Ekonomi Politik Papua
Anggun Trisnanto, DOSEN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Sumber : KORAN TEMPO, 17 November 2011
Kontestasi politik yang sekarang ini sedang terjadi di Papua adalah
hasil dari proses transisi politik yang tidak tuntas dari zaman Orde Baru ke
era Reformasi. Di balik pengakuan Polri atas dana bantuan operasional yang
diterima dari PT Freeport, terdapat beberapa hal yang bisa dilihat dari sebuah
transisi rezim di sebuah negara seperti Indonesia. Dalam posisi yang sekarang,
Indonesia sebenarnya tidak pada tahapan transisi dari sebuah model birokrasi
yang otoriter menuju demokrasi liberal, tetapi lebih dari itu. Pemerintahan
Orde Baru tidak serta-merta hilang dengan sendirinya
dan tergantikan oleh elite reformis yang membawa semangat
pembaharuan. Birokrat dan kalangan bisnis yang banyak mendapat perlindungan
dari rezim Orde Baru mendapatkan kembali aliansinya dengan bermetamorfosis menjadi
sebuah kekuatan aliansi baru di dalam sistem pemerintahan yang demokratis.
Mengapa hal ini terjadi? Setidaknya ada dua penjelasan rasional
yang bisa menjadi penjawab fenomena Polri dan PT Freeport, khususnya dalam
konteks Papua. Pertama, semasa Orde Baru, PT Freeport termasuk di dalam aliansi
birokrasi-pemilik modal yang bersumbu di Cendana. Bukan hanya PT Freeport, BUMN
dan perusahaan swasta nasional lainnya juga termasuk dalam aliansi ini. Mereka
tidak hanya mendapatkan akses yang luar biasa terhadap pasar (seperti Bulog,
yang memonopoli kebutuhan pangan se-Indonesia), tetapi juga mendapat kemudahan
operasional, bahkan tidak
pernah tersentuh oleh audit.
Kekuasaan yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa
membuat aliansi yang terbangun ini mengkristal dan digunakan oleh rezim Orde
Baru sebagai “bahan bakar”dalam menjalankan roda pemerintahan. Perlu diingat
bahwa, selain mendapat keuntungan dari dekatnya pemilik modal dengan elite
birokrat, mereka (kalangan bisnis) harus membayar sebagian hasil dari
keuntungan operasional kepada Cendana (yang jumlah dan bentuknya bervariasi) atau
setidaknya mengirim laba perusahaan ke yayasan yang dipimpin oleh Soeharto.
Setelah Orde Baru lengser pada akhir periode 1998, pola aliansi
ini kemudian mencoba bertahan di tengah tekanan kaum reformis dan agenda
reformasi yang justru banyak dibantu oleh kekuatan asing, di antaranya IMF dan
World Bank. Anehnya, semakin orde reformasi lantang menyerukan perubahan,
aliansi ini tidak lantas bubar. Mereka menjelma menjadi aliansi baru dan
mengorganisasikan kembali kekuatan dalam sistem
demokrasi yang belum stabil. Apa buktinya?
Salah satu hal yang jelas terjadi adalah ketika desentralisasi
yang sudah dicanangkan
sejak 2001 belum menunjukkan prestasi yang gemilang.Terlepas dari keberhasilannya,
banyak terjadi penyimpangan, tumpang-tindih kewenangan pusat dan daerah, dan
yang lebih parah adalah munculnya endemi korupsi yang menyeret puluhan kepala daerah
ke pengadilan. Dalam situasi yang seperti ini, pola kedua pun terjadi, di mana
aliansi yang dulu terbangun mencoba memanfaatkan pola birokrasi yang tidak
menentu ini (dalam masa desentralisasi) untuk mengamankan kepentingan masing-masing.
Sebetulnya hal ini lumrah terjadi mengingat aktor bisnis adalah
pelaku pasar yang rasional.Tindakan mencari aman demi kelancaran produksi tidak
hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di negara lain. Pemerintah yang
seharusnya muncul sebagai aktor independen, justru memihak pemilik modal dan
bukan lebih memfokuskan kepada
peningkatan pelayanan publik. Atau lain lagi, iklim investasi di
Indonesia yang semakin tidak kompetitif berperan besar dalam kasus keluarnya
perusahaan-perusahaan asing dari Indonesia. Lamanya perizinan, rumitnya
birokrasi dan besarnya dana yang harus dibayar kepada oknum birokrat menambah
berat beban externalities dari perusahaan
perusahaan ini. Sehingga pilihan menjadi semakin sulit bagi
investor, bertahan dengan risiko peningkatan total biaya produksi karena ongkos
transaksi yang mahal atau menarik investasi dan keluar dari Indonesia.Keduanya
sangat tidak menguntungkan bagi rakyat Indonesia.
Dalam konteks otonomi, pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah
tidak hanya dibaca sebagai pelimpahan tanggung jawab tetapi juga pelimpahan
kekuasaan.
Bupati/ kepala daerah adalah raja kecil yang bisa melakukan apa
pun dalam wewenang mereka yang sangat besar.Kondisi karut-marut ekonomi politik
di Papua adalah lahan basah bagi oknum birokrat untuk menarik keuntungan dari
kalangan bisnis. Di sinilah
istilah administrative patrimonial mendapatkan tempat, di
mana oknum dan elite penguasa menggunakan kondisi yang tidak menentu untuk
meraih keuntungan mereka. Singkatnya, investor mengambil jalan pertama, yaitu
menerima risiko atas tingginya ongkos transaksi.
Akan sangat proporsional apabila melihat institusi pemerintah sebagai
aktor pelayan masyarakat dan bukan hanya melayani pemilik modal. Perlu juga dipertimbangkan
untuk betul-betul melakukan pengawasan melekat terhadap semua instansi
pemerintah yang berurusan dengan ranah publik. Setidaknya jangan sampai membuat
ranah publik dan privat menjadi sesuatu yang tidak jelas sehingga proses rent-seeking
(pengambilan keuntungan) oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini terjadi
lagi. Dalam kapasitasnya, Polri tentunya adalah lembaga yang sangat kredibel
dan mampu menjalankan tugasnya demi pelayanan kepada rakyat Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar