Pengelolaan Pangan Mencemaskan
Dwi Andreas Santosa ; Guru Besar IPB; Ketua Umum AB2TI;
Mantan Anggota Pokja Tim Transisi
Joko Widodo-Jusuf Kalla
|
KOMPAS,
18 September 2015
Menarik mencermati
data harga komoditas pangan selama 20 bulan terakhir ini. Tahun 2014, harga
pangan relatif stabil kecuali untuk cabai dan bawang merah. Selisih harga
beras medium rata-rata nasional per kilogram antara yang terendah (Januari
2014) dan tertinggi (Desember 2014) hanya terpaut Rp 567.
Pada tahun tersebut,
produksi padi Indonesia menurun 0,63 persen dan Indonesia mengimpor 1,225
juta ton beras. Harga daging sapi juga relatif stabil dengan perbedaan harga
terendah (Maret 2014) dan tertinggi (Desember 2014) sebesar Rp 2.890. Hal
yang sama juga terjadi pada daging ayam broiler (Kementerian Perdagangan,
2014 dan 2015).
Drama pangan dimulai
pada Januari 2015. Hanya dalam tempo relatif singkat, harga beras medium
melonjak menjadi Rp 10.375 pada bulan Maret 2015 dari Rp 9.645 pada bulan
Januari. Bahkan, di Jakarta, harga beras mencapai Rp 11.217 per kg (Info
Pangan DKI, 2015). Kenaikan harga sempat tidak terkendali hingga 30 persen
baik untuk beras medium dan premium. Harga kemudian turun karena tertolong
oleh panen raya. Mulai Mei, harga meningkat perlahan dan saat ini sudah
mendekati puncak harga pada bulan Maret 2015. Diperkirakan harga beras pada
bulan September akan melampaui bulan Maret dan terus meningkat hingga akhir
tahun ini.
Gejolak harga beras
ini sungguh ironis di tengah pernyataan berulang kali Menteri Pertanian bahwa
Indonesia pada tahun 2015 ini akan menghentikan impor beras karena terjadi
lonjakan produksi padi fantastis 6,64 persen dan surplus 4,7 juta ton gabah
kering giling dibandingkan tahun sebelumnya.
Drama beras belum
selesai, muncul gejolak harga bawang merah. Harga bawang merah yang turun
sedikit pada bulan Februari tiba-tiba melonjak tajam dan mencapai puncaknya
pada Juni 2015 sebesar Rp 32.996 per kg atau naik 52 persen. Tidak menunggu
waktu lama, dalam tempo dua bulan, harga bawang merah menukik tajam ke bawah
dan saat ini lebih rendah dibandingkan harga terendah bulan Februari 2015.
Petani-petani di
sentra bawang merah sangat terpuruk karena harga tiba-tiba jatuh menjadi Rp
5.000, bahkan Rp 4.000 per kg, padahal ongkos produksi saat ini mencapai Rp
7.000 per kg. Selain bawang merah, petani tomat juga mengalami penderitaan
akibat harga tomat yang jatuh menjadi hanya Rp 200-Rp 400 per kg di beberapa
sentra produksi.
Belum selesai dengan
beras dan hortikultura, harga daging sapi dan daging ayam ikut berulah. Untuk
daging sapi, gejala kenaikan harga sudah tampak sejak Mei 2015, yang naik
terus tiap bulan dan mencapai puncaknya pada Agustus 2015.
Di Jakarta, lonjakan
tertinggi terjadi pada bulan Juli, yaitu 14,8 persen, dibandingkan bulan
sebelumnya. Harga daging sapi rata-rata bulan Agustus 2015 sudah mencapai Rp
115.130 per kg, padahal dua bulan sebelumnya Rp 99.382. Drama daging sapi
dilengkapi dengan mogok berjualan para penjual daging sapi di beberapa kota
besar dan harga sempat menyentuh Rp 140.000 per kg.
Setali tiga uang
dengan harga daging sapi adalah harga daging ayam broiler. Secara nasional,
harga daging ayam broiler mulai menanjak naik dari harga terendahnya pada
Maret 2015, yaitu Rp 26.817 per kg. Harga melonjak terus pada bulan-bulan
berikutnya dan mencapai Rp 33.523 per kg pada Agustus. Di Jakarta, harganya
bahkan mencapai Rp 35.400 dan sempat melonjak di atas Rp 40.000 per kg, yang
diikuti mogok massal penjual daging ayam di sejumlah kota besar.
Spekulan dan kebijakan pemerintah
Pergerakan harga
pangan yang mengkhawatirkan ini menyebabkan masyarakat umum dan petani kecil
sama-sama menderita. Nilai tukar petani (NTP) yang merupakan salah satu
indikator kesejahteraan petani justru turun tiga bulan berturut-turut pada puncak
musim panen, yaitu Maret, April, dan Mei 2015. Ketika panen raya sudah
berakhir dan gabah serta beras tidak lagi di tangan mereka, harga melonjak
dan ikut mengerek NTP ke atas. Sebagaimana konsumen pada umumnya, petani
merupakan net consumer pangan. Saat ini, harga hampir semua pangan pokok
stabil tinggi dan cenderung terus menguat hingga akhir tahun, lampu merah
bagi masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.
Menyikapi hal ini,
para pejabat selalu menyatakan bahwa gejolak harga pangan tersebut disebabkan
ulah spekulan atau mafia pangan. Dalam wacana akademis, spekulan pangan tidak
mengarah pada kartel dan upaya menahan stok, tetapi lebih pada spekulasi
finansial (Bar-Yam and Lindsay, 2012). Sekitar 40 persen volatilitas harga
pangan dalam lima tahun terakhir jika dirunut berakhir di institusi
finansial.
Jika demikian, lalu
apa penyebab gejolak harga pangan yang mengkhawatirkan ini? Krisis beras pada
awal tahun disebabkan stok beras nasional berada dalam posisi terendah selama
tiga tahun terakhir ini yang lupa diantisipasi pemerintah. Awal Januari 2015,
stok beras nasional hanya 5,5 juta metrik ton, turun dari 7,4 juta metrik ton
dua tahun sebelumnya dan 6,48 juta metrik ton setahun sebelumnya (DA Santosa,
"Waspada Pangan 2015", Kompas, 10/3). Harga beras yang terus
meningkat selama empat bulan terakhir ini lebih disebabkan gangguan produksi
dan stok yang tidak memadai, bukan ulah spekulan. Kajian Asosiasi Bank Benih
dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di banyak tempat mengarah pada hal tersebut
sehingga produksi tahun ini kemungkinan sama atau bahkan lebih rendah
dibandingkan tahun 2014.
Bagaimana dengan
daging sapi dan daging ayam? Kenaikan harga daging sapi dan ayam sebenarnya
sudah dimulai sejak April 2015. Kenaikan harga daging sapi menyiratkan
kelangkaan stok. Justru pada kondisi demikian pemerintah memutuskan memotong
kuota impor dari 250.000 ekor menjadi hanya 50.000 ekor pada kuartal III
(Juli-September 2015). Akhirnya, harga daging sapi melonjak tidak terkendali
dan bertahan tinggi hingga saat ini.
Sejak April 2015,
harga jagung terus meningkat, yang menyiratkan gangguan produksi jagung
nasional. Ketika produksi jagung mengalami gangguan, pemerintah justru
mengambil keputusan mendadak menghentikan kekurangan impor jagung (komponen
terbesar pakan ayam) sebesar 1,35 juta ton dengan asumsi seolah-olah akan
terjadi peningkatan produksi jagung nasional 1,66 juta ton pada 2015.
Dengan demikian,
asumsi yang dibangun pemerintah bahwa penyebab gejolak harga daging sapi dan
daging ayam adalah ulah spekulan sangat spekulatif, menyederhanakan persoalan
sekaligus upaya melepas tanggung jawab dan menghindar dari kesalahan yang
dibuat pemerintah sendiri.
Upaya mengatasi
Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan pemerintah dalam mengatasi krisis pangan yang akan
terjadi. Pertama, desain dan implementasi kebijakan harus betul-betul
dilandaskan pada fakta dan data yang akurat. Akurasi juga meliputi peramalan
produksi, informasi pasar, dan dampak setiap kebijakan terhadap banyak pihak
dan kelompok di masyarakat. Penetapan kebijakan yang sangat mendadak, apalagi
tidak disertai dengan data yang akurat, akan mendistorsi pasar dan merusak
sistem yang ada.
Kedua, meningkatkan
tata kelola stok pangan publik. Tata kelola yang buruk di lembaga yang
mengelola stok pangan nasional berkontribusi terhadap volatilitas harga
pangan. Negara harus mampu membuat lembaga pangan dengan pengelolaan yang
independen dan bebas dari berbagai kepentingan. Lembaga tersebut harus mampu
mengelola stok pangan nasional, meliputi waktu dan kuantitas pelepasan stok
ataupun pembelian untuk meningkatkan stok.
Ketiga, kerja sama
antara sektor publik/pemerintah dan swasta perlu ditingkatkan. Perilaku yang
menciptakan ketidakpercayaan dan konflik pemerintah versus swasta justru
menyebabkan situasi semakin memburuk dan berkontribusi nyata terhadap gejolak
harga pangan (Pinstrup-Andersen, 2015). Jika konflik tersebut terus-menerus
terjadi sebagaimana dipertontonkan di masyarakat akhir-akhir ini, stabilisasi
harga pangan hanyalah sebuah ilusi.
Keempat, peningkatan
kesejahteraan petani kecil dan investasi infrastruktur di pedesaan harus
menjadi sasaran besar pembangunan pertanian dan pangan. Kesejahteraan petani
yang meningkat akan meningkatkan kegairahan dalam berusaha tani. Peningkatan
produksi hanyalah reward dari upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Terakhir, semoga dalam
situasi pelemahan rupiah dan perekonomian seperti saat ini, pejabat
pemerintah lebih bijak dalam mengeluarkan pernyataan ataupun kebijakan dan
jauh dari politik pencitraan yang dikemas dalam data dan angka bermasalah.
Kita sama-sama berharap bahwa gambaran suram bencana pangan yang menghadang
pada akhir tahun dan berlanjut pada tahun 2016 akan berakhir menjadi ilusi
belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar