Berhitung dengan Freeport
Kwik Kian Gie, MANTAN MENKO PEREKONOMIAN
Sumber : KOMPAS, 17 November 2011
Harry Tjan Silalahi menulis tentang Freeport di
harian ini pada Senin (14/11). Suaranya mencerminkan perasaan umum tentang
Freeport: penjajahan kembali mengisap kekayaan rakyat Indonesia.
Pengisapan oleh Freeport memang luar biasa. Namun,
ini bagian kecil saja. Hampir semua kekayaan mineral kita dikontrakkan dengan
manfaat yang amat kecil bagi rakyat Indonesia.
Kekayaan alam tak dibuat oleh siapa pun. Tak oleh
Bakrie, tak oleh Panigoro, tak oleh Soeryadjaya, tak oleh Sandiago Uno, tak
oleh Jusuf Merukh, tak pula oleh ratusan lain yang lebih kecil seperti Pramono
Anung. Kekayaan mineral diberikan Tuhan kepada seluruh rakyat dari negara yang
bersangkutan secara adil. Namun, selama ini kita seakan-akan tak memiliki
keberanian mempersoalkan pengisapan kekayaan rakyat oleh beberapa gelintir
pribadi, baik asing maupun Indonesia.
Freeport dapat hak eksploitasi tembaga dan emas
dalam konferensi di Geneva, November 1967, yang oleh Harry Tjan Silalahi
digambarkan dengan sangat jelas. Dalam tulisan ini saya ingin melengkapinya
dengan data angka dan mendukung pendapatnya bahwa manfaat ekonomi yang
dinikmati rakyat Indonesia saat ini tak ada beda dengan zaman VOC dan zaman
kolonial, bahkan lebih parah lagi.
Rekayasa Angka?
Royalti dari Freeport untuk bangsa Indonesia: 1
persen untuk emas dan perak, 1-3,5 persen untuk tembaga. Kami kemukakan angka
dari orang yang tampaknya mengetahui isi perut yang sebenarnya. Sangat bisa
salah, tetapi baik juga kami kemukakan. Setelah itu kami ungkapkan data dari
Freeport. Tentu lebih kecil.
Data yang tampaknya dapat dipercaya sebagai
berikut. Selama 43 tahun Freeport memperoleh 7,3 ton tembaga dan 724,7 juta ton
emas. Jika kita ambil emas saja, kita nilai dengan harga sekarang, yakni Rp
500.000 per gram, nilainya setahun 724.700.000 gram x Rp 500.000 atau Rp
362.350 triliun. Setiap tahun, Rp 362.350 triliun dibagi 43 atau Rp 8.426,7442
triliun. Dibulatkan menjadi Rp 8.000 triliun.
Indonesia dapat 1 persen atau Rp 80 triliun
setahun. Sementara tercantum di APBN 2011 dalam pos ”Pemasukan SDA Nonmigas”
hanya Rp 13,8 triliun. Media massa pernah menyebut Rp 15 triliun-Rp 20 triliun.
Sebagai perbandingan, cukai rokok menyumbang Rp 66 triliun.
Secara resmi pihak Freeport mengumumkan, untuk
kurun Januari-September 2010, Freeport meraup ”pendapatan yang belum
disesuaikan” 4,589 miliar dollar AS atau Rp 40,81 triliun (kurs Rp 8.892,5).
Disetahunkan menjadi Rp 54,41 triliun. Dari jumlah ini, laba kotornya 2,634
miliar dollar AS. Disetahunkan menjadi 3,512 miliar dollar AS atau Rp 31,23
triliun. Laba kotor ini setelah dikurangi dengan biaya yang sangat tinggi:
1,944 miliar dollar AS plus 4 juta dollar AS untuk PT Smelting dan biaya lain
sebesar 7 juta dollar AS. Total biaya 1,955 miliar dollar AS atau 43 persen.
Alangkah besar! Bukankah digelembungkan? Ini pada tahun 2010.
Tahun 2009 produksi emas Freeport 2,033 juta ons.
Pada tahun 2010 menjadi 1,185 juta ons atau hanya 58,29 persen. Produksi
tembaga juga turun dari 1,138 miliar pon menjadi 913 juta pon. Turunnya sedikit
karena masih sebesar 80,22 persen dari tahun sebelumnya. Alasannya: kadar bijih
mineralnya rendah.
Memang Freeport tak mengatakannya, tetapi seperti
kita lihat: yang kadar bijihnya menurun tajam itu emas; tembaga tidak. Ini
sangat aneh karena penurunan tajam kadar bijih emas bersamaan waktu dengan
kenaikan harga emas yang tajam dan meningkatnya kerusuhan di Timika.
Bukankah angka itu direkayasa? Mana mungkin!
Akuntan publik kelas dunia kan membubuhkan tanda tangannya? Namun, tengoklah
Wall Street yang jebol pada 2008 dan membawa malapetaka di seluruh dunia hingga
kini. Kantor akuntan terbesar dunia Arthur Andersen musnah karena skandal
besar. Bacalah buku Abraham Briloff, Unaccountable Accounting.
Ambil Kembali
Tak ada gunanya membahas angka-angka itu sebab data
berbagai sumber kacau. Kita ambil angka dari mana saja, manfaat yang diperoleh
bangsa Indonesia begitu rendah sehingga dengan risiko apa pun, kita harus
mengambil kembali Freeport dan mengelolanya sendiri sebagai BUMN.
Kalau perlu, biarkan tanpa dieksploitasi supaya
masih ada kekayaan yang tersisa di perut bumi sampai semua faktor menjadi
kondusif untuk mengelolanya sendiri tanpa mismanajemen dan korupsi. Maka,
sangat melegakan bahwa Presiden SBY jelas tegas menyatakan akan melakukan
renegosiasi. Kita tunggu tindak lanjut yang konkret dengan berdebar-debar.
Pada sebuah diskusi saya ditanya: mampukah bangsa
Indonesia meneruskan pengelolaan Freeport tanpa hambatan? Jawaban saya: jelas
mampu, kapan saja. Caranya, ganti James Moffet dan para kapitalis pemilik
Freeport lainnya oleh bangsa Indonesia. Jadi, semua pemimpin Freeport yang
tenaga gajian dipertahankan dengan semua gaji beserta fasilitas yang mereka
nikmati sekarang. Kalau tak punya manajemen, kita sewa. Bukankah emas dan
tembaga diberikan dan kita menerima lemparan apa yang disebut sebagai royalti
1-3 persen?
Ingat Bung Hatta? Ketika beliau diadili di Den
Haag, majelis hakim bertanya apakah Hatta beserta para pejuang kemerdekaan lain
mampu mengurus negara Indonesia yang merdeka? Hatta menjawab: ”Kalaupun tak
mampu, itu bukan urusan Anda. Kami lebih suka melihat Nusantara musnah di bawah
lautan daripada menjadi embel-embel Hindia Belanda!”
Sekarang mayoritas elite yang berkuasa mengatakan
kita tak bisa apa-apa tanpa modal dan manajemen asing justru setelah 65 tahun
merdeka. Kalau dinyatakan tak mungkin mengganti James Moffet karena tak satu
pun orang Indonesia yang mampu menjalankan fungsinya, kita tak perlu bicara
lagi. Bahkan, kita tak perlu berbangsa bernegara. Padahal, yang kita bicarakan
ini baru emas. Belum minyak, batubara, uranium, dan banyak mineral yang digali
tiap hari.
Mari mendukung SBY dalam tekadnya berenegosiasi.
Bukan untuk perundingan kembali, tetapi kita dukung beliau mengambil kembali
seluruhnya. Tanyakan Freeport, jika mereka harus hijrah sekarang, berapa
kerugian yang harus dibayar? Pasti mereka mengajukan net present value dari
kehadirannya di Timika. Menarik sekali mengetahui angka ini: seberapa jauh
mereka serakah dan mau menang sendiri?
Pak SBY berpengalaman semasa beliau Menteri ESDM
berenegosiasi dengan para pembangkit listrik swasta yang dalam kontrak menjual
listrik kepada PLN dengan harga tiga kali lipat dari harga yang dijual PLN
kepada rakyat Indonesia. Renegosiasinya berhasil. Juru rundingnya canggih:
Kuntoro Mangkusubroto. Kini sangat dekat dengan beliau. Tunggu apa lagi?
Saya sadar, banyak sekali yang dapat dilontarkan
sebagai bantahan: angkanya tak benar; BUMN mesti korup dan rusak; berapa pun
yang diperoleh dari Freeport, kita beroleh pendapatan. Silakan. Mari berdiskusi
atas dasar nalar dan data. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar