Kamis, 17 November 2011

Ekonomi Politik Papua


Ekonomi Politik Papua

Anggun Trisnanto, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Sumber : KORAN TEMPO, 17 November 2011



Kontestasi politik yang sekarang ini sedang terjadi di Papua adalah hasil dari proses transisi politik yang tidak tuntas dari zaman Orde Baru ke era Reformasi. Di balik pengakuan Polri atas dana bantuan operasional yang diterima dari PT Freeport, terdapat beberapa hal yang bisa dilihat dari sebuah transisi rezim di sebuah negara seperti Indonesia. Dalam posisi yang sekarang, Indonesia sebenarnya tidak pada tahapan transisi dari sebuah model birokrasi yang otoriter menuju demokrasi liberal, tetapi lebih dari itu. Pemerintahan Orde Baru tidak serta-merta hilang dengan sendirinya
dan tergantikan oleh elite reformis yang membawa semangat pembaharuan. Birokrat dan kalangan bisnis yang banyak mendapat perlindungan dari rezim Orde Baru mendapatkan kembali aliansinya dengan bermetamorfosis menjadi sebuah kekuatan aliansi baru di dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

Mengapa hal ini terjadi? Setidaknya ada dua penjelasan rasional yang bisa menjadi penjawab fenomena Polri dan PT Freeport, khususnya dalam konteks Papua. Pertama, semasa Orde Baru, PT Freeport termasuk di dalam aliansi birokrasi-pemilik modal yang bersumbu di Cendana. Bukan hanya PT Freeport, BUMN dan perusahaan swasta nasional lainnya juga termasuk dalam aliansi ini. Mereka tidak hanya mendapatkan akses yang luar biasa terhadap pasar (seperti Bulog, yang memonopoli kebutuhan pangan se-Indonesia), tetapi juga mendapat kemudahan operasional, bahkan tidak
pernah tersentuh oleh audit.

Kekuasaan yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa membuat aliansi yang terbangun ini mengkristal dan digunakan oleh rezim Orde Baru sebagai “bahan bakar”dalam menjalankan roda pemerintahan. Perlu diingat bahwa, selain mendapat keuntungan dari dekatnya pemilik modal dengan elite birokrat, mereka (kalangan bisnis) harus membayar sebagian hasil dari keuntungan operasional kepada Cendana (yang jumlah dan bentuknya bervariasi) atau setidaknya mengirim laba perusahaan ke yayasan yang dipimpin oleh Soeharto.

Setelah Orde Baru lengser pada akhir periode 1998, pola aliansi ini kemudian mencoba bertahan di tengah tekanan kaum reformis dan agenda reformasi yang justru banyak dibantu oleh kekuatan asing, di antaranya IMF dan World Bank. Anehnya, semakin orde reformasi lantang menyerukan perubahan, aliansi ini tidak lantas bubar. Mereka menjelma menjadi aliansi baru dan mengorganisasikan kembali kekuatan dalam sistem
demokrasi yang belum stabil. Apa buktinya?

Salah satu hal yang jelas terjadi adalah ketika desentralisasi yang sudah dicanangkan
sejak 2001 belum menunjukkan prestasi yang gemilang.Terlepas dari keberhasilannya, banyak terjadi penyimpangan, tumpang-tindih kewenangan pusat dan daerah, dan yang lebih parah adalah munculnya endemi korupsi yang menyeret puluhan kepala daerah ke pengadilan. Dalam situasi yang seperti ini, pola kedua pun terjadi, di mana aliansi yang dulu terbangun mencoba memanfaatkan pola birokrasi yang tidak menentu ini (dalam masa desentralisasi) untuk mengamankan kepentingan masing-masing.

Sebetulnya hal ini lumrah terjadi mengingat aktor bisnis adalah pelaku pasar yang rasional.Tindakan mencari aman demi kelancaran produksi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara lain. Pemerintah yang seharusnya muncul sebagai aktor independen, justru memihak pemilik modal dan bukan lebih memfokuskan kepada
peningkatan pelayanan publik. Atau lain lagi, iklim investasi di Indonesia yang semakin tidak kompetitif berperan besar dalam kasus keluarnya perusahaan-perusahaan asing dari Indonesia. Lamanya perizinan, rumitnya birokrasi dan besarnya dana yang harus dibayar kepada oknum birokrat menambah berat beban externalities dari perusahaan
perusahaan ini. Sehingga pilihan menjadi semakin sulit bagi investor, bertahan dengan risiko peningkatan total biaya produksi karena ongkos transaksi yang mahal atau menarik investasi dan keluar dari Indonesia.Keduanya sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia.

Dalam konteks otonomi, pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah tidak hanya dibaca sebagai pelimpahan tanggung jawab tetapi juga pelimpahan kekuasaan.
Bupati/ kepala daerah adalah raja kecil yang bisa melakukan apa pun dalam wewenang mereka yang sangat besar.Kondisi karut-marut ekonomi politik di Papua adalah lahan basah bagi oknum birokrat untuk menarik keuntungan dari kalangan bisnis. Di sinilah
istilah administrative patrimonial mendapatkan tempat, di mana oknum dan elite penguasa menggunakan kondisi yang tidak menentu untuk meraih keuntungan mereka. Singkatnya, investor mengambil jalan pertama, yaitu menerima risiko atas tingginya ongkos transaksi.

Akan sangat proporsional apabila melihat institusi pemerintah sebagai aktor pelayan masyarakat dan bukan hanya melayani pemilik modal. Perlu juga dipertimbangkan untuk betul-betul melakukan pengawasan melekat terhadap semua instansi pemerintah yang berurusan dengan ranah publik. Setidaknya jangan sampai membuat ranah publik dan privat menjadi sesuatu yang tidak jelas sehingga proses rent-seeking (pengambilan keuntungan) oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini terjadi lagi. Dalam kapasitasnya, Polri tentunya adalah lembaga yang sangat kredibel dan mampu menjalankan tugasnya demi pelayanan kepada rakyat Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar