Rabu, 09 November 2011

“Islam Politik” di Tunisia



“Islam Politik” di Tunisia
M. Guntur Romli, PENGAMAT TIMUR TENGAH
Sumber : KOMPAS, 09 November 2011


Kemenangan Partai Nahdah (Kebangkitan) di Tunisia dalam pemilu 23 Oktober lalu dengan 41,47 persen suara menyita perhatian dunia.

Nahdah beraroma ”Islam politik” dan kemenangannya diprediksi berdampak pada perkembangan aliran politik di Timur Tengah. Perubahan politik di beberapa negeri di Timur Tengah, yang sering disebut sebagai musim semi Arab, dimulai dari Tunisia (Desember 2010) dan menjalar ke seluruh kawasan. Akankah Nahdah membangkitkan gairah pan-Islamisme di kawasan itu?

Nahdah beroleh 90 dari 217 kursi di parlemen dan mengungguli Partai Kongres untuk Republik yang berhaluan kiri: 13,82 persen atau 30 kursi; Al-Takatul 9,68 persen atau 21 kursi; serta partai yang dekat dengan Ben Ali, Al-Aridlah al-Sya’biyah, 19 kursi.

Mengapa Nahdah bisa menang pemilu yang pertama dilaksanakan bebas demokratis sejak Tunisia merdeka pada 1956?

Pertama, kemenangan Nahdah membawa pesan bahwa rakyat Tunisia menginginkan perubahan total dan terlepas dari bayang-bayang rezim lama: Ben Ali. Meski dalam pemilu ini ada partai oposisi pada era Ben Ali, bagi rakyat Tunisia, mereka masih merupakan wajah lama. Dengan memilih Nahdah, rakyat Tunisia ingin perubahan politik. Wajah baru dan segar ditawarkan hanya oleh Nahdah, bukan lingkaran Ben Ali, baik protagonis maupun antagonisnya.
Aktivis politik Nahdah meraih simpati publik karena pada masa Ben Ali berkuasa, mereka sasaran kekerasan. Rashid al-Ghannushi, pemimpin spiritual partai ini, menjadi pelarian politik dan terpaksa 30 tahun hidup di Eropa. Hamadi Jebali, sekretaris jenderal partai ini yang kini jadi kandidat terkuat perdana menteri Tunisia, masuk-keluar penjara.

Kedua, kekuatan kubu ”Islam politik” bersatu di bawah Nahdah. Partai ini tak punya pesaing yang berasal dari ideologi dan latar pemilih yang sama. Bandingkan dengan kubu lawan mereka yang berasal dari kaum nasionalis, sekuler, sosialis, hingga komunis yang terpecah dalam banyak partai. Sebagai satu-satunya representasi kekuatan ”Islam politik” di Tunisia, Nahdah meraih mayoritas suara.

Ketiga, Nahdah telah memiliki modal sosial dan politik yang kuat. Partai ini adalah kelanjutan dari gerakan (harakah) sosial-politik keagamaan yang bergerak dalam pemberdayaan politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya yang berdiri pada 1981. Represi yang dilakukan Ben Ali terhadap tokoh dan aktivis gerakan ini tak mampu melemahkan kekuatan Nahdah, malah kian mendapat simpati masyarakat.

Keempat, yang paling penting dari kemenangan Nahdah adalah kemampuan politisi mereka menyesuaikan diri dengan agenda perubahan rakyat Tunisia. Artikulasi politik Nahdah dianggap paling bisa ditangkap dan klop dengan tuntutan Revolusi Tunisia yang menggulingkan Ben Ali.

Tuntutan revolusi itu menyangkut pemberantasan korupsi, pemulihan krisis ekonomi dan sosial (khususnya pengangguran dan inflasi), serta kebebasan berbicara. Meski termasuk partai Islam, Nahdah membawa Islam yang tak menakutkan dan lebih menggaungkan agenda nasional Tunisia seperti memburu koruptor. Mereka tak terjebak dalam tujuan remeh-temeh seperti dalam istilah Adil al-Tharifi, kolumnis Asharq Awsat, ”hanya memburu bikini dan alkohol”.

Minus ”Islamisasi”

Hal yang paling menarik dari kemenangan Nahdah ini adalah fenomena wajah baru dari varian ”Islam politik”, yakni ”Islam politik” minus ”Islamisasi” karena agenda yang mereka tawarkan dalam kampanye lalu jauh dari ”politisasi Islam”.

Nahdah bisa dikiaskan dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki yang berasal dari latar politisi dan konstituen Muslim, tetapi artikulasi politik mereka di publik tidak membawa aspirasi sektarian dan ideologis. Fokus utama AKP adalah kesejahteraan ekonomi dan penyatuan Turki dengan Uni Eropa.

Dengan agenda yang ”duniawi” inilah AKP mampu meraih kepercayaan rakyat Turki dan menang dalam dua pemilu berturut-turut. Mereka menguasai parlemen, jabatan perdana menteri, dan presiden Turki. Rashid al-Ghannushi yang semula terinspirasi tokoh dan kelompok Ikhwan Muslimun (IM) di Mesir kini menyatakan kekagumannya dan ingin mengambil AKP Turki sebagai inspirasi politik di Tunisia. Nahdah sebagai pergerakan lebih dekat dengan IM Mesir, tetapi Nahdah sebagai partai politik lebih dekat ke AKP Turki.

Islam yang diusung oleh Nahdah bukan Islam dalam pengertian Sayyid Qutb, tokoh keras IM Mesir, atau Abu A’la al-Maududi, pendiri Jemaat Islam di Pakistan, melainkan Islam yang mengimani demokrasi, kebebasan, kesetaraan dalam kehidupan politik, dan mengakui hak-hak perempuan, anti-kekerasan, dan berdialog dengan Barat.

Dalam wawancara dengan Al-Jazeera, 22 Januari 2011, Al- Ghannushi menegaskan ia antisistem Khilafah Islam versi Hizb Tahrir. Ia menjamin partainya tak mengubah Tunisia jadi negara Islam atau khilafah Islam.

AKP dan Nahdah berhaluan ekonomi liberal dan pro-pasar bebas. Setelah media memuat kemenangan Nahdah dengan predikat ”Islam politik”, Al-Ghannu- shi buru-buru memberi pernyataan menenangkan pelaku bursa saham di Tunisia bahwa partainya tak akan mengubah kebijakan dan kesepakatan ekonomi sebelumnya. Untuk meraih simpati Eropa, khususnya Perancis, ia mengatakan bahwa ia dan masyarakat Tunisia sudah hidup separuh sebagai orang Arab dan separuh sebagai orang Perancis.

Nahdah diam-diam telah berhubungan baik dengan AS. Hamadi Jebali pada Mei 2011, setelah rezim Ben Ali tumbang, diundang ke Washington DC. Sebagai alibi, ia jadi pembicara di Center for the Study of Islam and Democracy. Namun, resminya ia bersua dengan dua tokoh politik berpengaruh di AS: Senator John McCain (capres AS 2008) dan Joe Lieberman (cawapres AS 2000). Pertemuan ini, menurut Maghreb Confidential, 26 Mei 2011, menunjukkan Washington ready to play soft Islam card.

Opini di media internasional menganggap Nahdah representasi ”Islam moderat” yang bisa bersahabat dan bekerja sama dengan Barat, khususnya pasar bebas, karena sistem ekonomi dunia dilanda sakit berat. Oleh lawan politiknya di Tunisia dari kelompok kiri dan Islam ekstrem, Nahdah dituding sebagai kebangkitan kaum borjuis dan kapitalis yang hanya membawa sentimen Islam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar