Rabu, 02 November 2011

Sang Maha Menteri


Sang Maha Menteri
Indera J. Piliang, DEWAN PENASEHAT THE INDONESIAN INSTITUTE
Sumber : KORAN TEMPO, 02 November 2011



Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II sudah dilakukan.Tidak banyak harapan diberikan, terutama berkaitan dengan postur politik di dalam kementerian dan kredibilitas orang-orang yang dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ibarat ruang kemudi dalam sebuah
kapal, jumlah orang yang menjadi menteri dan wakil menteri terlalu banyak dan penuh. Upaya yang semula ditujukan untuk meningkatkan efisiensi justru terbentur adanya sejumlah jabatan baru, terutama dalam posisi wakil menteri.

Tanpa harus melihat aturan-aturan main yang ada, seyogianya pemilihan para menteri adalah hak prerogatif presiden. Presidenlah yang memiliki tanggung jawab atas gagal dan berhasilnya sebuah rezim. Presidenlah yang diuntungkan dan dirugikan apabila kinerja para menteri bagus
atau jeblok. Sebagai pembantu presiden, menteri bisa diganti kapan saja, dalam situasi
apa pun. Pengalaman Sukarno dan Soeharto menunjukkan bahwa rakyat sama sekali tidak ingat bagaimana kinerja menteri-menterinya. Ingatan itu langsung tertuju kepada presidennya.

Dalam era otonomi daerah sekarang, para menteri memiliki hubungan kerja dengan kepala-kepala daerah.Kewenangan pemerintahan yang sudah didesentralisasi membutuhkan koordinasi dan standardisasi. Para menteri, dengan demikian, tidak hanya wajib melayani presiden, tetapi sekaligus memiliki kemampuan untuk menggerakkan kepala-kepala daerah untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan. Konsentrasi para menteri berada di wilayah-wilayah yang memiliki keunggulan komparatif, dibandingkan dengan wilayah lain. Menteri Kelautan dan Perikanan, misalnya, beroperasi di wilayah-wilayah yang memiliki laut dan ikan, serta berkonsentrasi kepada peningkatan kesejahteraan nelayan dan daerah pesisir.

Dengan jumlah menteri yang banyak, Presiden sudah menempatkan diri pada posisi yang jauh dari jangkauan kepala-kepala daerah dan birokrasi di bawah kementerian. Belum lagi keberadaan stafstaf khusus presiden yang lebih sering bertemu dengan presiden ketimbang bertemu dengan para menteri. Presiden Soeharto, misalnya, pernah menghadapi gelombang aksi ketika para asisten pribadinya dianggap lebih berkuasa dibanding para menteri. Sementara itu, Presiden Sukarno mengalami kesulitan ketika banyak menteri diangkat untuk politik akomodasi.

***

Reshuffle kabinet kali ini sekali lagi menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak mau ada kelompok oposisi yang kuat dari kalangan partai-partai politik. Padahal keberadaan partai-partai oposisi sangatlah penting dalam kompetisi di era demokrasi. Pilihan-pilihan kebijakan yang bersifat satu
arah dan tunggal akan cenderung keliru dalam jangka panjang karena miskin dari sisi debat-debat publik. Padahal perkembangan dan kemajuan teknologi informasi sekarang menunjukkan bahwa perdebatan adalah bensin bagi berjalannya mobil Republik Indonesia.

Ada yang mengatakan bahwa presiden telah tersandera oleh partai-partai politik. Saya cenderung menolak argumen itu. Yang terjadi adalah presiden justru berhasil melakukan penjeratan atas partai-partai politik untuk tetap berada di dalam pemerintahan, dengan memberikan kesempatan menjadi menteri bagi wakil-wakilnya. Dan ini memang khas dalam khazanah pemikiran budaya Jawa, ketika keselarasan dan keseimbangan ditafsirkan. Hal ini tidak berbeda dengan filosofi politik Sukarno dan Soeharto, namun dalam pola, cara, dan zaman yang berbeda.

Yang justru patut disikapi dengan kritis adalah penjatuhan “hukuman”kepada menteri yang memiliki prestasi, seperti Dr Fadel Muhammad, dan wakil menteri yang lama meniti karier di birokrasi, misalnya Dr Fasli Djalal.Kedua sosok ini terpental dalam penyusunan formasi menteri dan wakil menteri tanpa penjelasan memadai. Padahal keduanya lebih mengedepankan profesionalisme berdasarkan basis keilmuan, ketimbang melakukan agenda-agenda “politik”yang tidak penting dalam jangka menengah dan panjang. Dua kasus ini akan tetap menjadi titik pertanyaan dalam mekanisme “reshuffle”yang dilakukan.

Bahwa Presiden SBY juga mengangkat sejumlah wakil menteri dari kalangan kampus juga menjadi “titik didih”dalam hubungannya dengan birokrat karier di pemerintahan. Sementara di era Soeharto mimpi terbesar seorang pejabat eselon I adalah kursi menteri, sekarang mimpi itu adalah wakil menteri yang sama sekali bukan anggota kabinet.Artinya, senioritas dan pengalaman menjadi penting.Ketika aktor-aktor dari kalangan kampus muncul sebagai wakil
menteri, maka mimpi itu menjadi hilang. Ketegangan yang muncul secara diam-diam, kalau gagal dikendalikan, akan menjadi cerita yang justru menghalangi kinerja para wakil menteri ke depan.

***

Kabinet Indonesia Bersatu hasil reshuffle ini memiliki waktu yang kasip untuk menjalankan
agenda-agenda yang sudah ditetapkan dan diputuskan oleh presiden. Dalam “kalender politik”,waktu itu hanya 1,5 tahun dari 3 tahun yang tersisa. Soalnya, mulai pertengahan 2013, kalender dan jarum jam politik sudah dimulai. Para politikus akan disibukkan dengan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden 2014-2019. Selain itu, para politikus akan bergerilya ke daerah-daerah pemilihan untuk terpilih (kembali) dalam pemilu legislatif.

Kalau dihitung berdasarkan semester, berarti Presiden SBY dan para menterinya memiliki tiga semester untuk menjalankan agenda-agenda utama pemerintahan. Selain itu, dalam tiga semester awal ini juga diperlukan semacam upaya “memblokade kepentingan politik”yang akan masuk dalam tiga semester berikutnya. Program-program kementerian yang berbau politik yang akan muncul dalam tiga semester terakhir selayaknya dijalankan dalam tiga semester pertama. Sementara itu, dalam tiga semester terakhir, pemerintah melakukan semacam “moratorium politik”agar tidak terganggu oleh aktivitas para politikus.

Presiden SBY diharapkan mampu melakukan manajemen konflik yang bersifat tertutup dan terbuka atas pergesekan-pergesekan kepentingan yang terjadi. Apalagi, kelihatan sekali bahwa Presiden SBY tidak menginginkan adanya masalah-masalah sensitif yang muncul ketika ia mengakhiri pengabdiannya sebagai presiden dua periode pada 20 Oktober 2014 nanti. Catatan keberhasilan bagi Presiden SBY itu akan sangat bergantung pada pengendalian atas jalannya pemerintahan, serta tercapainya tujuan-tujuan utama yang terhubung langsung dengan tujuan-tujuan bernegara.

Tentu agenda antikorupsi menjadi vital, makanya hampir setiap keputusan yang dijalankan para menteri terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Namun, sedari sekarang, kita perlu mengingatkan presiden tentang perbedaan antara “politik antikorupsi”dan agenda-agenda antikorupsi yang terkait dengan anggaran negara. Upaya yang idealnya serius adalah terkait dengan transparansi keuangan negara, dan bukan—semata-mata—agenda menangkapi para koruptor.Transparansi keuangan negara itu antara lain dilakukan dengan cara membeberkan APBN dan APBD kepada warga negara dalam sosialisasi di tingkat apa pun.

Apalagi kita mencatat perkembangan yang signifikan dari kelompok-kelompok kritis di asyarakat.Kebebasan untuk memperoleh informasi publik sekarang berada dalam era yang paling baik. Sikap kritis ini bisa berujung pada dua hal: puas dan tidak puas. Karena itu, para menteri dituntut memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi dengan publik. Para menteri tidak lagi sekadar jadi menteri biasa, melainkan menjadi “Maha Menteri”, yang sekaligus memproteksi diri dan keluarganya dari masalah-masalah yang bisa muncul nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar