagamaan. Dalam konteks dan perspektif ini, pemerintah semestinya tidak hanya memusatkan perhatiannya pada strategi ekonomi semata, tetapi juga mengharuskan dimilikinya strategi kebudayaan. Sudah terbukti bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi makro sehingga menjadi negara terbesar ke-14 di dunia dalam hal volume perekonomiannya, toh tidak bisa mengatasi persoalan kemiskinan.

Apalagi, jika strategi ekonomi itu tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang sungguhsungguh dan nyata dalam pencegahan kebocoran dan pemborosan keuangan negara atau korupsi. Dalam konteks negara kita, Indonesia,yang masih berkubang dengan kemiskinan ini, korupsi betul-betul tindak pidana kejahatan yang luar biasa yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral.

Mereka itu orang-orang yang tega, bermuka badak, dan bebal yang tidak mau tahu kesulitan rakyatnya. Gara-gara strategi ekonomi yang salah dan korupsi yang merajalela kesenjangan antara Pancasila dalam cita-cita (Ideal Pancasila) dan Pancasila dalam kenyataan (historical Pancasila) menjadi semakin lebar. Citacita keadilan sosial semakin jauh dari kenyataan. Memang benar “yang kaya makin kaya” dan “yang miskin makin kaya”, tetapi “makin kayanya yang kaya” jauh meninggalkan “makin kayanya yang miskin”.

Strategi Kebudayaan

Walhasil, sekali lagi, pemerintah juga harus mengembangkan suatu strategi kebudayaan yang tepat untuk menutupi kegagalan strategi ekonomi yang nyata-nyata belum dapat mengatasi persoalan kemiskinan itu. Ketiadaan strategi kebudayaan inilah yang menjadikan berbagai kasus dan persoalan hukum di negeri ini tidak pernah dapat diselesaikan dengan tuntas. Semuanya dibiarkan menggantung dan terkatungkatung tanpa penyelesaian.

Lihat saja kasus skandal Bank Century yang mengharu biru jagat Indonesia itu,kasus Mafia Hukum, kasus Mafia Pajak, kasus korupsi di berbagai kementerian, dan lain-lainnya. Ketiadaan strategi kebudayaan itulah yang mengakibatkan para pemimpin negeri ini— Ibarat seutas tali—menjadi cupet (tidak sampai), bahkan untuk sekadar mengidentifikasi persoalan.

Apalagi mengatasi persoalan! Pikirannya kosong dan tidak gaduk alias suwung! Tidak heran jika keraguan masyarakat tersebut tidak pernah terjawab. Boro-boro terjawab, alih-alih dianggap sebagai pikiran yang mengada-ada, atau pikiran oposisi yang sedang frustrasi yang memang pada dasarnya tidak suka pada pemerintah. Ya, memang selalu demikianlah alam pikiran orang yang suwung, ora gaduk, dan cupet itu tadi.

Padahal senyatanya, negara belum dirasakan hadir di tengahtengah rakyat yang mengalami kerisauan dan keraguan yang menimbulkan suasana ketidakpastian dan ketidakmenentuan yang semakin terus membesar itu.Sangat meyakinkan,keraguan tersebut mengharuskan jawaban yang cepat dan nyata dari penyelenggara negara agar tidak mengalami eskalasi dan kapitalisasi menjadi gelombang ketidakpuasan sosial, pesimisme, dan apatisme publik yang mengarah kepada gerakangerakan yang aneh-aneh yang berpotensi menciptakan instabilitas nasional yang tidak perlu.Percayalah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar