Teknologi Uber yang ”Diuber-uber”
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 September 2015
”Dalam teknologi, apa
yang bisa dilakukan akan dilakukan”, tulis Andrew S Grove, mantan CEO Intel
Corp dalam bukunya, Only the Paranoid
Survive (1996). Yang tidak diprediksi pria Hongaria yang terlahir bernama
András István Gróf dan sukses memimpin produsen semikonduktor terbesar di
dunia ini adalah teknologi mengubah keseluruhan lanskap geo-ekonomi di mana
pun di dunia, termasuk di Indonesia.
Yang menarik dari
kemajuan teknologi komunikasi informasi (ICT), keseluruhan lanskap
geo-ekonomi juga mengubah tata kelola ekonomi dan bisnis tradisional. Ini
yang terjadi di dunia transportasi di seluruh dunia, termasuk di kawasan
Asia, melalui perkembangan apa yang disebut sebagai ridesharing atau berbagi kendaraan untuk bergerak dari satu titik
ke titik lain.
Kota dunia saat ini
dilanda fenomena yang tidak terpikirkan oleh Groove, berupa kehadiran
aplikasi teknologi perangkat lunak terintegrasi. Integrasi tak hanya dengan
pengguna, tetapi juga dengan berbagai lingkungan ekonomi, bisnis, bahkan pada
tingkat tertentu lingkungan politik yang mampu mengubah tatanan geopolitik
secara nasional, regional, ataupun global.
Aplikasi di perangkat
telepon cerdas, seperti GoJek, Uber, Lyft, GrabTaxi, Didi Kuadi (China),
GrabBike, dan aplikasi ridesharing lainnya, menjadi fenomena yang
meluluhlantakkan batas-batas geografi, tatanan ekonomi, dan bisnis. Bahkan
mengancam pertumbuhan industri otomotif yang masih menjadi primadona
pertumbuhan di banyak negara Asia.
Kehadiran aplikasi
perangkat lunak menjadi teknologi disruptif, mengacaukan rumusan ekonomi dan
bisnis tradisional, menjadi bentuk baru yang tidak mudah dimengerti secara
awam. Dari London, Berlin, New York, Singapura, Taipei, Jakarta, dan lainnya,
aplikasi Uber, misalnya, dikejar-kejar dan dihujat tidak hanya oleh para
sopir taksi. Penguasa yang menjadi regulator mengatur tata kelola
transportasi nasional di tiap wilayah geografi politiknya juga kerepotan.
Di banyak kota dunia,
khususnya negara-negara Eropa dan Amerika Utara, sopir taksi telah lama
dipandang sebagai operasi berbentuk kartel yang paling mengagumkan. Mereka
dengan galak membela hak bersejarah menyediakan taksi berlisensi kepada
publik. Dan hak sejarah ini direbut oleh aplikasi yang menciptakan fenomena
baru permintaan dan pasokan yang menghadirkan rumusan ekonomi yang
terbarukan.
Kita melihat fenomena
teknologi disruptif, khususnya terhadap industri transportasi, setidaknya
memiliki beberapa faktor. Pertama, tersedianya telepon cerdas secara murah di
berbagai pelosok kawasan, khususnya di Asia. Berbagai strata masyarakat di
mana pun sekarang menganggap telepon cerdas berbasis teknologi apa pun mudah
didapat dan menjadi perangkat penting dalam menyokong perbaikan status
ekonomi, ke luar dari tradisi lama yang mampu menghadirkan sebuah model
penghasilan yang sama sekali baru.
Kedua, pertumbuhan
internet, terutama mobile internet, di kawasan Asia dengan populasi sekitar
600 juta orang memungkinkan perusahaan-perusahaan di bidang ridesharing
menerobos industri-industri yang terfragmentasi secara tajam seperti
perusahaan taksi. Bahkan, di kota dengan kemajuan teknologi canggih seperti
Singapura, misalnya, pra-pesan kendaraan taksi hanya mencatat 6 persen. Di
wilayah lainnya menjadi lebih rendah, termasuk Jakarta, dibanding dengan kota
seperti Shanghai (24 persen) atau Tokyo (28 persen).
John Zimmer, pendiri
usaha ridesharing Lyft, memperkirakan pasar usaha melalui teknologi disruptif
ini akan mencapai 1 triliun dollar AS. Uber sebagai pelopor bisnis
ridesharing sekarang memiliki valuasi sekitar 18 miliar dollar AS. Apa yang
dilakukan Uber, Lyft, GrabTaxi, dan lainnya sama dengan apa yang dilakukan
Amazon dan eBay terhadap penjualan buku ataupun bisnis lelang pada umumnya.
Keunggulannya adalah
teknologi yang berkali-kali membuktikan menjadi disruptif terhadap industri
tradisional, termasuk surat kabar. Dan, industri taksi tampaknya harus
mengubah regulasinya untuk kepentingan penumpang, bukan pengemudi.
Penguasa pun harus
cermat menghadapi perubahan drastis yang bisa menggoyang keseimbangan
geopolitik masa depan. Sekarang industri taksi, dan sebentar lagi industri
otomotif, ketika memiliki kendaraan sudah tidak lagi menjadi kebutuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar