Inflasi dan Kondisi Perekonomian Indonesia
Yose Rizal Damuri ; Kepala Departemen Ekonomi,
Centre for Strategic and
International Studies Jakarta
|
KOMPAS,
18 September 2015
Di tengah
ingar-bingarnya berita kenaikan nilai tukar rupiah, keluarnya data mengenai
inflasi terakhir mungkin tidak terlalu menarik perhatian. Namun, ada beberapa
hal mengenai tingkat harga yang berpotensi memperburuk keadaan ekonomi
Indonesia.
Berbeda dengan masalah
pelemahan nilai tukar yang merupakan isu global dan terjadi di hampir semua
mata uang, inflasi Indonesia saat ini tidaklah mengikuti pola global. Angka
terakhir inflasi bulan Agustus masih bertengger pada angka 7,18 persen per
tahun, tidak jauh berbeda dengan inflasi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Hal ini agak
mencemaskan karena tren harga dunia menunjukkan adanya penurunan. Harga-harga
komoditas dan pangan terus mengalami penurunan sejak akhir tahun lalu.
Inflasi di hampir semua negara tetangga tercatat sangat rendah.
Vietnam, misalnya,
hanya mencatatkan inflasi tahunan 0,9 persen, jauh di bawah inflasi rata-rata
mereka yang mencapai dua digit. Thailand mencatatkan penurunan harga hingga
1,5 persen. Inflasi di Filipina bahkan mencapai tingkat terendah dalam dua
dekade dengan perubahan harga tahunan kurang dari 1 persen.
Kecenderungan untuk
inflasi Indonesia yang tetap tinggi perlu mendapatkan perhatian. Penyumbang
terbesar angka inflasi adalah kenaikan harga bahan pangan. Angka inflasi
Agustus menunjukkan tingkat inflasi tahunan bahan makanan dan makanan jadi
mencapai 9,26 persen dan 8,39 persen. Harga eceran beras rata-rata nasional
saat ini masih sekitar 40 persen lebih tinggi dibandingkan harga
internasional yang cenderung menurun.
Dengan penurunan harga
di pasar internasional, perlu ditanyakan mengapa harga pangan di Indonesia
malah mengalami kenaikan secara signifikan. Mengapa penurunan harga
internasional tidak tecermin di harga-harga domestik?
Salah satu jawabannya,
karena kelangkaan pasokan bahan makanan. Keengganan pemerintah melakukan impor
berbagai bahan pertanian telah menyebabkan kenaikan harga yang sering tak
terkontrol. Tata niaga bahan pertanian yang restriktif juga membuat tak
adanya mekanisme penyaluran produk yang pada akhirnya membuat kenaikan harga
terjadi terus-menerus.
Harga pangan dan daya beli
Kenaikan harga produk
pertanian sering dianggap sebagai salah satu cara untuk mendukung program
swasembada. Kenaikan harga pokok pembelian beras hingga Rp 8.000 per kilogram
diharapkan akan lebih mendorong produksi beras di dalam negeri. Pembatasan
impor bahan pangan yang mendorong kenaikan harga juga diharapkan memberi
insentif bagi petani dalam produksi berbagai bahan pangan lainnya.
Namun, tentu saja
kenaikan harga tidak akan memberikan manfaat pada perekonomian secara keseluruhan,
bahkan tidak untuk petani. Sebagian besar dari petani Indonesia adalah petani
yang juga menjadi konsumen bahan pangan. Lebih dari 60 persen rumah tangga
pertanian hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar dan tergantung
dari bahan pangan yang mereka tidak hasilkan. Secara neto, dampak kenaikan
harga bahkan mengurangi daya beli mereka.
Selain itu, kenaikan
harga bahan pangan juga akan memicu kenaikan upah yang diminta oleh para
pekerja non-pertanian. Dengan hampir 70 persen pekerja Indonesia berada di
luar pertanian, dampak kenaikan bahan pangan akan mendorong kenaikan upah dan
harga produk-produk lain. Akhirnya, kenaikan harga produk pertanian tidak
akan dinikmati para petani dan hanya menimbulkan dampak inflasi.
Kombinasi antara
pelambatan ekonomi dan kenaikan harga merupakan situasi yang jauh lebih
mengancam daripada sekadar pelemahan nilai tukar. Kondisi stagflasi (stagnasi
dan inflasi) akan menyebabkan berbagai kebijakan ekonomi, termasuk untuk
meningkatkan belanja pemerintah, tidak akan menjadi efektif. Kebijakan fiskal
yang ekspansif hanya akan menyebabkan kenaikan permintaan. Tanpa adanya
peningkatan pasokan, permintaan tersebut hanya akan meningkatkan tekanan
inflasi.
Kenaikan harga yang
terus-menerus juga akan berpengaruh pada nilai tukar dalam jangka panjang.
Jika tingkat harga di Indonesia terus meningkat, sementara tingkat harga
internasional cenderung menurun, nilai tukar rupiah juga akan mengalami
pelemahan.
Kenaikan tingkat harga
juga menyebabkan daya saing produk Indonesia tidak dapat meningkat walaupun
nilai tukar sudah melemah secara signifikan. Ini sebagian menjelaskan mengapa
meskipun sejak dua tahun belakangan ini rupiah telah melemah sekitar 20
persen, ekspor Indonesia belum menunjukkan perubahan yang berarti.
Untuk mencegah kondisi
yang lebih buruk, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada tingkat
harga dan inflasi. Tingkat harga di Indonesia perlu diselaraskan dengan
tingkat harga internasional, terutama untuk bahan pangan. Pemerintah perlu
mengubah paradigmanya: impor bahan pangan bukanlah merupakan suatu hal yang
memalukan; ketidaktersediaan dan ketidakterjangkauanlah yang harus dihindari.
Swasembada bahan
pangan harus dicapai bukan dengan mengorbankan konsumen dan rakyat, melainkan
dengan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan produktivitas. Cara-cara
koersif dan pemaksaan dalam memengaruhi pasar tidaklah akan memberikan hasil
yang baik dan akan memperburuk keadaan.
Kebijakan-kebijakan
restriktif yang meningkatkan harga pangan juga hanya akan memicu inflasi dan
menaruh perekonomian pada posisi yang lebih membahayakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar