Diplomasi DPR
Abdillah Toha ; Anggota DPR 2004-2009; Ketua BKSAP
2005-2009;
Executive Vice President IPU
2006-2009
|
KOMPAS,
16 September 2015
Kunjungan Ketua DPR Setya
Novanto dan wakilnya Fadli Zon beserta rombongan baru-baru ini ke Amerika
Serikat menarik perhatian khalayak. Bukan saja karena besarnya rombongan dan
biaya yang ditanggung rakyat Rp 4,5 miliar lebih, melainkan juga kiprah
mereka di sana yang membawa nama terhormat lembaga demokrasi kita, Dewan
Perwakilan Rakyat.
Karena sudah banyak
dikomentari di media daring ataupun laring, tak perlu diulas panjang lagi di
sini bahwa jangankan anggota legislatif, pemerintah pun tak berhak campur
tangan dalam urusan negeri lain. Apalagi ikut memberi kesan mendukung parpol
atau politisi tertentu di negeri orang. Kemunculan Ketua dan Wakil Ketua DPR
di arena kampanye capres AS sudah melanggar etika dan sopan santun pergaulan
internasional. Apalagi nama bangsa ini dikesankan sebagai penyokong capres
tertentu. Apa semua itu bagian dari tugas diplomasi DPR? Jelas tidak.
Diplomasi sama sekali
bukan tugas utama DPR. Semua kita tahu fungsi utama DPR adalah membuat
undang-undang, mengesahkan anggaran, dan mengawasi pemerintah. Berdasarkan
UUD 1945, dalam hal yang berhubungan dengan luar negeri, DPR memberikan
pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan duta besar RI untuk negara
lain dan penerimaan duta besar negara lain untuk Indonesia serta mengesahkan
atau menolak perjanjian internasional yang dibuat oleh presiden.
Hubungan luar negeri DPR
Masalah yang sering
diidap DPR dalam alam demokrasi kita yang masih muda salah satunya adalah
kekurangpahaman anggota, termasuk pimpinannya, tentang jenis dan batas
kewenangan dan fungsi DPR. Khusus dalam hubungan luar negeri, apa yang sering
kurang dimengerti oleh anggota dan pimpinan DPR?
Pertama, DPR memang
tak dilarang membina hubungan luar negeri, tetapi pada dasarnya hubungan itu
dibatasi pada tingkat parlemen ke parlemen. Hubungan DPR dengan pihak
eksekutif negara lain selayaknya tak dilakukan tanpa koordinasi, bimbingan,
dan sepengetahuan kementerian luar negeri. Ini untuk menghindari terjadinya
dualisme diplomasi kita.
Kedua, kesepakatan apa
pun dalam bentuk perjanjian, memorandum
of understanding (MOU) atau dalam format lain antara DPR dan parlemen
atau pihak-pihak lain di luar negeri, bersifat tidak mengikat (non binding), baik kepada DPR maupun
pemerintah. Di sini termasuk juga segala macam resolusi-resolusi yang
disahkan dalam forum-forum antarparlemen.
Ketiga, DPR adalah
kumpulan dari fraksi-fraksi yang mewakili beragam partai politik. Karena itu,
dalam kunjungan ke luar negeri ataupun dalam kegiatan lain yang berhubungan
dengan luar negeri, delegasi DPR harus merepresentasikan setiap fraksi secara
proporsional.
Keempat, dalam
mengambil sikap atau posisi atas suatu permasalahan luar negeri, bisa saja
fraksi yang banyak itu mempunyai sikap yang beragam karena platform dan
ideologi yang berbeda-beda. Karena itu, sebelum sikap parlemen kita
ditentukan, lebih dahulu harus dibahas untuk mendapatkan konsensus bersama
semua fraksi. Inter-Parliamentary Union
(IPU), organisasi parlemen global sejenis PBB-nya parlemen yang berkantor
pusat di Geneva, Swiss, punya jalan keluar. Voting di forum IPU tak harus
seragam bagi setiap negara. Terhadap sebuah resolusi, setiap negara akan
mendapatkan alokasi sejumlah vote sesuai jumlah penduduknya dan suara yang
dimasukkan delegasi parlemen setiap negara boleh dibagi, umpamanya, 40 persen
setuju, 35 persen menolak, dan sisanya 25 persen abstain.
Dari pengalaman penulis,
baik sebagai anggota Komisi I yang mengawasi Kementerian Luar Negeri maupun
ketika beberapa kali memimpin delegasi Badan Kerja Sama Antar Parlemen
(BKSAP) DPR, berbagai kunjungan DPR ke luar negeri manfaatnya sangat
terbatas. Kalaupun ada yang bermanfaat, barangkali bisa dikatakan sebagai
berikut.
Pertama, bisa melihat
langsung prestasi dan kerja berbagai perwakilan kita di luar negeri dan
mendapatkan informasi mutakhir tentang hubungan kita dengan negara yang
bersangkutan.
Kedua, dalam forum-forum
bilateral, regional, ataupun multilateral parlemen, kita bisa menjalin
hubungan dengan anggota parlemen negeri lain,belajar dari pengalaman mereka,
dan dalam hal tertentu bisa melobi mereka untuk memperjuangkan kepentingan
nasional kita. Sebagai contoh, delegasi DPR pernah melobi Kongres Amerika
yang bersikerasmengembargo persenjataan Amerika kepada Indonesia untuk
melunakkan embargonya.
Dalam melaksanakan
amanat UUD 1945, DPR juga pernah berhasil melobi wakil-wakil parlemen dunia
di IPU dan mengegolkan upaya parlemen Palestina selama bertahun-tahun
mendapat pengakuan dan menjadi anggota penuh IPU.
Ketiga, bila bekerja
serius dan cerdas, DPR bisa mengambil inisiatif ataupun mengegolkan
resolusi-resolusi di forum-forum internasional yang lebih bersifat
kemanusiaan, pendidikan, dan politik. Walaupun tak mengikat, berbagai
resolusi ini mempunyai nilai partisipatif dalam berperan untuk ikut
memikirkan penyelesaian berbagai permasalahan global.
DPR bukan BKPM
Tak ada dalam fungsi
atau agenda DPR menawarkan investasi atau proyek kepada pengusaha asing di
luar negeri layaknya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau kementerian
lain. Inilah yang menjadi pertanyaan khalayak ketika pimpinan DPR beralasan
pertemuan mereka dengan Donald Trump adalah dalam rangka mengajak sang
pengusaha berinvestasi di Indonesia.
Pimpinan DPR
seharusnya yang paling memahami batas-batas wewenang DPR agar tidak
mengacaukan pemisahan fungsi legislatif dan eksekutif. Berhubungan langsung
dengan pengusaha atau individu asing yang punya kepentingan di Indonesia juga
berisiko ditafsirkan sebagai penyalahgunaan wewenang.
Bila DPR berminat
membantu mempromosikan Indonesia di luar negeri, yang paling tepat adalah
dengan memperkenalkan sistem demokrasi kita yang secara umum bisa dibanggakan
dan bisa menjadi contoh negeri-negeri yang belum sepenuhnya menerapkan
kedaulatan rakyat dalam kehidupan politiknya.
Studi banding dalam
kunjungan luar negeri DPR yang sering jadi sorotan masyarakat sebaiknya
dilakukan secara sangat selektif hanya dalam hal benar-benar ingin
menyaksikan langsung proses dan output sebuah legislasi di negeri lain yang
menyerupai RUU yang sedang dibahas di DPR.
Kegaduhan dan
kelalaian program kunjungan anggota DPR baru-baru ini di AS janganlah sampai
terulang lagi dan jadi pelajaran yang amat berharga bagi DPR dan kita semua.
Hasil setiap kunjungan DPR ke luar negeri harus dilaporkan secara terbuka
dandipertanggungjawabkan kepada rakyat pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar