Stok Beras Bulog dan El Nino
M Husein Sawit ; Senior Advisor Perum Bulog 2003-2010;
Tim Ahli Kepala Bulog 1996-2002
|
KOMPAS,
16 September 2015
Pada Juni lalu,
pemerintah mengangkat Direktur Utama dan Direktur Pengadaan Bulog yang baru, dengan
harapan terwujudnya pengadaan beras 4 juta ton. Targetnya tinggi dengan
”asumsi kuat” keberhasilan peningkatan produksi beras.
Pertumbuhan produksi
padi (ARAM I) pada tahun 2015 mencapai 6,65 persen atau tertinggi kedua dalam
20 tahun terakhir. Namun, risiko pertumbuhan produksi padi tetap tinggi
karena ancaman El Nino hingga akhir tahun akan berdampak tidak saja pada
produksi padi pada musim gadu tahun ini, tetapi juga produksi musim panen
raya tahun depan.
Pemerintah sekarang
menginginkan peran Bulog ”serba besar”: stok awal harus tinggi, pengadaan
gabah/beras harus besar tanpa impor, harus mampu bersaing dengan pedagang
swasta, pengadaan gabah harus dominan dan langsung dari petani, kualitas
pelayanan publik juga harus prima dengan beras berkualitas.
Pada minggu ketiga
Agustus ini, Bulog baru mampu memperoleh pengadaan beras/gabah 1,78 juta ton
setara beras, komersial hanya 233.000 ton. Kalau Bulog tetap mempertahankan
kualitas gabah/beras standar harga pembelian pemerintah (HPP) dan tidak ada ”paksaan”
terhadap petani/penggilingan padi dengan mengerahkan TNI/Polri (Kompas,
27/8), hampir tidak mungkin Bulog mampu menambah pengadaan beras PSO (public service obligation) lebih dari
300.000 ton hingga akhir tahun ini.
Harga gabah/beras di
pasar telah jauh di atas HPP, cenderung naik dengan laju yang lebih cepat
dalam periode puncak paceklik November-Januari.
Kuatkah
Bulog/pemerintah untuk mengelola instabilitas harga beras? Stok beras Bulog
kurang, hanya 1,5 juta ton dengan ketahanan stok enam bulan mendatang. Kalau
tambahan pengadaan tercapai 300.000 ton, stok akhir tahun menjadi sekitar
800.000 ton (padahal seharusnya minimal 1,5 juta ton), atau terendah dalam 10
tahun terakhir.
Pada saat sekarang,
posisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) negatif, telah menguras stok
operasional Bulog. Kalaupun pemerintah segera memperkuat volume CBP, posisi
stok akhir tidak berubah, hanya memindahkan stok operasional Bulog ke CBP,
tanpa perubahan volume dan kualitas beras CBP.
Intervensi Bulog
Awalnya, Bulog
dibangun sebagai lembaga parastatal untuk mengoreksi kegagalan pasar (market failure), terutama pada musim
panen raya. Dalam posisi petani yang jumlahnya banyak, daya tawar lemah.
Petani cenderung segera menjual gabah hasil panen raya dengan berbagai alasan:
membiayai tanaman berikutnya, bayar utang, dan biaya sekolah anak.
Di pihak lain, posisi
pembeli gabah yaitu penggilingan padi (PP) ”relatif kuat”. Bulog berperan
mengoreksi keadaan itu. Bulog membeli gabah/beras melalui Koperasi Unit Desa,
bukan langsung dari individu petani. Koperasi dibangun untuk tujuan
pemerataan dan menggerakkan ekonomi pedesaan.
Apabila pasar gabah
telah berfungsi normal, harga gabah/beras telah terangkat di atas HPP, maka
selesailah tugas Bulog. Bulog tidak dirancang untuk bersaing dengan
PP/pedagang swasta dalam merebut gabah/beras di pasar. Kalau itu
dilakukanBulog sebagai perusahaan besar dan pada musim panen gadu yang
umumnya pasar gabah telah normal, harga gabah/beras pasti naik dengan laju
yang lebih cepat. Maka, kegagalan pasar berpindah ke kegagalan pemerintah (government failure).
Kekeliruan respons pemerintah
Bulog kembali berperan
mengoreksi pasar konsumen, khususnya pada musim puncak paceklik
(November-Januari) melalui instrumen operasi pasar.Kalau Bulog menguasai
jumlah CBP yang cukup dengan beras berkualitas, pasti pelaku usaha enggan
berspekulasi. Hal itulah yangbelum ditata pemerintah.
Pemerintah
meyakini,instabilitas harga beras sebagai ulah para spekulan. Pada saat yang
sama, presiden mendeklarasikan ”tanpa impor” beras, membuang sebuah instrumen
penting pengendali harga.
Oleh pelaku pasar, hal
tersebut dijadikannya sebagai peluang mencari tambahan keuntungan karena
ekspektasi kenaikan harga tinggi pada bulan-bulan mendatang melebihi cost of holding stock termasuk risiko
lain seperti pendistribusian stok, ”mengamankannya” apabila diperiksa aparat
hukum.Pada saat yang sama, mereka paham tentang situasi produksi, kekuatan
stok beras Bulog/pemerintah rendah.
Oleh karena itu,
masalah jangka pendek ini perlu diatasi segera oleh pemerintah. Pertama,
sebelum ada perubahan kebijakan beras, pemerintah jangan ”memaksa” Bulog
melakukan pengadaan besar atau menaikkan HPP pada musim gadu, seperti pernah
dilakukan pemerintah pada puncak paceklik akhir 2006 atau awal 2007, diulangi
pada periode April-Oktober 2011 tidak berpengaruh signifikan pada jumlah
pengadaan.
Menaikkan HPP atau
pengadaan di luar jumlah yang wajar pada musim gadu,atau menargetkan
pengadaan beras 1,4 juta ton dalam sebulan mendatang (Kompas, 27/8) akan
membuat eskalasi kenaikan harga lebih tinggi, memunculkan destabilisasi harga
beras.Opsi pengerahan TNI/Polri untuk pengadaan beras perlu ditinjau ulang
baik buruknya.
Kedua, segera putuskan
plan B, buka pengadaan beras luar negeri untuk memperkuat jumlah dan kualitas
stok Bulog dan CBP sehingga ”lebih ampuh” dalam meredam spekulasi harga.
Instrumen ini paling ditakuti oleh para spekulan. Mereka hanya takut rugi.
Ketiga, intensifkan
program aksi untuk menyelamatkan tanaman padi gadu ini dan program adaptasi
untuk musim tanam mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar