Sabtu, 19 September 2015

Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer

Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer

Anggini Armiarini  ;  Sekretaris umum PP Fatayat NU
                                                    JAWA POS, 18 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DI usia ke-65 tahun, organisasi Fatayat NU dituntut untuk terus berbenah. Kiprahnya dibutuhkan bukan sebatas menyangkut isuisu kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Lebih dari itu, Fatayat NU juga harus tampil lebih menarik dan hadir dalam isu-isu kontemporer yang lebih luas.

Dengan jumlah anggota mencapai enam juta orang yang mengakar di tingkat grassroots, Fatayat NU yang akan menggelar kongres di Surabaya mulai hari ini sampai Minggu lusa (20/9) adalah garda depan pergerakan perempuan yang sangat potensial. Komitmen dan kerja nyatanya yang terkait dengan upaya membangun kesadaran kritis kaum perempuan, mewujudkan kesetaraan, serta mengadvokasi korban perdagangan anak hingga buruh migran sudah cukup dibuktikan.

Berbagai masalah dan ketertinggalan perempuan NU, terutama di desa-desa, jelas masih banyak serta menjadi pekerjaan rumah bersama. Namun, kerja keras Fatayat NU, terutama dalam dua dekade terakhir, setidaknya telah berhasil meng- upgrade banyak hal. Contoh sederhana, kalau dulu sebatas konco wingking (teman di belakang), kini perempuan NU bahkan sudah tak asing dengan, taruhlah, pilihan politik yang berbeda dalam keluarga.

Kesadaran politik itu, di level berikutnya seiring demokratisasi, berlanjut ke perebutan ruang-ruang publik. Melalui kader-kadernya yang terdistribusi di pemerintahan, di lembaga legislatif, dan lembaga tinggi negara lainnya, keterlibatan Fatayat NU dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di pentas politik juga sudah bisa dirasakan. Saat ini lebih dari seratus kader Fatayat NU duduk sebagai anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia.

Namun, itu belum apa-apa. Tantangan kontemporer sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada semua itu. Saat ini tantangan besar Fatayat NU dalam menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan berhadapan langsung dengan liberalisasi atau bahkan imperialisasi jenis baru di berbagai bidang.
Periode globalisasi ekonomi yang ditandai era perdagangan bebas ASEAN (MEA), mau tidak mau, menciptakan tantangan baru yang simultan. Mulai tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu pengetahuan, hingga tantangan agama.

NU tentu tidak bisa sendirian menghadapi derasnya fundamentalisme dan radikalisme agama yang infiltrasinya melalui dunia maya kian masif saja memengaruhi anakanak muda kita. Demikian juga liberalisasi agama di sisi lain, yang kalau mau jujur, pahamnya justru digandrungi banyak kalangan muda. Kalau dibiarkan, dua hal itu bukan saja bisa mengancam eksistensi NU secara organisasi dan jamaah, tetapi juga keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa.

Syukur, Muktamar Ke-33 NU di Jombang telah meneguhkan Islam Nusantara sebagai instrumen besar untuk membangun peradaban Indonesia dan dunia. Secara paradigmatis, tema itu mampu mengenalkan ciri Islam yang damai dan toleran dengan lebih mudah ke khalayak luas. Bagaimana tema besar itu makin membumi, Fatayat NU perlu ambil bagian langsung di ruang tersebut.

Tugas Fatayat NU sebagai bagian terdepan NU ke depan adalah bagaimana berpikir dan bertindak lebih progresif. Bagaimana kader aktif Fatayat NU yang tersebar di 34 pengurus wilayah (PW), 423 pengurus cabang (PC/PCI), 2.013 pengurus anak cabang (PAC), 21.225 pengurus ranting (PR), dan lebih dari 90 ribu pengurus anak ranting (PAR) menjadi kekuatan ideologis yang dapat memainkan peran menghadapi arus kuat globalisasi.

Harus diakui, globalisasi adalah sebuah kecenderungan yang sulit dihindari. Perkembangan teknologi membuat arus informasi dengan derasnya memasuki semua sektor publik dan domestik. Itu, percaya atau tidak, telah mengubah sebagian besar kebiasaan hidup kita dari mekanis ke digital. ”Dunia maya” yang beberapa waktu lalu sebatas angan-angan kini seolah menjadi ”realitas sebenarnya”.

Di sinilah, Fatayat NU perlu menata, merancang, dan mengagregasi sebuah gerakan yang bisa menjadi acuan bagi setiap perempuan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Fatayat NU harus mampu menunjukkan diri kepada dunia sebagai entitas perempuan yang memiliki bekal kepemimpinan kuat, berkeadaban tinggi, dan mengerti Islam secara luas.

Untuk mengarah ke output tersebut, beberapa hal sudah dilakukan Fatayat NU. Sebagai fondasi, misalnya, Fatayat NU terus meningkatkan pelatihan-pelatihan kepemimpinan dasar di tingkat PC.

Jika dulu target pelatihan cenderung menyiapkan kader Fatayat untuk menata organisasi secara internal, sekarang dalam panduan yang baru pelatihan Fatayat NU juga serius menyiapkan calon-calon pemimpin perempuan yang selain mampu memimpin di internal, juga siap memimpin organisasi publik di level yang lebih luas serta plural.

Di luar peningkatan kaderisasi formal, Fatayat NU juga penting untuk mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) kader yang ada. Kalau diidentifikasi, resource kader Fatayat NU sebenarnya luar biasa.

Saat ini ada puluhan kader Fatayat NU yang bergelar doktor dan ratusan lainnya lulusan strata 2. Mereka tentu mempunyai keahlian dan bidang profesi beragam. Manajemen pengelolaan SDM itu juga penting untuk lebih memanggungkan lagi Fatayat NU di pentas global.

Betapa cantiknya tatkala dari rahim Fatayat NU lahir perempuanperempuan pemimpin, intelektual, dan kalangan profesional yang sanggup memberikan pengaruh positif bagi pembangunan karakter bangsa, bagi teguhnya Islam Nusantara, dan tentu saja bagi peradaban dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar