Investor dan Pasar Politik DPR
Nyarwi Ahmad ; Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol,
UGM Yogyakarta
|
JAWA
POS, 17 September 2015
KEHADIRAN Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil
Ketua DPR Fadli Zon dalam konferensi pers Donald Trump terus menuai
kontroversi. Beda persepsi terhadap peristiwa tersebut sebenarnya bersumber
pada dua hal yang saling terkait. Pertama, kesalahpahaman dalam menafsirkan
peran dan fungsi parlemen dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua,
ketidakakuratan dalam mendefinisikan dan merespons apa yang disebut sebagai
”pasar politik” parlemen.
Fungsi, Disfungsi, dan
Malafungsi Parlemen
Dalam sistem demokrasi, parlemen merupakan
lembaga yang menjadi representasi rakyat. Mereka menyerap dan menyalurkan
aspirasi rakyat untuk kemudian bisa dijadikan landasan dalam perumusan dan
pengimplementasian kebijakan publik. Tujuan akhirnya adalah memberikan
manfaat nyata atas kebijakan tersebut (delivery)
kepada rakyat.
Dalam sistem parlementer, parpol (partai
politik) ataupun koalisi parpol yang mendapatkan kursi terbanyak di parlemen
pada umumnya secara otomatis menjadi partai penguasa (the ruling party) dan berhak menjalankan roda pemerintahan. Dalam
sistem yang seperti itu, parlemen, khusus yang berkuasa di pemerintahan, bisa
bertindak sebagai network-extracted
provider sekaligus service-delivery
provider. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, parlemen hanyalah
bertindak sebagai network-extracted
provider, namun tidak sebagai service-delivery
provider.
Dalam konteks Indonesia, peran, fungsi, dan
tanggung jawab DPR telah diatur dalam pasal 22A amandemen UUD 1945. Kemudian,
pasal 69–75 dan 79 UU No 17 Tahun 2014 secara normatif juga telah menjelaskan
apa saja yang menjadi fungsi, wewenang, tugas pokok, dan hak yang dimiliki
DPR sebagai lembaga negara.
Selanjutnya, pasal 80-81 menjelaskan apa saja
yang menjadi hak dan kewajiban anggota DPR. Sementara itu, pasal 86 mengatur
tugas pimpinan DPR dan pasal 87-88 mengatur pemberhentian pimpinan DPR.
Secara spesifik, pasal 87 ayat 2 telah memuat
dalam kondisi apa saja pimpinan DPR dapat diberhentikan. Termasuk ketika
melakukan pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan dan kode etik (ayat 2b).
Meski memberikan acuan yang cukup jelas,
konstitusi dan UU yang ada tampak belum sepenuhnya memberikan dasar
pengaturan yang memadai atas kemungkinan penyalahgunaan fungsi, wewenang,
tugas, dan hak yang dimiliki pimpinan dan anggota DPR.
Adanya jaminan hak imunitas semestinya
dibarengi dengan regulasi yang bersifat mengikat atas hal tersebut. Di tengah
celah regulasi itu, pendefinisian dan pengaturan atas apa saja dan siapa saja
yang menjadi ”pasar politik” DPR dan seberapa jauh DPR harus atau dapat
menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan haknya dalam berelasi dan mengelola
”pasar politik” tersebut juga belum sepenuhnya diatur dalam UU.
Investor sebagai Pasar
Politik?
Dalam perspektif marketing politik, parlemen
tidak hanya sebuah pasar politik bagi parpol dan anggota parpol yang terpilih
dalam pemilu. Parlemen juga berhadapan dengan pasar politik eksternal, baik
yang ada dalam lingkungan domestik maupun internasional.
Sejarah dari masing-masing parlemen di setiap
negaralah yang kemudian menentukan seberapa jauh parlemen tumbuh menjadi
sebuah pasar politik dan dapat dan/atau harus menjalankan peran dan fungsinya
ketika berhadapan dengan pasar politik eksternal tersebut.
Di sebuah negara seperti Amerika Serikat, di
mana isu-isu dan kondisi politik
internasional menentukan dan berpengaruh
terhadap proses politik nasional, sudah terdapat tradisi panjang untuk selalu
memberikan perhatian besar pada pasar politik dunia. Di Indonesia, tradisi
itu belum berkembang.
Dengan karakter politik inward-looking, mayoritas isu yang relevan, mengemuka, dan
menjadi pembahasan di DPR RI –sebagaimana juga di lembaga eksekutif– adalah
isu politik domestik, baik lokal maupun internasional. Karena itu, isu-isu
strategis seperti nation-branding
dan strategi menarik investasi global belum sepenuhnya menjadi pembahasan
yang sangat penting di DPR.
Mengingat perkembangan kondisi dan struktur
ekonomi-politik global saat ini, memang sudah saatnya DPR mulai memikirkan
isu-isu tersebut. Namun, langkah Ketua DPR Setya Novanto dengan melakukan
pertemuan dan lobi secara langsung kepada Trump, seorang calon presiden dari
Partai Republik pada Pemilu 2016, yang diasumsikan sebagai sosok investor
penting bagi Indonesia adalah sangat tidak tepat.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, akan
lebih tepat jika upaya mendatangkan investor dan menarik investor tersebut
dilakukan melalui peran dan fungsi legislasi, bujeting, dan pengawasan yang
dimiliki DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar