Jumat, 18 September 2015

Tiongkok, AS, dan Kita

Tiongkok, AS, dan Kita

J Soedradjad Djiwandono  ;  Guru Besar Emeritus Ekonomi UI;
Professor of IPE, RSIS, NTU
                                                     KOMPAS, 17 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Negara-negara dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing. Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis keuangan dunia.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Menyangkut yang pertama, masa jaya komoditas berakhir dengan anjloknya permintaan mulai dari kedelai sampai batubara dan bijih besi terutama disebabkan oleh turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi 7 persen atau lebih rendah. Harga migas juga menurun drastis karena melemahnya permintaan berbarengan dengan meningkatnya produksi karena Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya dan perkembangan oil shale di AS. Turunnya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi bersamaan dengan kebijakan rebalancing, yaitu mengalihkan sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi ke konsumsi dalam negeri. Semuanya berdampak menekan negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam: Brasil, Cile, Rusia, serta Australia dan Indonesia.

Laporan ekonomi triwulanan Bank Dunia terakhir menunjukkan, laju pertumbuhan impor Tiongkok dari Indonesia yang meningkat setiap tahun sekitar 30 persen dalam periode 2005-2011 (di luar krisis 2009) menjadi negatif 7,8 persen pada periode 2012-2014.

Masalah kedua menyangkut akan direalisasikannya perubahan kebijakan moneter inkonvensional dengan suku bunga mendekati nol di AS dengan meningkatkan suku bunga fasilitas Fed (Fed Fund Rate). Sesuatu yang tak mudah dibayangkan karena sudah tujuh tahun perekonomian hanya mengenai suku bunga yang mendekati nol persen. Dunia keuangan mengenal phenomenon double blows, dampak dari suatu kebijakan terjadi dua kali. Akan dinaikkannya suku bunga dihadapi para pelaku pasar dengan memperhitungkan kenaikan suku bunga dalam operasinya meski kenaikannya belum terjadi (discounted). Pada waktu terjadi kenaikan, ini diperhitungkan (lagi). Tambahan aksentuasi dampak ini sering disebut financial amplifier. Karena itu, reaksi pasar sering ekstrem, terjadi overshoot.

Kemungkinan peningkatan suku bunga ini sudah diumumkan sejak Juni 2013. Ketua Dewan Gubernur Fed Ben Bernanke waktu itu membuat pernyataan bahwa kalau perbaikan data pengangguran dan laju inflasi terus terjadi, kebijakan suku bunga sangat rendah itu akan secara hati-hati ditinggalkan, tapering off atau lifting off. Pernyataan ini telah menumbuhkan gejolak pembalikan dana dari EM ke AS. Negara-negara dengan ekonomi berkembang, termasuk Indonesia yang sebelumnya menerima aliran modal dari melimpahnya likuiditas, resah karena aliran balik modal ini (taper tantrum).

Financial Times melaporkan, arus balik dana dari 19 negara EM ke AS dan negara maju lain dalam 13 bulan terakhir mendekati 1 triliun dollar AS. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat arus balik dana saat krisis keuangan dunia 2008/2009 sebesar 490 miliar dollar AS. Kekhawatiran yang berkembang jelas, kalau kenaikan suku bunga benar terjadi, arus balik akan meningkat lagi karena phenomenon double blows tadi. Implikasinya, depresiasi mata uang terhadap dollar AS akan kian tajam. Susahnya, harapan terjadinya peningkatan ekspor dari depresiasi mata uang negara berkembang ternyata semakin lemah, antara lain karena besarnya kandungan impor dari ekspor negara berkembang. Sebaliknya, dampak negatifnya, seperti semakin mahalnya impor, lebih memberatkan negara berkembang. Bagi yang utangnya besar dan dalam dollar AS, dampak negatif semakin beratnya pengembalian utang jelas memberatkan. Utang Indonesia memang relatif belum besar sekali, tetapi rupanya Indonesia ikut juga arus makin meningkatnya utang yang mudah masuk ke tingkat riskan.

Selanjutnya, arus balik dana ini telah menyebabkan tergerusnya nilai tukar kebanyakan negara yang kehilangan dana, terutama negara-negara berkembang yang kehilangan dana karena arus balik, termasuk Indonesia. Semua mata uang negara-negara tersebut terdepresiasi. Namun, besar kecilnya dipengaruhi lagi oleh faktor domestik yang merupakan discount masing-masing, sesuai kerentanannya.

Perekonomian suatu negara rentan terhadap gejolak jika ketergantungannya pada ekspor sangat besar, terutama ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Demikian pula perekonomian yang defisit neraca pembayarannya besar, utangnya besar (apalagi utang jangka pendek dalam denominasi dollar AS). Juga negara yang sedang dililit permasalahan sosial politik, karena korupsi, skandal, atau lainnya.

Momok ketidakpastian

”Senin Hitam” terjadi karena perubahan perekonomian Tiongkok, kombinasi perkembangan ekonomi dan kebijakan penyesuaian yang dilaksanakan pemerintah dan otoritas moneternya, People’s Bank of China (PBOC). Pasar modal Tiongkok di Shenzen ataupun Shanghai mengalami perkembangan luar bisa dengan jutaan investor perorangan baru dan kapitalisasinya meningkat dua kali lipat dalam setahun. Semua serba fantastis. Namun, waktu terjadi penurunan tajam harga saham bulan Juni, Tiongkok melancarkan kebijakan penyelamatan, termasuk membeli saham sampai 200 miliar dollar AS serta melarang sementara IPO dan penjualan sejumlah besar saham. Terakhir bahkan membungkam media yang memberitakan gejolak pasar modal. Semua ini mengguncang Asia dan dunia dengan terjadinya Senin Hitam dan setelahnya.

Harga saham baru menjadi positif kembali setelah penurunan sekitar satu minggu, sedangkan di AS dan Eropa serta beberapa negara berkembang lain sudah menjadi positif sehari atau dua hari setelah Senin Hitam. Tiongkok sendiri dilaporkan kehilangan nilai aset finansial karena penurunan harga saham mencapai 4 triliun dollar AS, empat kali lipat PDB Indonesia. Anehnya, gejolak pasar modal di Tiongkok yang relatif belum terbuka ini dengan cepat menjadi global. Lebih aneh lagi meski dilakukan penanganan yang berani dan drastis, termasuk devaluasi yuan yang sangat ditabukan sebelumnya, gejolak pasar modal di Tiongkok berjalan lebih lama dari negara maju dan berkembang lain. Dan devaluasi yuan juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Tentu perlu dilakukan pengkajian lebih cermat. Akan tetapi, sementara rasanya tak keliru mengatakan, kepercayaan pasar terhadap pengelolaan pasar modal dan yuan menurun karena kurang konsistennya kebijakan pemerintah dan PBOC. Kebijakan rebalancing yang dijanjikan untuk mendorong konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendorong bekerjanya mekanisme pasar tampak tak sinkron dengan kebijakan devaluasi dan berbagai intervensi langsung yang dilakukan terhadap pasar modal dan perkembangan nilai tukar.

Dalam pada itu, kenaikan suku bunga fasilitas Fed yang jelas akan berakibat aliran balik modal juga masih menggantung. Rupanya negara berkembang harus menghadapi kebijakan Fed dan bank sentral negara maju lain yang akhir-akhir ini mengalami penyakit susah membuat keputusan. Debat yang rasanya tak berkesudahan tentang kapan dimulai kenaikan suku bunga jelas menambah ketakpastian pasar yang terguncang dengan apa yang berkembang di Tiongkok.

Masalah yang dihadapi Fed jelas pelik. Fed bertugas menjaga dan mengusahakan kestabilan finansial seperti di Indonesia. Fed juga bertanggung jawab mendorong ekonominya mencapai pertumbuhan yang disasar. Hal ini dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi dalam pasar tenaga kerja dengan besar kecilnya tingkat pengangguran menjadi sasaran kebijakan moneter. BI di masa lalu juga mempunyai tanggung jawab pembangunan ini, tetapi penugasan ini dikeluarkan pada waktu diberi status independen tahun 1999.

Pencapaian keseimbangan dua sasaran tersebut dalam paradigma ekonomi yang telah berubah rupanya semakin rumit. Mungkin hal ini yang menyebabkan Fed seperti maju mundur sejak 2013 untuk menentukan kapan akan mulai menaikkan suku bunga. Belum lagi yang menyangkut berapa besar kenaikannya dan bagaimana pola yang akan dilaksanakan. Setelah seminar dan perdebatan panjang di masyarakat, tampaknya para gubernur di bawah pimpinan Janet Yellen cenderung meningkatkan suku bunga September atau akhir tahun. Yang jelas rapat dewan gubernur dilakukan sepuluh kali setiap tahun, tahun ini tinggal dua kali, 17 September ini dan Desember nanti.

Perdebatan belum kunjung berhenti juga. Di Fed, beberapa waktu lalu, Presiden Fed New York William Dudley mengatakan, dirinya tak yakin lagi apakah kenaikan suku bunga sebaiknya dilakukan tahun ini. Tak kurang mantan Menteri Keuangan Larry Summer dan ekonom peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz, keduanya guru besar kenamaan Universitas Harvard dan Columbia, menulis kolom (di New York Times dan Los Angeles Times) menunjukkan argumen serupa. Akan tetapi, dalam pertemuan tahunan central bankers di Jackson Hole belum lama ini, Wakil Ketua Fed Stanley Fischer mengatakan, peningkatan suku bunga bulan ini masih dalam pertimbangan, menunggu data perkembangan pengangguran akhir minggu.

Siapa yang tidak bingung mengikuti semua perkembangan ini? Orang-orang pintar saja bingung. Yang jelas, implikasinya adalah ketidakpastian pasar yang merupakan momok paling tidak disukai pelaku pasar ini masih berjalan. Perekonomian terkuat nomor satu dan dua di dunia sedang dalam kondisi kurang bisa dijadikan pedoman negara-negara berkembang untuk menentukan sikap. Ini jelas suatu kondisi yang kurang kondusif, perekonomian dunia kurang solid untuk menghadapi kejutan yang bisa terjadi.

Kiranya benar pernyataan Henry Snyder dalam kolom di Financial Times (28/8) bahwa masalahnya bukan pada ekonomi AS, melainkan pada kebijakan moneternya. Saya ingin menambah, ini berlaku pula bagi ekonomi Tiongkok. Sektor riilnya tidak merupakan masalah, laju pertumbuhan PDB-nya jelas masih tertinggi di dunia, tetapi kebijakan dalam pengelolaan moneter dan pasar modalnya telah menimbulkan pertanyaan besar bagi pasar dan masyarakat. Dalam menghadapi tantangan tersebut, kita semua berharap adanya sikap arif dari pemerintah dan dunia usaha dalam mengambil kebijakan dan menentukan langkah agar memilih mitra usaha, dagang, dan investasi tanpa tergiur keuntungan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang luas, kepentingan nasional berjangka panjang. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar