Jumat, 18 September 2015

Bon Jovi dan Politik Transnasional

Bon Jovi dan Politik Transnasional

Ali Maksum  ;  PhD candidate,
Centre for Policy Research and International Studies USM, Malaysia
                                                    JAWA POS, 12 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENCINTA musik rock Indonesia tadi malam dihibur band legendaris Bon Jovi. Bagi band asal New Jersey, Amerika Serikat, itu, pergelaran kali ini merupakan yang kedua setelah 20 tahun tidak menyapa fans mereka di sini.

Kedatangan Bon Jovi disambut antusiasme yang sangat tinggi. Terbukti, tiket masuk yang dibanderol Rp 500 ribu hingga Rp 3,5 juta ludes terjual. Bagi manajemen band yang dikomandani Jon Bon Jovi itu, konser di Jakarta sangat bermakna. Mengingat, rencana sebelumnya untuk manggung di Beijing, Tiongkok, secara mendadak dibatalkan.

Kegagalan Bon Jovi manggung di Beijing tidak lepas dari pertimbangan pemerintah Tiongkok bahwa band tersebut ternyata memiliki simpati politik dengan pemimpin Tibet, Dalai Lama. Namun, Bon Jovi tidak sendirian karena rekan senegaranya, band Maroon 5, yang sedianya menggelar konser pada Juli 2015 tiba-tiba tidak mendapat izin dari otoritas setempat. Ternyata alasannya sama. Yaitu, pemerintah Tiongkok tidak suka karena Maroon 5 secara personal pernah melakukan pertemuan dengan Dalai Lama.

Isu keterkaitan antara musisi musik dan sentimen politik, tampaknya, sudah menjadi hal yang lumrah. Sebab, bukan rahasia lagi, sebagian pemusik juga mempunyai sentimen dan kecenderungan ideologi politik tertentu.

Di Indonesia, sudah banyak musisi yang secara terang-terangan menunjukkan identitas politik mereka. Misalnya, selama pemilihan presiden tahun lalu sebagaimana yang ditunjukkan grup papan atas Slank dan musisi Ahmad Dhani.

Jon Bon Jovi ternyata adalah pendukung Partai Demokrat, AS, bahkan diangkat menjadi anggota The White House Council for Community Solutions, sebuah badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Barack Obama.
Korelasinya, gerak dan langkah dia, selain sebagai musisi, tentu juga membawa agenda politik sebagai konsekuensi anggota partai. Hal tersebut secara tidak langsung berdampak pada munculnya sentimen politik di setiap agenda konsernya.

Karena itu, sangat wajar jika ada pihak-pihak, termasuk pemerintah Tiongkok, yang mencurigai Bon Jovi berstandar ganda terkait dengan isu dukungan politik kepada Dalai Lama.

Lalu, bagaimana melihat konser Bon Jovi dan aktor politik internasional lain? Mengapa hal demikian bisa terjadi, walaupun tidak mem bawa agenda politik secara langsung?

Pertama, adanya transformasi politik internasional pasca Perang Dingin. Pasca Perang Dingin 1991, terjadi sebuah perubahan besar, yakni isu komunis-kapitalis mulai tidak relevan lagi.

Sebagai gantinya, muncul isu-isu terkait dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan isu tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance). Dampaknya, aktor-aktor selain negara ( non-state actors) seperti pebisnis, LSM, dan musisi bisa membawa implikasi politik lintas batas. Bahkan, para aktor nonnegara tersebut mampu menekan sebuah negara. Misalnya, Green Peace (LSM peduli bumi dan alam) serta Human Rights Watch (LSM peduli hak asasi manusia).

Kedua, pasca Perang Dingin dan seiring dengan berkembangnya teknologi, lahir apa yang disebut Robert Keohane dan Joseph Nye dalam bukunya, Power and Interdependence, sebagai ’’ complex interdependence’’ atau saling ketergantungan yang kompeks. Dampaknya, muncul banyak saluran atau ’’ multiple channels’’ yang membuat hubungan internasional semakin longgar dan tidak selalu didominasi negara. Aktor politik internasional –bisa saja perorangan dan organisasi, media massa, termasuk musisi– bisa bergerak secara bebas tanpa terkekang garis perbatasan sebuah negara (transnasional).

Ketiga, dampak lanjut gerakan transnasional memang sangat menyulitkan banyak negara. Fenomena terorisme juga masuk dalam kategori itu. Aktor-aktor intelektualnya tersebar dan mempunyai banyak jaringan di berbagai negara. Misalnya, Al Qaeda, Jamaah Islamiah ( JI), dan yang terbaru Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS) yang juga mempunyai jaringan luas di seluruh dunia dan sangat merepotkan.

Namun, di sisi lain, berbagai LSM, baik berskala nasional maupun internasional, dengan berbagai agenda sosial-budayanya ternyata juga membawa agenda politik tersembunyi.

Akhirnya, berkaca pada kegagalan konser Bon Jovi di Tiongkok, apakah kehadirannya di Indonesia bisa dibaca sebagai membawa agenda tertentu? Yang pasti, konser Bon Jovi akan memberikan dampak secara ekonomi, terutama sektor pariwisata.

Belum lagi, terobatinya rasa rindu fans Bon Jovi Indonesia dengan lagu-lagu andalan mereka seperti Keep the Faith dan Always. Juga, kegairahan pada dunia musik tanah air. Tapi, tidak lebih dari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar