Mencari Format Dialog Jakarta-Papua
Neles Tebay, PENGAJAR PADA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI FAJAR
TIMUR, ABEPURA, PAPUA
Sumber : SINAR HARAPAN, 17 November 2011
Dialog
antara Pemerintah Indonesia dan orang Papua atau dialog Jakarta-Papua perlu
dilakukan karena konflik Papua masih belum dituntaskan.
Indikator
konflik adalah berbagai aksi kekerasan yang terus terjadi hingga kini yang
menewaskan bukan hanya warga sipil, tetapi juga anggota Polri dan TNI, adanya
pengibaran bendera Bintang Kejora, adanya tuntutan referendum, adanya stigma
separatis terhadap orang Papua, dan penerapan “makar” dan subversif bagi orang
Papua yang dituduh separatis, serta pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III pada
Oktober 2011.
Di tengah konflik Papua yang masih
membara, terbitlah secercah harapan akan penyelesaian konflik Papua secara
damai. Kita melihat keinginan dari pemerintah dan orang Papua untuk
menyelesaikan konflik Papua tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Hal itu
sudah diperlihatkan melalui pernyataan terbuka dari kedua belah pihak.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono telah mengumumkan kesediaan pemerintah untuk berdialog
dengan semua komponen masyarakat di Tanah Papua dalam rangka penyelesaian
konflik Papua, dengan mencarikan solusi dan opsi terhadap berbagai permasalahan
di Tanah Papua.
Rakyat
Papua, baik yang hidup di Tanah Papua maupun di luar negeri, juga telah menyatakan
kesediaan mereka untuk berdialog dengan pemerintah guna mencari solusi-solusi
damai atas konflik Papua.
Kesediaan kedua belah pihak tersebut
perlu didukung semua pihak di Jakarta dan Papua. Para menteri Kabinet Indonesia
Bersatu, TNI, Polri, DPR, DPD, dan berbagai kelompok masyarakat sipil di
Jakarta perlu mendukung inisiatif dialog damai ini.
Semua pihak di Tanah Papua seperti
pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, TNI, Polri, DPR Papua, dan
DPR Papua Barat, semua DPRD kabupaten, Majelis Rakyat Papua (MRP), pemimpin
agama, pemimpin adat, pemimpin perempuan, dan semua kelompok masyarakat sipil
juga perlu mendukung inisiatif dialog ini.
Persoalannya
adalah mengapa kemauan itu belum juga terwujud dalam pelaksanaan? Menurut
penulis, ada sejumlah hambatan.
Pertama, konsep dialog Jakarta-Papua belum
dapat diterima kedua belah pihak. Kedua, masih ada ketakutan dan
kecurigaan dari pemerintah bahwa orang Papua akan membahas kemerdekaan Papua
dalam dialog.
Ketiga, masih ada ketidakpercayaan dari orang
Papua bahwa Jakarta tidak pernah akan melaksanakan secara konsisten semua
kesepakatan yang diambil dalam dialog. Keempat, masing-masing pihak
masih terkungkung dalam kotak "harga mati", yakni Papua dalam kotak
NKRI harga mati, dan orang Papua dalam “Papua Merdeka harga mati”.
Samakan
Persepsi
Dialog
Jakarta-Papua tidak perlu dilaksanakan secara tergesa-gesa, melainkan harus
dipersiapkan dengan baik. Berbagai perbedaan persepsi tentang dialog perlu
disamakan terlebih dahulu. Sejumlah kesepakatan perlu ditetapkan sebagai
pegangan bersama bagi pemerintah dan rakyat Papua untuk masuk dalam dialog
Jakarta-Papua.
Suatu
hal mendesak yang perlu dilakukan adalah penyamaan persepsi tentang
prinsip-prinsip dasar, tujuan, target, agenda, mekanisme/tahapan, tempat, dan
fasilitator dialog. Semua hal ini perlu dibahas dan didiskusikan oleh
wakil-wakil dari pemerintah dan rakyat Papua.
Diskusi-diskusi
ini sangat vital, bukan hanya untuk mengikis sikap curiga dan meningkatkan
sikap saling percaya antara pemerintah dan rakyat Papua sebelum dialog dimulai,
melainkan juga untuk melahirkan suatu kerangka atau format dialog yang dapat
diterima dan disetujui kedua belah pihak.
Kedua
belah pihak perlu dibantu melalui sejumlah diskusi tertutup, untuk mencapai
kesepakatan yang memberikan landasan kuat untuk memulai dialog Jakarta-Papua,
yang tercermin dalam jawaban-jawaban yang diberikan atas sejumlah pertanyaan
penting.
Apakah
konflik Papua hendak dicarikan solusi-solusinya secara damai atau melalui
kekerasan? Apakah konflik Papua hendak dituntaskan secara menyeluruh atau
parsial?
Apakah konflik Papua hendak diselesaikan secara bermartabat dengan
tidak ada pihak yang merasa kehilangan muka atau masing-masing pihak mencari
kemenangan dengan mengalahkan pihak lain?
Apakah
ada komitmen untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang diambil dalam
dialog Jakarta-Papua? Apa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui dialog? Apa
saja yang menjadi target jangka pendek yang hendak dicapai langsung setelah terlaksananya
dialog?
Kelompok-kelompok
aktor siapa yang perlu dilibatkan dalam proses persiapan dan pelaksanaan
dialog? Apa mekanisme persiapan dialog yang dapat memungkinkan keterlibatan
dari semua kelompok aktor?
Apakah
perlu fasilitator yang boleh membantu pelaksanaan pertemuan sebelum dan selama
dialog berlangsung? Apakah perlu pihak ketiga yang netral dan independen untuk
berperan sebagai mediator dalam dialog Jakarta-Papua?
Jawaban-jawaban
atas pertanyaan ini dapat dirangkum sebagai kerangka dialog Jakarta-Papua.
Kalau kerangkanya sudah diterima kedua belah pihak, dialog Jakarta-Papua sudah
bisa dimulai tanpa hambatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar