Kamis, 17 September 2015

Diplomasi DPR

Diplomasi DPR

Abdillah Toha  ;  Anggota DPR 2004-2009; Ketua BKSAP 2005-2009;
Executive Vice President IPU 2006-2009
                                                     KOMPAS, 16 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kunjungan Ketua DPR Setya Novanto dan wakilnya Fadli Zon beserta rombongan baru-baru ini ke Amerika Serikat menarik perhatian khalayak. Bukan saja karena besarnya rombongan dan biaya yang ditanggung rakyat Rp 4,5 miliar lebih, melainkan juga kiprah mereka di sana yang membawa nama terhormat lembaga demokrasi kita, Dewan Perwakilan Rakyat.

Karena sudah banyak dikomentari di media daring ataupun laring, tak perlu diulas panjang lagi di sini bahwa jangankan anggota legislatif, pemerintah pun tak berhak campur tangan dalam urusan negeri lain. Apalagi ikut memberi kesan mendukung parpol atau politisi tertentu di negeri orang. Kemunculan Ketua dan Wakil Ketua DPR di arena kampanye capres AS sudah melanggar etika dan sopan santun pergaulan internasional. Apalagi nama bangsa ini dikesankan sebagai penyokong capres tertentu. Apa semua itu bagian dari tugas diplomasi DPR? Jelas tidak.

Diplomasi sama sekali bukan tugas utama DPR. Semua kita tahu fungsi utama DPR adalah membuat undang-undang, mengesahkan anggaran, dan mengawasi pemerintah. Berdasarkan UUD 1945, dalam hal yang berhubungan dengan luar negeri, DPR memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan duta besar RI untuk negara lain dan penerimaan duta besar negara lain untuk Indonesia serta mengesahkan atau menolak perjanjian internasional yang dibuat oleh presiden.

Hubungan luar negeri DPR

Masalah yang sering diidap DPR dalam alam demokrasi kita yang masih muda salah satunya adalah kekurangpahaman anggota, termasuk pimpinannya, tentang jenis dan batas kewenangan dan fungsi DPR. Khusus dalam hubungan luar negeri, apa yang sering kurang dimengerti oleh anggota dan pimpinan DPR?

Pertama, DPR memang tak dilarang membina hubungan luar negeri, tetapi pada dasarnya hubungan itu dibatasi pada tingkat parlemen ke parlemen. Hubungan DPR dengan pihak eksekutif negara lain selayaknya tak dilakukan tanpa koordinasi, bimbingan, dan sepengetahuan kementerian luar negeri. Ini untuk menghindari terjadinya dualisme diplomasi kita.

Kedua, kesepakatan apa pun dalam bentuk perjanjian, memorandum of understanding (MOU) atau dalam format lain antara DPR dan parlemen atau pihak-pihak lain di luar negeri, bersifat tidak mengikat (non binding), baik kepada DPR maupun pemerintah. Di sini termasuk juga segala macam resolusi-resolusi yang disahkan dalam forum-forum antarparlemen.

Ketiga, DPR adalah kumpulan dari fraksi-fraksi yang mewakili beragam partai politik. Karena itu, dalam kunjungan ke luar negeri ataupun dalam kegiatan lain yang berhubungan dengan luar negeri, delegasi DPR harus merepresentasikan setiap fraksi secara proporsional.

Keempat, dalam mengambil sikap atau posisi atas suatu permasalahan luar negeri, bisa saja fraksi yang banyak itu mempunyai sikap yang beragam karena platform dan ideologi yang berbeda-beda. Karena itu, sebelum sikap parlemen kita ditentukan, lebih dahulu harus dibahas untuk mendapatkan konsensus bersama semua fraksi. Inter-Parliamentary Union (IPU), organisasi parlemen global sejenis PBB-nya parlemen yang berkantor pusat di Geneva, Swiss, punya jalan keluar. Voting di forum IPU tak harus seragam bagi setiap negara. Terhadap sebuah resolusi, setiap negara akan mendapatkan alokasi sejumlah vote sesuai jumlah penduduknya dan suara yang dimasukkan delegasi parlemen setiap negara boleh dibagi, umpamanya, 40 persen setuju, 35 persen menolak, dan sisanya 25 persen abstain.

Dari pengalaman penulis, baik sebagai anggota Komisi I yang mengawasi Kementerian Luar Negeri maupun ketika beberapa kali memimpin delegasi Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR, berbagai kunjungan DPR ke luar negeri manfaatnya sangat terbatas. Kalaupun ada yang bermanfaat, barangkali bisa dikatakan sebagai berikut.

Pertama, bisa melihat langsung prestasi dan kerja berbagai perwakilan kita di luar negeri dan mendapatkan informasi mutakhir tentang hubungan kita dengan negara yang bersangkutan.

Kedua, dalam forum-forum bilateral, regional, ataupun multilateral parlemen, kita bisa menjalin hubungan dengan anggota parlemen negeri lain,belajar dari pengalaman mereka, dan dalam hal tertentu bisa melobi mereka untuk memperjuangkan kepentingan nasional kita. Sebagai contoh, delegasi DPR pernah melobi Kongres Amerika yang bersikerasmengembargo persenjataan Amerika kepada Indonesia untuk melunakkan embargonya.

Dalam melaksanakan amanat UUD 1945, DPR juga pernah berhasil melobi wakil-wakil parlemen dunia di IPU dan mengegolkan upaya parlemen Palestina selama bertahun-tahun mendapat pengakuan dan menjadi anggota penuh IPU.

Ketiga, bila bekerja serius dan cerdas, DPR bisa mengambil inisiatif ataupun mengegolkan resolusi-resolusi di forum-forum internasional yang lebih bersifat kemanusiaan, pendidikan, dan politik. Walaupun tak mengikat, berbagai resolusi ini mempunyai nilai partisipatif dalam berperan untuk ikut memikirkan penyelesaian berbagai permasalahan global.

DPR bukan BKPM

Tak ada dalam fungsi atau agenda DPR menawarkan investasi atau proyek kepada pengusaha asing di luar negeri layaknya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau kementerian lain. Inilah yang menjadi pertanyaan khalayak ketika pimpinan DPR beralasan pertemuan mereka dengan Donald Trump adalah dalam rangka mengajak sang pengusaha berinvestasi di Indonesia.

Pimpinan DPR seharusnya yang paling memahami batas-batas wewenang DPR agar tidak mengacaukan pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif. Berhubungan langsung dengan pengusaha atau individu asing yang punya kepentingan di Indonesia juga berisiko ditafsirkan sebagai penyalahgunaan wewenang.

Bila DPR berminat membantu mempromosikan Indonesia di luar negeri, yang paling tepat adalah dengan memperkenalkan sistem demokrasi kita yang secara umum bisa dibanggakan dan bisa menjadi contoh negeri-negeri yang belum sepenuhnya menerapkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan politiknya.

Studi banding dalam kunjungan luar negeri DPR yang sering jadi sorotan masyarakat sebaiknya dilakukan secara sangat selektif hanya dalam hal benar-benar ingin menyaksikan langsung proses dan output sebuah legislasi di negeri lain yang menyerupai RUU yang sedang dibahas di DPR.

Kegaduhan dan kelalaian program kunjungan anggota DPR baru-baru ini di AS janganlah sampai terulang lagi dan jadi pelajaran yang amat berharga bagi DPR dan kita semua. Hasil setiap kunjungan DPR ke luar negeri harus dilaporkan secara terbuka dandipertanggungjawabkan kepada rakyat pemilih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar