Jumat, 18 September 2015

Menyoal Lemahnya Penyerapan Anggaran

Menyoal Lemahnya Penyerapan Anggaran

Jazilul Fawaid  ;  Wakil Ketua Banggar DPR
                                                    JAWA POS, 14 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SUDAH hampir genap setahun Presiden Jokowi menjadi nakhoda republik ini. Namun, di masa kepemimpinannya, bangsa ini masih menghadapi banyak persoalan. Yang sangat mencolok tentu saja soal lemah dan lesunya sektor perekonomian nasional.

Berdasar laporan dan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), penyerapan anggaran belanja pemerintah selama semester I 2015 hanya Rp 773,9 triliun. Angka itu sesungguhnya meningkat dibandingkan tahun 2014 yang hanya Rp 759,9 triliun. Tapi, diperkirakan signifikansi peningkatan penyerapan belanja pemerintah tahun ini hanya 1,8 persen.

Jika melihat total alokasi APBNP 2015 yang mencapai Rp 1.984,4 triliun, bisa dipastikan daya serap dan daya belanja pemerintah sangat lemah. Daya serap pemerintah hanya berada di kisaran 39 persen.

Dalam sebuah kesempatan di hadapan para pejabat daerah di seluruh Indonesia, Presiden Jokowi pernah mengatakan, ’’Kita ini ada duit, kementerian ada duit, BUMN ada duit, daerah ada duit. Tinggal membelanjakan uang itu, tapi mengapa tidak bisa cepat?’’

Pertanyaan, atau lebih tepatnya gugatan, itu sesungguhnya tamparan tajam kepada para birokrat. Bahwa lemahnya daya serap anggaran ternyata menjadi problem utama mandeknya perekonomian bangsa.

Penyerapan anggaran sesungguhnya penting untuk mendorong multiplier effect terhadap kerja birokrasi dan perekonomian. Di sisi lain, oposisi biner dari keadaan ini adalah, jika pemerintah gagal menyerap anggaran, perekonomian akan lesu. Logikanya, berarti ada dana dan uang yang nganggur di sana.

Dalam bahasa yang lebih ringkas, gejala tersebut biasa disebut sebagai inefisiensi anggaran. Itu berdampak langsung pada lesunya nadi aktivitas perekonomian. Daya beli masyarakat melemah, investasi domestik maupun asing juga menurun. Ujung-ujungnya tentu saja perekonomian semakin lesu dan memburuk sebagaimana yang sedang kita alami hari ini.

Empat Penyebab

Ihwal lemahnya daya serap anggaran ini, saya mencatat sekurangkurangnya ada empat masalah klise yang menjadi penyebabnya. Pertama, ketakutan yang berlebihan akan penggunaan anggaran.

Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Sebab, di tengah semakin maraknya kasus pejabat pengguna anggaran yang tersangkut korupsi, isu tersebut seolah menjadi momok bagi para pejabat pengguna kuasa anggaran untuk tidak saja berhati-hati, tapi juga cenderung ’’menahan diri’’ untuk lebih baik tidak berbelanja daripada kelak berurusan dengan penegak hukum.

Kedua, kurang sempurnanya konsep dan perencanaan pembelanjaan anggaran. Akibatnya, para pengguna anggaran menjalankan pelbagai program dengan cara sporadis dan serampangan tanpa road map yang jelas. Biasanya, pada instansi yang memiliki problem seperti ini, yang mereka jalankan sebatas rutinitas dan tradisi program yang berlangsung sebelumnya.

Ketiga, kurangnya pemahaman tentang mekanisme penggunaan anggaran. Ini 
membuat para pengguna kuasa anggaran sering tersangkut hal-hal teknis yang sifatnya berhubungan dengan tata laksana dan regulasi anggaran.

Sebut saja tentang lemahnya pembuatan laporan. Jika dikaji lebih jauh, hal itu sesungguhnya akan berdampak langsung pada mata rantai lemahnya penyerapan anggaran.

Keempat, pendeknya tahun anggaran untuk mengeksekusi sebuah proyek yang memiliki jangkau waktu lebih dari setahun. Penyebab yang keempat ini sesungguhnya hanya terjadi pada proyek-proyek yang berskala mega. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa tidak akuratnya pola ukuran waktu tahun anggaran dengan kualitas proyek kerap kali mengakibatkan mandeknya sebuah program.

Kita paham bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik tidak terlepas dari topangan 
banyak faktor. Di antaranya, APBN, APBD, BUMN, serta investasi pihak swasta. Dengan kata lain, pergerakan belanja berbagai unsur di atas, termasuk belanja investasi swasta di negeri ini, secara langsung akan berdampak pada pergerakan ekonomi. Sebaliknya, mandeknya belanja berbagai institusi di atas akan menjadi penyebab dominan mandeknya perekonomian bangsa.

Pada posisi seperti ini, tidak ada langkah yang lebih bijak dari pemerintah selain mengambil langkah-langkah konkret untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, pemerintah sudah sepatutnya mengeluarkan kebijakan dalam rangka menggenjot pertumbuhan ekonomi yang sedang lesu darah ini.

Karena itu, saya termasuk yang turut berbahagia menyambut diputuskannya paket kebijakan ekonomi yang dibacakan Presiden Jokowi (9/9). Setidaknya, itu merupakan ikhtiar pemerintah dalam merespons kondisi perekonomian bangsa yang kian hari kian terpuruk saja.

Di luar itu, yang penting untuk diingat sekaligus dijadikan pedoman pemerintah setiap kali mengambil kebijakan adalah bahwa segala keputusan pemerintahan harus bermuara pada kemaslahatan rakyat. Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan, tashorruful imam ala arroiyyah manuthun bil maslahah, kebijakan seorang pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar