KPI dan Pengawasan Isi Siaran
Redi Panuju ; Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Dr
Soetomo Surabaya; Koordinator Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
Jawa Timur
|
KOMPAS,
17 September 2015
Ketika resmi membuka
rapat pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia di Istana Negara (2/9), Presiden
Joko Widodo menyatakan agar ”regulator” di bidang penyiaran radio dan
televisi fokus pada pengawasan isi siaran.
Dengan demikian,
semakin jelas sikap pemerintah atau keinginan pemerintahan Jokowi terhadap
konstruksi sistem penyiaran Indonesia ke depan.
Ada dua kemungkinan
dari pernyataan di atas. Pertama, Presiden ingin agar KPI fokus pada tugasnya
sehingga lebih jelas manfaatnya bagi masyarakat. Kedua, ini merupakan bagian
dari skenario besar pemerintah untuk mereduksi peran lembaga-lembaga ad hoc
yang dibentuk berdasarkan semangat reformasi.
Kita semua maklum,
pada waktu itu ada arus besar pentingnya mewadahi peran masyarakat sipil
dalam penyelenggaraan urusan publik yang sebelumnya dimonopoli negara.
Pelemahan sipil
Ide bahwa partisipasi
masyarakat sipil dalam penyelenggaraan negara awalnya ditujukan untuk
mencegah kembalinya otoritarianisme dalam pemerintahan. Melalui partisipasi
langsung diharapkan akan ada kontrol terhadap penggunaan kekuasaan sehingga
kekuasaan selalu berjalan pada rel yang benar (on the track). Wakil rakyat di
DPR yang menganut pemahaman ini memperoleh kemenangan dalam menyusun
undang-undang, yang berwujud dengan lahirnya lembaga-lembaga ad hoc seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Perlindungan Anak, Komisi Informasi, Komisi Kepolisian, dan Komisi
Persaingan Usaha.
Sayang, akhir-akhir
ini banyak wacana yang menegasikan lembaga-lembaga tersebut, mulai dari
wacana menghamburkan uang negara, tidak efektif, tumpang tindih dengan
lembaga lain, hingga yang lainnya. Bahkan, di DPR yang dulu melahirkannya,
justru terus muncul suara untuk untuk melemahkan lembaga ad hoc.
Kadang upaya pelemahan
menggunakan argumentasi logis meski tidak masuk akal. Misalnya, ada seorang
politikus yang menyatakan, jika di negeri ini sudah tidak ada lagi korupsi,
tidak dibutuhkan lagi KPK.
Masalahnya tidak
mungkin korupsi hilang, yang ada adalah dapat ditekan ke angka minimal. Lord
Acton menyatakan, sepanjang ada kekuasaan pasti akan ada kecenderungan
korupsi. Sepanjang ada setan (sifat kejahatan) pada diri manusia, tidak
mungkin manusia bisa menjadi malaikat. Tidak penting berdebat soal ini, yang
lebih penting adalah ada atau tidak ada korupsi, KPK merupakan manifestasi
demokrasi dalam wujud berbagi peran dan saling mengontrol.
Sama juga dalam kasus
penyiaran, jangan-jangan akan muncul pernyataan ”bila program siaran semua
televisi sudah tidak melanggar aturan”, tidak dibutuhkan lagi Komisi
Penyiaran. Pertanyaannya, apakah jika sudah total menyiarkan hal-hal yang
suci, televisi akan ditonton pemirsa?
Tahun 1994 saya pernah
ke Brunei. Isi televisi lokal hanya mengaji dan pengajian. Ternyata
masyarakat lebih suka menonton siaran televisi Indonesia dengan parabola.
Lagi pula, sepanjang media televisi menjadi industri media, mana mungkin
televisi steril dari hal-hal buruk karena ini merupakan ekses dari setiap
industrialisasi.
Argumentasi ini juga
tidak terlalu penting, yang lebih penting lagi adalah bagaimana berbagi
kekuasaan/kewenangan sebagai wujud demokratisasi penyiaran agar ada kekuatan
yang berjuang melindungi kepentingan publik.
Arahan Presiden agar
KPI hanya fokus pada pengawasan isi siaran adalah bagian dari skenario
mereduksi peran lembaga ini. Sebab, peran KPI dalam Undang-Undang Penyiaran
(UU No 32/2002) tidak hanya mengawasi isi siaran, tetapi juga turut serta
dalam menata infrastruktur penyiaran, menjamin diversity of content dan diversity of ownership, serta menjamin
iklim usaha yang sehat dalam industri penyiaran.
Mengapa peran lain
hendak disingkirkan? Terus terang ada kontestasi antara KPI dan Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan sangat mungkin ada pihak lain yang
dengan hadirnya KPI kepentingan monopolinya terganggu.
Macan ompong
Kita mencoba menerima
takdir bahwa arus balik demokrasi penyiaran sudah berjalan. Kabarnya draf
revisi Undang-Undang Penyiaran yang kini ada di Prolegnas DPR sudah memuat
skenario itu, KPI hanya akan fokus mengawasi isi siaran.
Skema ini juga tidak
terlalu buruk sebab kegalauan publik terhadap penyiaran kebanyakan justru
pada muatan televisi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial,
agama, budaya, bahkan dikhawatirkan memicu runtuhnya moralitas sosial.
Masyarakat tidak terlalu peduli pada legalitas lembaga penyiaran. Jadi,
sangat mungkin suasana kebatinan masyarakat memang mengharapkan KPI fokus
isi.
Masalahnya adalah
peran tunggal seperti ini sudah selayaknya diatur dalam Undang-Undang
Penyiaran secara detail. Selama ini peran pengawasan isi siaran sudah
termaktub dalam Undang-Undang penyiaran, bahkan KPI diberi kewenangan untuk
menyusun dan mengesahkan standard operating procedure (SOP) dalam bentuk
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).
Namun, KPI tidak
memiliki kewenangan memberi sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melanggar.
Akibatnya, sanksi yang dijatuhkan justru menjadi bahan olok-olokan. Satu
program yang dihentikan KPI bisa muncul kembali dengan substansi persis sama
dengan nama program berbeda. KPI ibaratnya mematikan satu kutu menumbuhkan
seribu kutu, jadilah KPI mati kutu.
Kita berharap, kalau
memang nantinya KPI difokuskan untuk mengawasi isi siaran, lembaganya harus
dikuatkan (dari segi kelembagaan, SDM, ataupun sumber daya lainnya). Di sisi
yang lain kewenangan menjatuhkan sanksi harus diperjelas. Dengan demikian,
KPI tidak lagi menjadi macan ompong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar