Rabu, 30 September 2015

50 Tahun Studi G30S 1965

50 Tahun Studi G30S 1965

Asvi Warman Adam ;   Sejarawan LIPI
                                                     KOMPAS, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah meletus Gerakan 30 September 1965, sampai sekarang telah diterbitkan ribuan tulisan serta banyak film dan program televisi. Dari perspektif historiografi yang menonjolkan HAM, gelombang pengkajian itu dapat dibagi atas lima episode. Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan.

Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode kelima ditandai dengan pemutaran film Jagal (2012) dan Senyap (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang.

Lima narasi, lima aspek

Pada episode pertama, yang diperdebatkan siapa dalang G30S 1965? Buku pertama mengenai peristiwa ini 40 Hari Kegagalan ”G30S”, 1 Oktober-10 November 1965. Bukut ini terbit 27 Desember 1965 atas prakarsa Jenderal Nasution, yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia (UI).

Walaupun belum menggunakan label ”G30S/PKI”, buku ini sudah menyinggung keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam percobaan kudeta tersebut. Akan tetapi, pandangan yang berbeda diajukan ilmuwan AS, Ben Anderson dan Ruth McVey, yang melihat keterlibatan AD. Laporan itu, yang kemudian dikenal sebagai ”Cornell Paper”, terungkap keberadaannya lewat Washington Post edisi 5 Maret 1966.

Tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA memberi tahu Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, tentang keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan. Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), untuk melakukan penulisan di AS.

Dengan bantuan Guy Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh berhasil membuat buku The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Buku ini dibagikan kepada peserta Kongres Sejarawan Asia (IAHA) di Kuala Lumpur tahun 1968. Prestasi besar ini menyebabkan Pusat Sejarah ABRI mendapat tempat yang luas di bekas kediaman Dewi Soekarno di Wisma Yaso, yang kemudian menjadi Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan, kelak, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menjadi menteri.

Dalam kunjungan ke AS, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa berbagai dokumen, termasuk berkas perkara Mahmilub terhadap Heru Atmojo yang melampirkan visum et repertum jenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal. Episode kedua narasi G30S adalah sosialisasi versi tunggal penguasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia tahun 1975, terutama jilid 6 yang melegitimasi rezim Orde Baru. Nugroho juga memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C Noer, 1984. Film itu wajib tayang di layar televisi setiap malam tanggal 30 September.

Sejak 1967 dilakukan desukarnoisasi dalam sejarah Indonesia. Berhentinya Soeharto sebagai presiden Mei 1998 menandai episode ketiga narasi G30S. Korban mulai bersuara. Sejarah lisan pun dikerjakan, yang menonjol di antaranya 1965: Tahun yang Tidak Pernah Berakhir. Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.

Episode keempat narasi G30S ditandai penerbitan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, tahun 2008. Bila semula yang diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, kini fokusnya beralih: siapa dalang pembantaian 1965. Roosa dalam bukunya yang kini bisa diunduh di internet menganggap aksi G30S itu dijadikan dalih melakukan pembunuhan massal. Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai episode kelima narasi G30S. Bila sebelumnya para korban berbicara, kini pelaku bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar 2014.

Gambaran secara hidup pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S itu mendekonstruksi narasi yang disosialisasikan Orde Baru. Pada 10 Desember 2014 film Senyap (The Look of Silence) melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bila diperhatikan, karya yang beredar pada episode ketiga, yakni sejak Era Reformasi, terlihat bahwa G30S itu mencakup lima aspek.

Pertama, peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua, pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga, pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru, 1969-1979.

Bila ketiga hal itu lebih bersifat kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bersifat kekerasan mental, yakni, keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima, stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan anggota ABRI.

Rekonsiliasi nasional

Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Areal kajian tak saja mencakup Jawa dan Sumatera, tetapi sudah meluas sampai Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Kemajuan kajian mengenai G30S 1965 semoga membantu terciptanya rekonsiliasi nasional seperti diamanatkan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan, Agustus 2015. Sebelum tercapai rekonsiliasi, tentu perlu pengungkapan kebenaran yang akan terbantu oleh berbagai kajian selama 50 tahun ini.

Berdamai dengan Masa Lalu

Berdamai dengan Masa Lalu

Agus Widjojo ;   Anak Pahlawan Revolusi
                                                     KOMPAS, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setiap menjelang 30 September, selalu muncul wacana tentang tragedi Gerakan 30 September 1965. Namun, wacana yang muncul masih terbagi dalam dua kelompok.

Kelompok pertama berpihak kepada korban dari eks anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan pengembangannya berbentuk berbagai tuntutan: dimulai dari proses pengadilan bagi pelaku, reparasi bagi korban, hingga pembersihan nama PKI dengan dalih peristiwa ini akibat dari gejolak internal yang ada dalam TNI AD. Masih ada variasi kembangan bahwa peristiwa ini berkaitan dengan peran asing, khususnya intelijen Amerika Serikat, yang berada di belakang TNI AD.

Di sisi lain, ada kelompok yang menyatakan PKI dalang dan berada di belakang peristiwa ini dalam rangka perebutan kekuasaan politik dengan melakukan aksi ofensif terhadap TNI AD. Ini yang mengakibatkan gugurnya tujuh pahlawan revolusi yang jenazahnya ditemukan di lubang sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, serta dua perwira menengah di Yogyakarta. Kelompok ini menolak keberadaan segala sesuatu yang berbau dan berkaitan dengan komunisme dalam bentuk apa pun di Indonesia.

Rekonsiliasi nasional

Keadaan ini menunjukkan, masyarakat dan bangsa kita masih belum dapat berdamai dan menutup masa lalunya. Kelompok-kelompok masyarakat yang punya kedekatan hubungan emosional, seperti anggota keluarga yang terlibat dengan peristiwa tersebut, masih belum bisa mengadakan refleksi dan memberi jarak pada peristiwa tersebut. Pada dasarnya posisi kedua kelompok ini masih belum berubah dari posisi mereka ketika peristiwa ini terjadi pada 1965. Dapat kita katakan, dilihat dari perspektif tragedi 1965 kedua kelompok ini, Indonesia masih berada dalam tahun 1965.

Telah ada tanda-tanda upaya pemerintah untuk mencari penyelesaian atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Namun, semua upaya tersebut tidak sampai berwujud pada bentuk konkret. Telah ada pernyataan publik Jaksa Agung yang menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui cara non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Terlepas dari benar atau tidaknya rumor, pernah beredar juga bahwa pemerintah akan minta maaf, khususnya kepada korban dari keluarga eks anggota PKI. Kesimpangsiuran informasi yang ada dan belum berkembangnya rencana pemerintah dapat dikatakan disebabkan oleh tidak adanya pemahaman tentang konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu, khususnya yang akan diselesaikan melalui rekonsiliasi.

Sebagai prinsip, pertama-tama dapat dikatakan bahwa semua tindakan pelanggaran HAM berat idealnya diselesaikan melalui pengadilan. Hanya pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan—karena tak memenuhi syarat—yang dapat diselesaikan melalui penyelesaian non-yudisial dalam bentuk rekonsiliasi. Mandat untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi ini kita dapatkan dalam Pasal 47 a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dalam UU tersebut dinyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU ini tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga dalam UU itu dinyatakan, pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun disebutkan terdapat 10 bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, dinyatakan bahwa pelanggaran HAM berat dipersyaratkan memenuhi ketentuan perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui ditujukan langsung terhadap penduduk sipil. Oleh karena itu, pelanggaran HAM berat merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik.

Agar rekonsiliasi dapat tercapai, perlu dipenuhi beberapa persyaratan. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, rekonsiliasi lebih bersifat berimbang dari upaya pembuktian suatu kesalahan dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban serta tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi anak-cucu kita di masa depan. Pada akhirnya, rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dan menutup masa lalunya.

Untuk mencapai tujuan itu, rekonsiliasi terdiri atas empat elemen yang perlu dicapai secara seimbang. Elemen tersebut adalah keadilan, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, dan reparasi. Dalam negara yang tengah mengalami masa transisi dari rezim pemerintahan otoritarian menuju demokrasi, terkadang lebih realistis untuk memilih opsi yang mungkin dilaksanakan daripada opsi yang ideal, tetapi tak mungkin diwujudkan. Memaksakan penyelesaian suatu kasus pelanggaran HAM yang berat melalui proses pengadilan dalam masa transisi mengandung risiko tak mencapai tujuan keadilan retributif, malah bisa berakibat sebaliknya. Negara-negara dalam masa transisi menghadapi pilihan berat dalam upaya memberi keseimbangan antara imperatif keadilan dan rekonsiliasi dengan realitas politik untuk mengendalikan impunitas.

Keadilan, perdamaian, dan demokrasi bukan merupakan sasaran yang eksklusif terpisah satu dengan yang lain, tetapi merupakan imperatif yang saling memperkuat dan memerlukan perencanaan strategis, kesatuan rencana, dan penahapan yang cermat. Elemen pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas kebenaran. Pencarian kebenaran cara yang penting untuk menyembuhkan luka lama, mengidentifikasi korban, meningkatkan akuntabilitas terhadap para pelaku, dan mengidentifikasi kelemahan dalam sistem atau pembuatan kebijakan untuk dapat kita perbaiki dalam elemen reformasi kelembagaan sebagai bagian keadilan transisional.

Reparasi merupakan proyek pemerintah yang dapat menyatakan pengakuan kepada mereka yang hak-hak dasarnya telah dilanggar, meliputi pengakuan atas pelanggaran atas hak korban, pengakuan atas tanggung jawab negara, dan pengakuan terhadap cedera yang diderita korban sebagai akibat dari tindak kekerasan. Reparasi simbolis dapat berbentuk pernyataan penyesalan, penentuan hari-hari peringatan, pembangunan monumen atau museum. Yang terpenting di sini adalah bahwa semua tentang kesalahan apa yang dilakukan dalam kaitan dengan kewenangan berbagai lembaga, hubungan antara kewenangan lembaga, serta kewajiban untuk patuh pada berbagai peraturan perundang-undangan yang ada perlu diidentifikasi sehingga menjelaskan mengapa sampai terjadi pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan pada sesama bangsa. Kelemahan dan kesalahan itulah yang perlu kita koreksi dalam elemen reformasi kelembagaan untuk menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.

Demi kepentingan bangsa

Dari uraian di atas, jelas bahwa rekonsiliasi bukanlah konsep upaya mementingkan salah satu kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. Rekonsiliasi bukan untuk membuktikan siapa salah dan benar. Rekonsiliasi juga bukan untuk menjustifikasi tuntutan salah satu pihak terhadap pihak lain. Rekonsiliasi adalah upaya penyelesaian konflik yang selalu berpihak pada kepentingan bangsa.

Rekonsiliasi pada hakikatnya harus lahir dari kesepakatan dan kemauan kuat untuk menutup masa lalu dan membangun masa depan. Menutup masa lalu dengan memaafkan, tetapi tidak melupakan. Tidak melupakan di sini diartikan tidak serta-merta meninggalkan ingatan terhadap peristiwa, tetapi kita harus dapat menarik pelajaran dari kesalahan masa lalu, memperbaikinya, dan menjamin agar peristiwa serupa tidak terulang.

Menjadi jelas, menutup masa lalu tidaklah sesederhana hanya dengan permintaan maaf pemerintah kepada korban PKI. Logika dari kebijakan seperti ini hanya akan melahirkan pertanyaan apakah kesalahan hanya terletak pada pemerintah sehingga pemerintah yang berkewajiban meminta maaf? Apakah korban hanya di pihak eks anggota PKI sehingga permintaan maaf hanya ditujukan kepada korban eks anggota PKI? Rekonsiliasi ini bukan diadakan untuk kepentingan korban eks anggota PKI dan keluarganya. Rekonsiliasi memiliki lingkup bangsa dan jika kita ingat bahwa tragedi 1965 merupakan puncak perebutan kekuasaan politik dari tiga kekuatan politik terbesar pada saat itu, yaitu Presiden Soekarno, PKI, dan TNI AD, di sini kita harus melawan lupa terhadap memori institusional tiga kekuatan politik tersebut untuk membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional tragedi 1965.

Tidak boleh kita lupakan, proses politik yang memuncak pada tragedi 1965 merupakan proses sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Oleh karena itu, apabila kita menguji kemampuan bangsa untuk melaksanakan rekonsiliasi nasional berdasarkan model tragedi 1965, kita tidak bisa berawal hanya dari tanggal 1 Oktober 1965. Untuk melawan lupa, kita pun perlu melihat yang diperbuat PKI pada 1948 di Madiun. Tragedi 1965 dapat dilihat sebagai pengulangan perjuangan ideologis PKI dengan menggunakan metode dan cara yang sama.

Tentu hal ini berlaku juga bagi TNI AD dalam catatan institusionalnya. Namun, jangan dilupakan, TNI AD saat ini telah melaksanakan reformasi kelembagaan sehingga apabila dipenuhi persyaratan otoritas politik yang kompeten dan efektif, tindakan yang dilakukan TNI AD pada masa lalu—khususnya pasca tragedi 1965—tidak dapat diulangi. Hal ini merupakan jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa mendatang.

Terhadap perspektif korban eks anggota PKI dan keluarganya bahwa banyak di antara mereka telah jadi korban—baik korban jiwa maupun dirampasnya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tanpa pengadilan dan hak membela diri—apabila memang terjadi, mengapa itu tidak dicatat sebagai pengalaman pahit bangsa dan diakui sebagai kenyataan? Akan tetapi, dalam rekonsiliasi, persoalannya tidak berhenti di situ. Rekonsiliasi tidak hanya untuk mencari akuntabilitas dan memberi justifikasi terhadap tuntutan korban, tetapi juga untuk kepentingan bangsa. Rekonsiliasi mencari penyelesaian yang melampaui itu semua, yaitu mencari jawaban atas pertanyaan: mengapa saling bunuh antarsesama anak bangsa bisa terjadi?

Terhadap tuntutan golongan yang menyatakan tidak ada tempat bagi ideologi komunis di bumi Indonesia, sebenarnya itu sudah otomatis mengandung kebenaran. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 memang tidak ada tempat bukan saja bagi komunis, melainkan juga ideologi lain. Rekonsiliasi merupakan kesepakatan bangsa untuk belajar dari kesalahan yang dilakukan oleh bangsa ini di masa lalu guna menutup masa lalu tanpa melupakan, mengawali era baru untuk menatap masa depan yang tidak memberi kemungkinan bagi terulangnya peristiwa kelam bangsa di masa lalu.

Membuat lembaran baru

Oleh karena itu, rekonsiliasi tidak bisa dibangun atas pendekatan hitam-putih dan zero-sum game. Untuk itu, diperlukan kesediaan berkorban dari setiap pihak untuk menggantikan mitos-mitos lama yang berawal dari konflik dengan nilai-nilai baru berdasarkan orientasi ke masa depan dan kesepakatan untuk membuat lembaran membangun masyarakat baru melalui pemulihan harkat dan martabat manusia.

Rekonsiliasi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia masih sulit dimulai. Salah satu sebab utamanya, pengertian rekonsiliasi dipahami secara awam oleh golongan yang terlibat konflik: masih digunakan untuk kepentingan setiap pihak. Keadaan seperti ini tak menguntungkan bagi terlaksananya rekonsiliasi.

Apabila rekonsiliasi tidak mampu kita laksanakan, hal itu hanya akan mencoreng citra bangsa Indonesia yang bukan saja tidak punya keberanian untuk berdamai dengan masa lalunya, melainkan juga menunjukkan tingkat keadaban bangsa yang rendah. Hanya dengan melakukan rekonsiliasi nasional yang berawal dari introspeksi pihak-pihak terkait, melalui kejujuran untuk melihat kesalahan yang dilakukan oleh golongan sendiri, kita bisa melihat derajat dan martabat keadaban bangsa untuk sama dengan bangsa-bangsa lain yang telah berusaha menutup masa lalunya, seperti Jerman, Afrika Selatan, Kamboja, dan Timor Leste.

Tragedi 1965 merupakan sebuah model yang dapat dijadikan ujian bagi masyarakat Indonesia apakah kita mampu melaksanakan rekonsiliasi nasional guna memulihkan martabat bangsa agar sejajar dengan martabat dan peradaban bangsa-bangsa lain di dunia. Perlu kejernihan hati, kebesaran jiwa, dan keberanian untuk melakukan itu.

Modalitas Pendidikan Nilai

Modalitas Pendidikan Nilai

Haryatmoko ;   Mengajar di Universitas Sanata Dharma dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
                                                     KOMPAS, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pendidikan nilai bukan hanya masalah tahu tentang ”apa yang baik”. Orang mengira ”mengetahui” seakanakan sama dengan ”sudah melakukan”. Padahal, masih ada jarak antara ”tahu” dan ”tindakan”. Arah pendidikan nilai seharusnya fokus pada modalitas, yaitu bagaimana menjembatani agar nilai-nilai menjadi tindakan nyata.

Nilai dianggap sesuatu yang berharga bagi suatu kelompok masyarakat yang berupa standar perilaku atau dasar moral untuk mengarahkan dan evaluasi tindakan (Kolthoff, 2007: 39). Nilai-nilai membentuk orang berkarakter: komitmen, jujur, kompeten, terbuka, jiwa pelayanan, belarasa, dan pengorbanan. Pendidikan nilai tidak lepas dari pembentukan habitus, yaitu melalui pelatihan, pembiasaan, pengalaman, dan perjumpaan.

Perubahan habitus hanya mungkin bila mampu mengurai simpul-simpulnya: menghadapi peserta didik yang mencontek, ubah sistem menjadi ujian lisan; menghadapi ketidakadilan/diskriminasi, buat prosedur yang sifatnya mengawasi.

Perubahan harus didukung fasilitas, contoh supaya orang mau antre, saat giliran tiba wajib menunjukkan nomor urut; supaya orang tumbuh rasa memiliki, sistem kepemilikan diubah. Jadi, perubahan sikap/perilaku sulit terjadi kalau hanya mengandalkan nasihat, khotbah, atau ajaran. Perhatian utama pendidikan nilai fokus pada menyediakan modalitas yang menjembatani norma moral dan tindakan faktual.

Pembentukan karakter

Karakter pertama-tama dibentuk bukan dari ”tahu”, melainkan dari tiga prinsip ini: pertama, oleh apa yang kita lakukan, bukan oleh apa yang kita katakan atau ketahui; kedua, setiap pilihan/keputusan bertindak mengarahkan akan menjadi orang semacam apa diri kita; ketiga, karakter lahir dari keberanian bertindak tepat meski menyadari penuh risiko.

Tiga prinsip ini sebetulnya adalah saran untuk mengusahakan internalisasi nilai: kalau mau efektif harus terlibat dalam kegiatan. Keterlibatan membawa pengalaman, perjumpaan, dan pembiasaan melalui live-in atau pelayanan masyarakat.

Dengan prioritas ”melakukan” atau ”bertindak”, nilai-nilai yang dipraktikkan atau bentuk moral yang dibatinkan bisa lebih efektif mengatur perilaku sehari-hari untuk membentuk etos. Etos menandai karakter seseorang atau kelompok masyarakat. Karakter mewujud dalam sifat kepribadian yang memengaruhi kemampuan bertindak/bersikap sejalan dengan tanggung jawab moral.

Ada lima pilar pendidikan karakter (bdk Berkowitz, 2002: 83) yang memengaruhi pembentukan atau perubahan habitus. Pembahasan kelima pilar di bawah ini memperhitungkan simpul-simpul habitus atau modalitas perubahan.

Pertama, pendidikan etika. Tujuannya melengkapi peserta didik dengan pengetahuan, kemampuan mempertanyakan dan menalar agar mengembangkan sistem nilai dan bertanggung jawab atas keputusannya. Kematangan penalaran moral perlu dilatih melalui diskusi pemecahan kasus-kasus dilema moral dan manajemen nilai. Dalam diskusi ada penajaman konsep, pengayaan kategori dan pembiasaan menerima beragam pemikiran.

Perkembangan kesadaran moral tumbuh bukan hanya melalui informasi/pengetahuan, melainkan dengan pengalaman dan perjumpaan: melibatkan aktivitas live-in di keluarga miskin, di keluarga berbeda agama, atau tinggal di pesantren bagi non-Muslim. Ketika membahas masalah jender, siswa diminta mengunjungi penjara perempuan, korban pelecehan, wawancara korban KDRT.

Kedua, penjabaran karakter dalam proses belajar-mengajar dengan memberdayakan peran para pemangku kepentingan (pendidik, orangtua, yayasan, pejabat) melalui kesaksian hidup pribadi dan praktik kelembagaan dalam menghayati core values, kode etik dan aturan sekolah.

Menurut Bourdieu, penyampaian nilai-nilai paling efektif justru secara tersirat, yaitu melalui teladan dan suasana kondusif. Maka, perlu memperhatikan bagaimana peserta didik diperlakukan terutama oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan langsung dengan peserta didik. Apakah peserta didik merasa diperlakukan secara baik, dihormati, bukan diabaikan atau merasa di-bully? Cara pendidik atau para pemangku bertanggung jawab memperlakukan orang lain juga memengaruhi sikap peserta didik. Maka, peserta didik perlu dibantu mengalami bahwa sekolah adalah tempat untuk mengembangkan diri, bukan sebaliknya, dianggap meracuni atau menghambat secara psikologis.

Untuk menciptakan suasana kondusif, kompetensi pedagogis pendidik berperan mendorong untuk belajar dua hal (R Fisher, 2005: 510). Pertama, mengeksplorasi masalah-masalah keprihatinan pribadi seperti cinta, persahabatan, konflik, dan fairness; masalah hubungan diri-sosial seperti identitas, mendorong perilaku adil, menerima perbedaan; kedua, mengembangkan gagasan sendiri, mengeksplorasi dan menantang gagasan pihak lain, bisa jelas dan runtut dalam berpikir serta membuat pertimbangan dengan penalaran jernih. Dengan demikian, di sekolah, peserta didik bisa tenang berpikir dan meningkatkan kesadaran moral. Model pendidikan ini membantu peserta didik lebih terbuka dan terampil dalam komunikasi sehingga mampu menghindari tindak kekerasan.

Ketiga, sekolah merumuskan karakter yang diharapkan melalui perwakilan semua pemangku tanggung jawab. Sekolah bisa menuntut peserta didik mencapai karakter khas, misalnya tajam dalam kompetensi (competence), suara hati yang jernih (conscience), dan hasrat belarasa (compassion).

Penguasaan pengetahuan

Kompetensi menuntut penguasaan pengetahuan. Ini mungkin bila tumbuh minat membaca dan kemampuan mengerti apa yang dibaca yang kelihatan dari keterampilan mengungkapkan diri secara lisan dan tertulis. Keterampilan ini membantu mengemukakan gagasan secara teratur dan logis sehingga tumbuh rasa percaya diri untuk belajar secara sistematis apa yang dilakukan. Lalu mulai terbiasa membuat studi terbatas untuk membentuk pendapat sendiri.

Suara hati tumbuh dengan mengembangkan nalar moral: kemampuan untuk menalar hal yang baik/jahat, benar/salah sehingga memungkinkan mengambil keputusan melalui penilaian moral yang matang. Suara hati mendorong hasrat belarasa.

Hasrat belarasa membuka kepedulian untuk bisa mengenali dan menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, lalu berusaha menghasilkan jawaban-jawaban. Dengan demikian, pendidikan tidak mengakibatkan peserta didik terasing dari cara hidup orang-orang di lingkungannya yang berpendapatan lebih rendah.

Beberapa tuntutan di atas bisa dipenuhi bila kurikulum didesain untuk menjawab kebutuhan itu dan sekolah membuka kesempatan peserta didik untuk terlibat kerja relawan. Banyaknya jam kerja relawan menjadi poin untuk diterima di jenjang pendidikan lebih tinggi. Ada beragam bentuk kerja relawan: kerja untuk kepentingan umum (bangunan publik, taman publik, lapangan, hutan); demi penerimaan pluralitas (aktivitas lintas agama, rumah ibadat, membantu kegiatan agama lain); dan kepedulian kepada yang lemah, seperti orang miskin, lansia, atau korban bencana alam. Dengan terlibat, jiwa pelayanan akan tumbuh.

Kepedulian sosial itu bisa berubah menjadi tanggung jawab politik. Caranya, peserta didik dilibatkan secara aktif dalam membuat program Kartu Pelaporan Warganegara (KPW) sebagai alat umpan balik terhadap pejabat publik (Sampford, 2006: 235).

KPW berisi laporan tentang akses ke pelayanan publik, kualitasnya, masalah yang dihadapi konsumen, responsif/tidaknya pelayan publik. Dari KPW akan tersingkap standar kualitas pelayanan publik, biaya yang harus dibayar, termasuk ongkos yang disembunyikan seperti suap. Model pendidikan nilai seperti ini membuat peserta didik peduli kebutuhan sesama dan menjadi warganegara kompeten.

Keempat, pewujudan karakter melalui keterampilan bidang khusus (seni, olahraga, organisasi) melalui partisipasi kegiatan di luar sekolah. Model pendidikan melalui kegiatan nyata ini adalah proses internalisasi nilai-nilai secara intensif yang sekaligus menjadi forum perjumpaan dengan yang berbeda agama atau etnis. Dari proses pelaksanaan kegiatan terungkap kedisiplinan, ketekunan, komitmen, kejujuran.

Kelima, analogi permainan melalui pendidikan sastra. Sastra membuka kemungkinan peserta didik untuk berubah yang tidak dimungkinkan oleh visi yang melulu moral. Sastra mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas karena peserta didik dibebaskan dari ketakutan akan norma sosial dan sanksi sosial.

Dalam kebebasan, nampak fenomena dasariah, proses lahirnya kreativitas: pertama-tama dalam imajinasi terbentuk ”ada baru” dan bukan dalam kehendak. Imajinasi mendahului kehendak. Dalam sastra, ada paradigma kehidupan yang memungkinkan mengasah budaya dialog. Sastra dengan paradigmanya memberi kearifan untuk memahami realitas dan membangun kehalusan budi karena sastra tak menggurui, tapi menawarkan norma dan model kehidupan. Melalui kisah, pembaca bisa menyimpulkan.

Kisah mendorong untuk bertindak karena dengan meniru suatu model dibangun jembatan antara pikiran dan praksis. Proses pertemuan antara dunia yang disarankan teks dan dunia konkret pembaca memungkinkan transformasi diri, yaitu ketika teks mengubah pembaca sehingga bisa memahami diri secara lebih baik. Sastra merupakan cermin atau kendaraan wawasan, visi dan kedalaman perenungan.

Ancaman Perang Asap di Lingkungan ASEAN

Ancaman Perang Asap di Lingkungan ASEAN

Rene L Pattiradjawane ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 30 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pernyataan mantan Menlu Singapura Kasiviswanathan Shanmugam (Menlu yang baru adalah Vivian Balakrishnan) pekan lalu di Facebook tentang kabut asap di negaranya akibat pembalakan hutan di kawasan Sumatera yang dampaknya mencapai Singapura menjadi menarik dalam perkembangan hubungan antarnegara ASEAN.

Kita melihat dimulainya diplomasi sosial media sebagai bentuk kekecewaan atas terjadinya kabut asap berkepanjangan selama satu bulan terakhir di Singapura. Atau, bisa jadi karena Shanmugam tahu tidak akan mengurus masalah luar negeri lagi, ia geram tentang asap yang menyelimuti negaranya.

Dalam lingkup lebih luas, kita merasakan adanya kebuntuan dalam mendiskusikan kabut asap yang melintas setidaknya ketiga negara ASEAN, Singapura, Malaysia, dan sebagian Thailand. Persoalan kabut asap selain menyengsarakan ketiga negara ASEAN juga menyengsarakan penduduk di kawasan Sumatera dan Kalimantan yang menjadi sumber asap akibat pembalakan semena-mena dan selalu berulang setiap tahun.

Celakanya, generasi pemimpin Indonesia sekarang tidak memiliki kemampuan mengantisipasi, apalagi menyelesaikan inti persoalan asap tahunan ini. Kita mencatat tiga persoalan, pertama, kepentingan komersial terlalu dominan yang seenaknya melindas kekhawatiran banyak negara atas keamanan lingkungan hidup, khususnya terkait emisi karbon.

Kedua, birokrasi Indonesia tidak peduli dengan pengurangan emisi gas karbon karena perilaku pemerintahnya yang lemah dan tidak memiliki kesadaran lingkungan yang tinggi serta dibumbui dengan masalah korupsi yang korosif. Dan, ketiga, otonomi daerah-daerah Indonesia menjadi terlalu kuat sehingga keputusan terkait pembalakan hutan ataupun kesadaran lingkungan terletak pada para gubernur ataupun bupati.

Celakanya menjadi bertambah ketika komentar pejabat seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Kepala Staf Presiden Teten Masduki berbicara seolah-olah Indonesia adalah Sinterklas memberikan kenikmatan oksigen ke negara tetangga di luar musim kabut asap yang terjadi 1-2 bulan setiap tahunnya.

Apakah mereka lupa atau tidak tahu, Indonesia tahun 2014 meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Perjanjian ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas). Perjanjian ini memberikan pemanfaatan sumber daya di negara ASEAN dan di luar negara ASEAN untuk mengatasi persoalan yang sudah puluhan tahun tersebut. Melalui ratifikasi ini, sebenarnya Indonesia bisa memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan ikut aktif mengarahkan keputusan ASEAN mengendalikan kebakaran lahan atau hutan.

Ada dua faktor lain yang menyebabkan persoalan kabut asap ini. Pertama, Presiden Joko Widodo sejak awal memerintah sudah menunjukkan ketidakpahamannya tentang ASEAN dan tidak berminat menjadikan persoalan regionalisme sebagai mandala perspektif kebijakan luar negerinya.

Ini yang menjelaskan mengapa Presiden Jokowi menunjuk Wapres-nya menghadiri Sidang Umum PBB atau acara internasional penting lainnya. Ditambah kurangnya pemahaman tentang regionalisme dan multilateralisme di kalangan para menteri sekarang ini, beberapa tampuk pimpinan di Indonesia tidak memiliki pengetahuan dan memberikan masukan yang tidak tepat dalam menyelesaikan persoalan kabut asap ini.

Kedua, sejak tahun 2004, Indonesia tidak mampu menghasilkan kebijakan konkret memperjuangkan diplomasi emisi karbon sesuai Protokol Kyoto. Indonesia sampai sekarang tidak pernah berhasil melaksanakan dehutanisasi dan degradasi hutan mengurangi jumlah emisi karbon.

Dalam Masyarakat ASEAN 2015 yang pengejawantahannya mulai Januari 2016, kesepakatan program PBB melalui program REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation), jumlah emisi karbon diperhitungkan dalam volume total perdagangan bebas Indonesia. Indonesia harus bersikap terbuka terhadap persoalan ini karena perhitungan perdagangan karbon mengurangi emisi polusi lingkungan hidup selalu melekat pada masalah regionalisme dan multilateralisme.

”Perang asap” di lingkungan ASEAN, yang menjadi cemooh banyak pihak, harus segera dicermati para pejabat di segala lini pemerintahan Presiden Jokowi. Selain persoalan pembalakan masif berbagai hutan di Indonesia oleh para konglomerat, persoalan serius lain adalah pengentasan kemiskinan berkepanjangan di berbagai sumber kebakaran hutan yang selalu terlupakan oleh siapa pun yang berkuasa.

Bantahan Argumentasi Pendukung PKI

Bantahan Argumentasi Pendukung PKI

Kivlan Zen ;  Ketua Bidang Khusus Gerakan Bela Negara
                                                  REPUBLIKA, 23 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Gerakan G30S/PKI adalah masalah internal TNI AD dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak terlibat, maka anggota PKI harus direhabilitasi. Oleh karena itu, PKI harus dihidupkan kembali dengan mencabut Tap MPRS No 25/1996 tentang Pelarangan Partai Komuis dan Underbow-nya serta Paham Komunis, Leninis, Marxis, dan Maois di Indonesia. Selanjutnya, harus terlaksana pencabutan UU No 27/1999 tentang Larangan Paham Komunis, Leninis, Marxis, dan Maois kecuali untuk pelajaran di lembaga pendidikan tertentu.

Demikian rencana jangka pendek Partai Komunis Gaya Baru yang telah disahkan pengurus barunya pada Kongres X PKI tahun 2010 di Grabag, Magelang, Jawa Tengah, yang dipimpin Ketua Umum Wahyu Setiaji dan Sekjen Teguh Karyadi, dengan AD/ART serta Pokok-Pokok Program Umum Rakyat Indonesia.

Memang, ada upaya dari pendukung PKI melalui media publik, baik cetak, radio, TV, maupun media sosial menyatakan bahwa PKI tidak bersalah atas G30S dan Dewan Revolusi. Korban konflik horizontal tahun 1965/1966/1967 dan 1970, terutama anggota PKI dan underbow-nya disebut bahwa dilakukan oleh aparat keamanan, dalam hal ini TNI AD dengan dukungan ormas Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah.

Sedangkan, korban dari kalangan NU, khususnya di daerah Banyuwangi dan Blitar, tidak disebutkan PKI sebagai keganasannya, termasuk pembunuhan Brigjen Katamso, komandan Korem Yogyakarta, dan Kolonel Sugiono, kasrem Yogyakarta pada 2 Oktober 1965.

Mereka juga mendesak Pemerintah RI untuk meminta maaf, merehabilitasi, dan memberi ganti rugi moral dan materiil atas penderitaan dan kerugian para anggota PKI, keluarga, dan simpatisannya beserta underbow selama kurun 1965/1966/1967 dan 1970 dengan mendompleng ganti rugi bersama korban peristiwa Trisakti Mei 1998, Semanggi I dan II, petrus, Talangsari, dan Wasior.

Pemerintah RI di bawah Jokowi-JK bermaksud menyelesaikan peristiwa itu dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Jilid 2. Karena UU KKR 1 telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006, kalau sama konsep UU KKR 2 itu, tidak mungkin disahkan DPR. Karenanya, Jokowi akan membuat KKR 2 melalui pepres dan keppres yang tak memerlukan persetujuan DPR.

Jika pepres dan keppres yang akan terbit bisa terwujud setelah pidato Jokowi pada 15 Agustus 2015 di depan DPR, personel KKR akan diisi pendukung eks PKI dan harus selesai dalam satu tahun tanpa ketelitian. Masalah petrus, Talangsari, Trisakti, Semanggi I dan II, dan Wasior hanya sebagai pelengkap agar cepat diselesaikan dalam satu tahun dengan harapan masalah G30S dan korban PKI bersama pendukungnya cepat diselesaikan tanpa memperhatikan korban keganasan PKI di Banyuwangi, Blitar, dan Danrem/Kasrem Yogyakarta.

Masalah lain seperti korban Tanjung Priok, Pam Swakarsa 1998, RMS, PRRI/Permesta, DI/TII, Pemberontakan Madiun 1948, korban aksi PKI terhadap lawannya pada 1965/1966 tidak akan diperhatikan. Hal ini berarti pengabaian terhadap kebenaran dan keadilan.

Akibat KKR Jilid 2, khususnya permintaan maaf dari Pemerintah RI, rehabilitasi, dan kompensasi terhadap eks PKI dan pengikutnya, pertama, eks PKI dan pengikutnya merasa tidak bersalah. Kedua, tuntutan agar PKI direhabiltasi dan dihidupkan kembali. Ketiga, Tap MPRS No 25/1966 agar dicabut dan UU No 27/1999 dibatalkan oleh MK.

Keempat, tidak memerlukan pembatalan Tap MPRS No 25/1966 dan UU No 27/1999 itu, para pendukung PKI akan langsung mendirikan dan memproklamasikan PKI Gaya Baru yang langsung akan disahkan Menkumham. Hal ini karena Menkumham yang sekarang suka tidak memperhatikan kebenaran substantif.

Kelima, pengikut PKI akan melakukan aksi balas dendam sesuai sikap dan sifat PKI sejak 1926, 1948, 1965 yang juga disebutkan dalam AD/ART PKI Gaya Baru hasil Kongres X PKI medio Agustus 2010 di Grabag dan instruksi tetap Ketua CC PKI pada 10 November 1965. Keenam, terjadi kekacauan sosial dan konflik horizontal, suasana akan kembali seperti 1948 dan 1965 yang penuh agitasi dan propaganda serta teror sosial politik oleh PKI Gaya Baru serta banjir darah.

Di sisi lain, badan-badan pendukung eks PKI di dalam negeri akan mendesak dan mendorong pemerintahan Jokowi segera mewujudkan KKR 2 dan bekerja sama dengan Human Rights di Jenewa dan ICC Den Haag. Keduanya akan mendorong Pemerintah RI segera menyelesaikan masalah HAM.

Pencegahan

Karena masalah utama KKR adalah penyelesaian pelanggaran HAM, khususnya tentang G30S/PKI, perlu dipatahkan argumentasi bahwa PKI tidak terlibat kasus itu. PKI menyatakan G30S/PKI adalah urusan internal TNI AD. Karena itu, perlu dilakukan upaya berikut.

Pertama, G30S/PKI dan Dewan Revolusi dapat dibuktikan bukan merupakan urusan internal TNI AD yang mengakibatkan terbunuhnya enam perwira tinggi dan satu perwira pertama TNI AD dan dua pamen korem Yogyakarta. Bukan gerakan internal TNI AD terbukti dalam dekrit Letkol Untung No 1 Tanggal 1 Oktober 1965 tentang Pembentukan Dewan Revolusi (Buku G30S, Victor McVeigh). Yakni, gerakan ini dibantuk pasukan bersenjata di luar TNI AD; Letkol Untung adalah Komandan Batalyon Cakra Birawa pengawal presiden yang terdiri dari empat angkatan, bukan satuan TNI AD saja.

Berikutnya, susunan Dewan Revolusi terdiri dari empat angkatan, termasuk sipil di dalamnya; personel yang menangkap dan membunuh para Pahlawan Revolusi bukan hanya personel TNI AD, tapi ada juga dari TNI AU dan Sukwan Dwikora; dukungan TNI AU kepada Dewan Revolusi (perintah harian Panglima AU No 445 tanggal 1 Oktober 1965) dan surat Brigjen Suparjo kepada Omar Dani.

Kedua, Dewan Revolusi adalah kudeta yang didalangi PKI (Victor McVeigh). Buktinya, tidak mencantumkan nama Presiden Sukarno; susunannya sampai ke daerah; senjata dipasok Letkol Heru (AU), kabinet didemisioner dan akan diganti kabinet baru.

Ketiga, bahwa pimpinan PKI terlibat. Buktinya, Polit Biro PKI membentuk Biro Khusus dipimpin Sam Kamaruzaman, Pono, dan Bono untuk membina personel ABRI, khususnya TNI AD sebagai otak G30S/PKI; pernyataan Bung Karno pada 1965/1966 bahwa G30S/PKI akibat keblingernya pimpinan PKI; pernyataan Ribka Tjiptaning anak tapol PKI (buku Menyusuri Jalan Perubahan halaman 153-155).

Keempat, partai komunis adalah partai yang terlibat G30S/PKI. Sebagai bukti, pembentukan Biro Khusus langsung di bawah ketua umum PKI DN Aidit, otokritik Brigjen Suparjo (Dokumen No 17 halaman 352 buku Victor McVeigh) tentang kenapa PKI gagal kudeta; instruksi no 1-8 CC PKI tanggal 28 September 1965 (buku Victor McVeigh halaman 346) menyebutkan, untuk menyimpan senjata dan bangkit kembali jika keadaan memungkinkan.

Selanjutnya, pernyataan Brigjen Sugandi tentang perkataan Aidit bahwa akan terjadi G30S (buku victor McVeigh halaman 368); surat Aidit kepada Presiden Sukarno pada 6 Oktober 1965 (buku Victor McVeigh halaman 343), yakni 1) Aidit diberi tahu bahwa pada 30 September 1965 malam G30S/PKI akan dijalankan dan pada 1 Oktober 1965 Aidit mendapat laporan kembali bahwa G30S/PKI berhasil dijalankan. 2) Dalam surat Aidit kepada BUng Karno bahwa ia tidak mengetahui G30S/PKI, tetapi isi surat itu juga mendapat laporan G30S/PKI akan dijalankan pada 30 September 1965, dan pada 1 Oktober ia mendapat laporan bahwa G30S/PKI telah dilaksanakan.

Mengapa bisa terjadi pertentangan antara laporan kepada Bung Karno dengan kenyataan sebenarnya? Dengan demikian, nyatalah kebenaran pimpinan PKI dan partai terlibat dalam G30S/PKI.

Lainnya, pembunuhan terhadap 60 anggota Banser di Banyuwangi tanggal 1 Oktober 1965 dan lawan-lawan PKI di Blitar dan Kediri dari ormas NU. Dua anggota Muhammadiyah di Kediri, 35 orang di Solo tanggal 22 Oktober 1965, dan daeran lain yang belum didata.

Perlawanan massa PKI terhadap operasi RPKAD tanggal 11 Oktober 1965 di Solo yang dipimpin oleh CDB PKI Jawa Tengah. Pelaksanaan Tri Panji Perjuangan agar PKI tetap eksis dipimpin Sudisman, yakni dengan pembangunan kembali partai, perjuangan bersenjata, dan menggalang buruh tani borjuis kecil dan borjuis nasional.

Adapun pemberontakan Blitar Selatan 1965-1968 dipimpin oleh Ruslan Wijayasastra sebagai ketua Polit Biro yang baru. Juga, pemberontakan bersenjata di Merapi Merbabu Complex 1967-1968 dipimpin oleh Pono.

Saran tindakan

Dengan telah dijelaskan argumen pendukung PKI yang menyatakan G30S/PKI pada 30 September 1965 adalah gerakan yang dilakukan internal TNI AD adalah tidak benar. Maka, untuk mencegah Dewan Jenderal melakuan kudeta terhadap Presiden Sukarno, kemudian dilakukan dengan cara penangkapan dan pembunuhan para jenderal dan pama. Hal ini adalah alibi pengalihan tanggung jawab dari PKI dan tokohnya.

Dengan demikian, jelas bahwa pimpinan partai politik PKI terlibat dan sebagai otak dari G30S/PKI. Gerakan ini bukan merupakan urusan internal TNI AD.

Upaya PKI merebut kekuasan dari Presiden Sukarno bisa dilihat berdasarkan tulisan atau pengakuan kalangan komunis sendiri dan penulis atau peneliti asing, seperti Victor McVeigh atau sedikit dari buku putih yang dikeluarkan Setneg RI tahun 1994.

Kalau PKI dan tokoh-tokohnya nyata terlibat dalam G30S/PKI, kemudian dengan KKR Jilid 2 mereka akan direhabilitasi dan mendapat kompensasi serta permintaan maaf dari negara, negara telah takluk kepada pemberontak dan menyatakan yang benar menjadi salah serta yang salah menjadi benar. Apakah ini patut dilakukan oleh pemerintahan RI yang sekarang dipimpin Jokowi-JK?

Hal lain bisa dilakukan adalah pengampunan kepada pelaku G30S/PKI oleh negara, seperti amnesti yang dilakukan oleh Presiden Sukarno kepada tokoh PRRI/Permesta, tetapi Partai Masyumi dan PSI tetap dibubarkan, bukan pemerintah meminta maaf kepada PKI dan tokoh-tokohnya atau PKI dihidupkan kembali.

Untuk mengatasi hal tersebut, rencana KKR Jilid 2 harus dilawan dan tidak boleh terwujud. Kecuali rekonsiliasi secara alamiah, yaitu membolehkan eks PKI bukan golongan A dan B, tetapi golongan C dan simpatisannya untuk ikut berperan dalam kehidupan publik, baik swasta maupun pemerintahan (birokrasi RI).

Saran lainnya adalah tidak mencabut Tap MPRS No 25/1966 dan UU No 27/1999 agar tidak terjadi lagi konflik horizontal dan kekacauan sosial politik maupun ekonomi. Untuk kasus lain, seperti peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Trisaksi, Semanggi I dan II, Petrus dan Wasior dapat dilanjutkan peran KKR Jilid 2.