Jumat, 18 September 2015

KPI dan Pengawasan Isi Siaran

KPI dan Pengawasan Isi Siaran

Redi Panuju  ;  Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo Surabaya; Koordinator Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur
                                                     KOMPAS, 17 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika resmi membuka rapat pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia di Istana Negara (2/9), Presiden Joko Widodo menyatakan agar ”regulator” di bidang penyiaran radio dan televisi fokus pada pengawasan isi siaran.

Dengan demikian, semakin jelas sikap pemerintah atau keinginan pemerintahan Jokowi terhadap konstruksi sistem penyiaran Indonesia ke depan.

Ada dua kemungkinan dari pernyataan di atas. Pertama, Presiden ingin agar KPI fokus pada tugasnya sehingga lebih jelas manfaatnya bagi masyarakat. Kedua, ini merupakan bagian dari skenario besar pemerintah untuk mereduksi peran lembaga-lembaga ad hoc yang dibentuk berdasarkan semangat reformasi.

Kita semua maklum, pada waktu itu ada arus besar pentingnya mewadahi peran masyarakat sipil dalam penyelenggaraan urusan publik yang sebelumnya dimonopoli negara.

Pelemahan sipil

Ide bahwa partisipasi masyarakat sipil dalam penyelenggaraan negara awalnya ditujukan untuk mencegah kembalinya otoritarianisme dalam pemerintahan. Melalui partisipasi langsung diharapkan akan ada kontrol terhadap penggunaan kekuasaan sehingga kekuasaan selalu berjalan pada rel yang benar (on the track). Wakil rakyat di DPR yang menganut pemahaman ini memperoleh kemenangan dalam menyusun undang-undang, yang berwujud dengan lahirnya lembaga-lembaga ad hoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak, Komisi Informasi, Komisi Kepolisian, dan Komisi Persaingan Usaha.

Sayang, akhir-akhir ini banyak wacana yang menegasikan lembaga-lembaga tersebut, mulai dari wacana menghamburkan uang negara, tidak efektif, tumpang tindih dengan lembaga lain, hingga yang lainnya. Bahkan, di DPR yang dulu melahirkannya, justru terus muncul suara untuk untuk melemahkan lembaga ad hoc.

Kadang upaya pelemahan menggunakan argumentasi logis meski tidak masuk akal. Misalnya, ada seorang politikus yang menyatakan, jika di negeri ini sudah tidak ada lagi korupsi, tidak dibutuhkan lagi KPK.

Masalahnya tidak mungkin korupsi hilang, yang ada adalah dapat ditekan ke angka minimal. Lord Acton menyatakan, sepanjang ada kekuasaan pasti akan ada kecenderungan korupsi. Sepanjang ada setan (sifat kejahatan) pada diri manusia, tidak mungkin manusia bisa menjadi malaikat. Tidak penting berdebat soal ini, yang lebih penting adalah ada atau tidak ada korupsi, KPK merupakan manifestasi demokrasi dalam wujud berbagi peran dan saling mengontrol.

Sama juga dalam kasus penyiaran, jangan-jangan akan muncul pernyataan ”bila program siaran semua televisi sudah tidak melanggar aturan”, tidak dibutuhkan lagi Komisi Penyiaran. Pertanyaannya, apakah jika sudah total menyiarkan hal-hal yang suci, televisi akan ditonton pemirsa?

Tahun 1994 saya pernah ke Brunei. Isi televisi lokal hanya mengaji dan pengajian. Ternyata masyarakat lebih suka menonton siaran televisi Indonesia dengan parabola. Lagi pula, sepanjang media televisi menjadi industri media, mana mungkin televisi steril dari hal-hal buruk karena ini merupakan ekses dari setiap industrialisasi.

Argumentasi ini juga tidak terlalu penting, yang lebih penting lagi adalah bagaimana berbagi kekuasaan/kewenangan sebagai wujud demokratisasi penyiaran agar ada kekuatan yang berjuang melindungi kepentingan publik.

Arahan Presiden agar KPI hanya fokus pada pengawasan isi siaran adalah bagian dari skenario mereduksi peran lembaga ini. Sebab, peran KPI dalam Undang-Undang Penyiaran (UU No 32/2002) tidak hanya mengawasi isi siaran, tetapi juga turut serta dalam menata infrastruktur penyiaran, menjamin diversity of content dan diversity of ownership, serta menjamin iklim usaha yang sehat dalam industri penyiaran.

Mengapa peran lain hendak disingkirkan? Terus terang ada kontestasi antara KPI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan sangat mungkin ada pihak lain yang dengan hadirnya KPI kepentingan monopolinya terganggu.

Macan ompong

Kita mencoba menerima takdir bahwa arus balik demokrasi penyiaran sudah berjalan. Kabarnya draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang kini ada di Prolegnas DPR sudah memuat skenario itu, KPI hanya akan fokus mengawasi isi siaran.

Skema ini juga tidak terlalu buruk sebab kegalauan publik terhadap penyiaran kebanyakan justru pada muatan televisi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial, agama, budaya, bahkan dikhawatirkan memicu runtuhnya moralitas sosial. Masyarakat tidak terlalu peduli pada legalitas lembaga penyiaran. Jadi, sangat mungkin suasana kebatinan masyarakat memang mengharapkan KPI fokus isi.

Masalahnya adalah peran tunggal seperti ini sudah selayaknya diatur dalam Undang-Undang Penyiaran secara detail. Selama ini peran pengawasan isi siaran sudah termaktub dalam Undang-Undang penyiaran, bahkan KPI diberi kewenangan untuk menyusun dan mengesahkan standard operating procedure (SOP) dalam bentuk Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

Namun, KPI tidak memiliki kewenangan memberi sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melanggar. Akibatnya, sanksi yang dijatuhkan justru menjadi bahan olok-olokan. Satu program yang dihentikan KPI bisa muncul kembali dengan substansi persis sama dengan nama program berbeda. KPI ibaratnya mematikan satu kutu menumbuhkan seribu kutu, jadilah KPI mati kutu.

Kita berharap, kalau memang nantinya KPI difokuskan untuk mengawasi isi siaran, lembaganya harus dikuatkan (dari segi kelembagaan, SDM, ataupun sumber daya lainnya). Di sisi yang lain kewenangan menjatuhkan sanksi harus diperjelas. Dengan demikian, KPI tidak lagi menjadi macan ompong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar