Deradikalisasi Berbasis Pesantren
Ahmad Shidqi, MAHASISWA PASCASARJANA UIN SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 16 November 2011
Tulisan
Affandi Mochtar dengan judul "Deradikalisasi Lunak" yang dimuat di
harian ini pada Selasa (8/11/2011) menarik untuk didiskusikan. Hal itu karena
tulisan tersebut muncul di tengah upaya keras pemerintah dalam mencari strategi
yang jitu bagi penghentian aksi terorisme di negeri ini. Dengan mengambil
contoh kesuksesan Arab Saudi dalam melakukan deradikalisasi keagamaan di
negaranya, tulisan tersebut setidaknya telah memancing diskusi terbuka bagi
munculnya berbagai alternatif dan kemungkinan politik yang bisa disumbangkan
kepada pemerintah dalam upayanya menanggulangi terorisme dan radikalisme agama,
yang perkembangannya terkesan "mentok" akhir-akhir ini.
Dalam artikelnya, Affandi tampak sangat terpesona terhadap kesuksesan Arab Saudi dalam menangani maraknya radikalisme Islam di negaranya. Sehingga tak heran bila dia berkali-kali menyarankan agar pemerintah, dalam hal ini BNPT, banyak belajar lagi kepada Arab Saudi dalam soal deradikalisasi ini.
Padahal, menurut beberapa pakar radikalisme Islam, seperti Greg Fealy dan Anthony Bubalo (2007) dan Noorhaidi Hasan (2008), Arab Saudi, di samping Mesir dan Pakistan, termasuk sebagai salah satu negara pengekspor "benih-benih" radikalisme Islam di Tanah Air. Banyak paham dan aksi radikalisme Islam di Indonesia ini bisa kita telusuri epicentrumnya di kawasan Timur Tengah sana. Namun, tampaknya Affandi mengungkap sisi lain dari Arab Saudi, yaitu sebuah negara yang berhasil melakukan deradikalisasi Islam di negaranya, bahkan bisa menjadi "acuan" bagi Amerika Serikat dalam melakukan deradikalisasi terhadap para tersangka terorisme yang ditahan di Guantanamo.
Lalu, pertanyaannya, apa yang bisa kita pelajari dari kesuksesan Arab Saudi tersebut? Atau dengan kata lain, bagaimana kita bisa mengadaptasi pengalaman kesuksesan Arab Saudi tersebut ke dalam seting sosial-politik dan budaya Indonesia? Tulisan ini akan mencoba menanggapi, atau mungkin lebih tepatnya menindaklanjuti gagasan dan saran Affandi di atas secara lebih konkret dan operasional bagi program deradikalisasi Islam di Indonesia.
Mempertimbangkan Pesantren
Menurut Affandi, kesuksesan Arab Saudi dalam melakukan deradikalisasi Islam di negaranya adalah bertumpu pada tiga strategi, yakni prevention (pencegahan), rehabilitation (rehabilitasi), dan aftercare (pembinaan pascapelepasan). Ketiga strategi ini dibangun oleh kerajaan Arab Saudi karena mereka sadar bahwa deradikalisasi yang hanya mengandalkan langkah keamanan tradisional terbukti tak efisien atau boleh dikata gagal.
Kegagalan pendekatan keamanan tradisional ini tampaknya bukan hanya terjadi di Arab Saudi, melainkan di negara-negara lain yang juga terancam oleh aksi brutal terorisme dan radikalisme agama seperti Indonesia. Sehingga dengan demikian, pengadaptasian terhadap ketiga strategi yang biasa disebut dengan program (PRAC/prevention, rehabilitation, aftercare) dalam konteks perang melawan terorisme di Indonesia juga perlu dipertimbangkan. Akan tetapi, agar program PRAC ala Arab Saudi tersebut bisa diimplementasikan secara maksimal di bumi Indonesia, diperlukan infrastruktur yang kuat dan berakar dalam kultur sosial dan keagamaan bangsa Indonesia.
Pesantren adalah salah satu institusi keagamaan paling tua dan memiliki akar sosial dan kultural yang cukup kuat dalam masyarakat Indonesia. Meskipun mengalami pergolakan internal yang cukup dinamis, legitimasi sosial dan politik umat Islam terhadap keberadaan dan peran pesantren masih cukup tinggi. Sehingga tidak salah kiranya bila kita mau mengadaptasi keberhasilan program deradikalisasi Arab Saudi yang bertumpu pada tiga program PRAC di atas, dengan menjadikan pesantren sebagai basisnya.
Pertama, untuk program pencegahan, misalnya, pemerintah bisa bekerja sama dengan para ulama atau pengasuh pesantren, yang jumlahnya di negeri ini mencapai ribuan itu, dalam membendung arus radikalisme agama di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, ulama pesantren ini bisa dijadikan aktor utama dalam kampanye deradikalisasi yang dilakukan pemerintah.
Karena sebagaimana kita ketahui, ulama atau pengasuh pesantren itu bukanlah figur yang berdiri sendiri, melainkan dia memiliki jaringan sosial yang melampaui tembok-tembok pesantrennya. Dia punya alumni pesantrennya yang masih setia mengikuti paham keagamaannya. Dia juga dihormati oleh masyarakat yang menjadi wali atau orang tua santri-santrinya.
Tidak hanya di situ, seorang ulama pesantren juga pasti akan diundang oleh masyarakat luas di sekitarnya untuk memberikan wejangan-wejangan keagamaan di hari-hari tertentu, seperti perayaan perkawinan, pengajian akbar, atau forum-forum keagamaan lainnya. Sehingga bila posisi sosial dan politik ini digunakan sebagai momentum bagi penyebaran paham keagamaan yang bersifat kontra terorisme, tindakan pencegahan setidaknya sudah bisa tersosialisasikan dengan baik.
Bayangkan bila di Indonesia ini terdapat 1.000 pesantren saja, dan masing-masing pesantren punya ratusan alumni dan ratusan wali santri yang terikat secara teologis dengan sang kiai, sudah berapa juta orang yang bisa dijangkau oleh program pencegahan ini.
Kedua, terkait program rehabilitasi dan pascapembinaan (aftercare), pesantren juga bisa menjadi tempat yang cukup strategis bagi rehabilitasi dan pembinaan para mantan teroris yang sudah keluar dari penjara (residivis). Selama ini, pemerintah mungkin sudah menjalankan program deradikalisasi terhadap narapidana teroris melalui pengiriman dai-dai moderat ke penjara-penjara, dengan harapan paham keagamaan para tersangka teroris menjadi lebih moderat (terderadikalisasi). Akan tetapi, setelah mereka keluar penjara, tidak sedikit paham keagamaan mereka kembali menjadi radikal.
Hal itu karena setelah keluar dari penjara, mereka kembali pada komunitasnya semula, yaitu komunitas yang berpaham radikal. Oleh sebab itu, agar mereka bisa terputus jaringannya, dan tentu saja juga ideologinya, dengan komunitasnya terdahulu, pesantren moderat bisa dijadikan tempat "berpulang" bagi para mantan teroris yang baru keluar penjara.
Di pesantren inilah mereka bisa memperkuat moderatisme Islam sekaligus mencoba membangun komunitas baru yang lebih baik. Karena bagaimanapun, seorang residivis biasanya mengalami tekanan psikologis yang cukup berat ketika mereka harus kembali ke masyarakat. Tidak terkecuali residivis terorisme yang selama ini kerap mendapat stigma yang kurang baik di mata masyarakat luas.
Oleh karena itu, dengan mendekatkan para residivis ini ke dalam komunitas pesantren moderat, tentunya juga ditunjang oleh program ekonomi produktif. Maka itu, mereka bisa merasa mendapat tempat yang layak, baik secara sosial maupun keagamaan. Bahkan kalau perlu, bagi anak dan istri yang kepala keluarganya dipenjara atau dihukum mati karena kasus terorisme, pesantren moderat bisa menyediakan pendidikan mereka secara gratis, sedangkan istrinya juga bisa diberi aktivitas yang produktif di lingkungan pesantren tersebut.
Strategi ini tentunya masih sekadar gagasan lepas yang perlu diperdebatkan efektivitasnya. Dan, akan sangat menarik bila wacana atau gagasan tentang berbagai kemungkinan dan alternatif baru terkait strategi deradikalisasi keagamaan ini bisa didiskusikan secara terbuka di tengah-tengah masyarakat. Karena tanggung jawab untuk membangun rasa aman di tengah masyarakat, termasuk rasa aman dari ancaman terorisme, bukan semata-mata berada di pundak pemerintah, apalagi BNPT, melainkan justru diharapkan datang dari partisipasi masyarakat sebagai korban masif dari kejahatan terorisme itu sendiri. ●
Dalam artikelnya, Affandi tampak sangat terpesona terhadap kesuksesan Arab Saudi dalam menangani maraknya radikalisme Islam di negaranya. Sehingga tak heran bila dia berkali-kali menyarankan agar pemerintah, dalam hal ini BNPT, banyak belajar lagi kepada Arab Saudi dalam soal deradikalisasi ini.
Padahal, menurut beberapa pakar radikalisme Islam, seperti Greg Fealy dan Anthony Bubalo (2007) dan Noorhaidi Hasan (2008), Arab Saudi, di samping Mesir dan Pakistan, termasuk sebagai salah satu negara pengekspor "benih-benih" radikalisme Islam di Tanah Air. Banyak paham dan aksi radikalisme Islam di Indonesia ini bisa kita telusuri epicentrumnya di kawasan Timur Tengah sana. Namun, tampaknya Affandi mengungkap sisi lain dari Arab Saudi, yaitu sebuah negara yang berhasil melakukan deradikalisasi Islam di negaranya, bahkan bisa menjadi "acuan" bagi Amerika Serikat dalam melakukan deradikalisasi terhadap para tersangka terorisme yang ditahan di Guantanamo.
Lalu, pertanyaannya, apa yang bisa kita pelajari dari kesuksesan Arab Saudi tersebut? Atau dengan kata lain, bagaimana kita bisa mengadaptasi pengalaman kesuksesan Arab Saudi tersebut ke dalam seting sosial-politik dan budaya Indonesia? Tulisan ini akan mencoba menanggapi, atau mungkin lebih tepatnya menindaklanjuti gagasan dan saran Affandi di atas secara lebih konkret dan operasional bagi program deradikalisasi Islam di Indonesia.
Mempertimbangkan Pesantren
Menurut Affandi, kesuksesan Arab Saudi dalam melakukan deradikalisasi Islam di negaranya adalah bertumpu pada tiga strategi, yakni prevention (pencegahan), rehabilitation (rehabilitasi), dan aftercare (pembinaan pascapelepasan). Ketiga strategi ini dibangun oleh kerajaan Arab Saudi karena mereka sadar bahwa deradikalisasi yang hanya mengandalkan langkah keamanan tradisional terbukti tak efisien atau boleh dikata gagal.
Kegagalan pendekatan keamanan tradisional ini tampaknya bukan hanya terjadi di Arab Saudi, melainkan di negara-negara lain yang juga terancam oleh aksi brutal terorisme dan radikalisme agama seperti Indonesia. Sehingga dengan demikian, pengadaptasian terhadap ketiga strategi yang biasa disebut dengan program (PRAC/prevention, rehabilitation, aftercare) dalam konteks perang melawan terorisme di Indonesia juga perlu dipertimbangkan. Akan tetapi, agar program PRAC ala Arab Saudi tersebut bisa diimplementasikan secara maksimal di bumi Indonesia, diperlukan infrastruktur yang kuat dan berakar dalam kultur sosial dan keagamaan bangsa Indonesia.
Pesantren adalah salah satu institusi keagamaan paling tua dan memiliki akar sosial dan kultural yang cukup kuat dalam masyarakat Indonesia. Meskipun mengalami pergolakan internal yang cukup dinamis, legitimasi sosial dan politik umat Islam terhadap keberadaan dan peran pesantren masih cukup tinggi. Sehingga tidak salah kiranya bila kita mau mengadaptasi keberhasilan program deradikalisasi Arab Saudi yang bertumpu pada tiga program PRAC di atas, dengan menjadikan pesantren sebagai basisnya.
Pertama, untuk program pencegahan, misalnya, pemerintah bisa bekerja sama dengan para ulama atau pengasuh pesantren, yang jumlahnya di negeri ini mencapai ribuan itu, dalam membendung arus radikalisme agama di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, ulama pesantren ini bisa dijadikan aktor utama dalam kampanye deradikalisasi yang dilakukan pemerintah.
Karena sebagaimana kita ketahui, ulama atau pengasuh pesantren itu bukanlah figur yang berdiri sendiri, melainkan dia memiliki jaringan sosial yang melampaui tembok-tembok pesantrennya. Dia punya alumni pesantrennya yang masih setia mengikuti paham keagamaannya. Dia juga dihormati oleh masyarakat yang menjadi wali atau orang tua santri-santrinya.
Tidak hanya di situ, seorang ulama pesantren juga pasti akan diundang oleh masyarakat luas di sekitarnya untuk memberikan wejangan-wejangan keagamaan di hari-hari tertentu, seperti perayaan perkawinan, pengajian akbar, atau forum-forum keagamaan lainnya. Sehingga bila posisi sosial dan politik ini digunakan sebagai momentum bagi penyebaran paham keagamaan yang bersifat kontra terorisme, tindakan pencegahan setidaknya sudah bisa tersosialisasikan dengan baik.
Bayangkan bila di Indonesia ini terdapat 1.000 pesantren saja, dan masing-masing pesantren punya ratusan alumni dan ratusan wali santri yang terikat secara teologis dengan sang kiai, sudah berapa juta orang yang bisa dijangkau oleh program pencegahan ini.
Kedua, terkait program rehabilitasi dan pascapembinaan (aftercare), pesantren juga bisa menjadi tempat yang cukup strategis bagi rehabilitasi dan pembinaan para mantan teroris yang sudah keluar dari penjara (residivis). Selama ini, pemerintah mungkin sudah menjalankan program deradikalisasi terhadap narapidana teroris melalui pengiriman dai-dai moderat ke penjara-penjara, dengan harapan paham keagamaan para tersangka teroris menjadi lebih moderat (terderadikalisasi). Akan tetapi, setelah mereka keluar penjara, tidak sedikit paham keagamaan mereka kembali menjadi radikal.
Hal itu karena setelah keluar dari penjara, mereka kembali pada komunitasnya semula, yaitu komunitas yang berpaham radikal. Oleh sebab itu, agar mereka bisa terputus jaringannya, dan tentu saja juga ideologinya, dengan komunitasnya terdahulu, pesantren moderat bisa dijadikan tempat "berpulang" bagi para mantan teroris yang baru keluar penjara.
Di pesantren inilah mereka bisa memperkuat moderatisme Islam sekaligus mencoba membangun komunitas baru yang lebih baik. Karena bagaimanapun, seorang residivis biasanya mengalami tekanan psikologis yang cukup berat ketika mereka harus kembali ke masyarakat. Tidak terkecuali residivis terorisme yang selama ini kerap mendapat stigma yang kurang baik di mata masyarakat luas.
Oleh karena itu, dengan mendekatkan para residivis ini ke dalam komunitas pesantren moderat, tentunya juga ditunjang oleh program ekonomi produktif. Maka itu, mereka bisa merasa mendapat tempat yang layak, baik secara sosial maupun keagamaan. Bahkan kalau perlu, bagi anak dan istri yang kepala keluarganya dipenjara atau dihukum mati karena kasus terorisme, pesantren moderat bisa menyediakan pendidikan mereka secara gratis, sedangkan istrinya juga bisa diberi aktivitas yang produktif di lingkungan pesantren tersebut.
Strategi ini tentunya masih sekadar gagasan lepas yang perlu diperdebatkan efektivitasnya. Dan, akan sangat menarik bila wacana atau gagasan tentang berbagai kemungkinan dan alternatif baru terkait strategi deradikalisasi keagamaan ini bisa didiskusikan secara terbuka di tengah-tengah masyarakat. Karena tanggung jawab untuk membangun rasa aman di tengah masyarakat, termasuk rasa aman dari ancaman terorisme, bukan semata-mata berada di pundak pemerintah, apalagi BNPT, melainkan justru diharapkan datang dari partisipasi masyarakat sebagai korban masif dari kejahatan terorisme itu sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar