Jumat, 18 September 2015

Menggantang Asap

Menggantang Asap

Suhardi Suryadi  ;  Direktur Program Prisma Resource Centre
                                                     KOMPAS, 17 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bagi ilmuwan, kebakaran hutan adalah hantu lingkungan karena telah menurunkankesuburan tanah, mengancam biodiversitas, mengurangi aset hutan, hingga meningkatkan pemanasan global.

Menurut FAO, kebakaran hutan terjadi hampir di 95 negara, mencakup 500 juta hektar setiap tahun. Di samping oleh faktor alam, hutan terbakar juga dipicu aktivitas pertanian manusia. Pembakaran adalah teknik paling tua, berbiaya murah, dan efektif dalam pembersihan lahan yang dipakai ribuan petani, peternak, dan pemilik perkebunan.

Indonesia merupakan satu dari 10 negara yang paling sering dilanda kebakaran dan cenderung meningkat intensitas dan lokasinya. Menurut World Resource Institute (WRI), kebakaran hutan di Provinsi Riau masuk kategori pola besar dan salah satu peristiwa kebakaran dengan rekor terburuk sejak 2001. Demikian pula yang terjadi di Jambi dengan luas lahan gambut yang terbakar sangat cepat 33.000 hektar dalam kurun dua pekan (Kompas, 9 September 2015).

Sekalipun melanda banyak negara, dalam perspektif politik, peristiwa kebakaran hutan selama ini menggambarkan ketakmampuan Indonesia di dunia internasional mengatasi kebakaran yang terus berulang, terutama di Sumatera.Melihat data historis dari 2001 sampai 2012, Sumatera mengalami rata-rata 20.000 peringatan titik api setiap tahun. Peringatan titik api biasanya muncul Juni hingga September (WRI, 26 Juni 2013) dan kabut asap yang ditimbulkannya mengganggu masyarakat lokal dan tetangga, Singapura dan Malaysia.

Kambing hitam

Kebakaran hutan merupakan persoalan serius dalam konteks pembangunan di Indonesia. Penyebabnya sering terkait dengan pembersihan lahan perkebunan dengan komoditas utama kelapa sawit, industri kayu, dan kertas. Data WRI 2014 mencatat bahwa titik api sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan terjadi di perkebunan HTI (22 persen), sawit (13 persen), areal HPH (3 persen), dan 63 persen di luar wilayah konsesi.

Tak termungkiri, masyarakat dan perusahaan berandil besar atas setiap kebakaran hutan. Namun, tak adil jika pemerintah cu- ci tangan atas hal ini. Berulangnya kebakaran hutan dengan pola lebih masif tak lepas dari cara penanganan dan pengendalian pemerintah.

Langkah pemadaman kebakaran terkesan reaksioner karena umumnya dilakukanketika titik api sudah membesar dan meluas. Terlebih lagi teknis operasinya mengandalkan penyemprotan air dari udara yang kurang efisien dari sisi sumber daya dan tak relevan dalam situasi krisis air. Ini diperburuk dengan lemahnya penegakan hukum terhadap masyarakat lokal dan perusahaan yang membakar hutan.

Sebagai contoh, meski sudah dapat ditentukan ukuran kebakaran dan di mana lokasinya, pe- merintah acap gagap dan gagal memublikasikan di mana perusa- haan sawit, kertas, dan kayu yang melakukan pembakaran. Ini memberi kesan pemerintah tak sungguh-sungguh mencegahnya dengan beberapa indikasi.

Pertama, penyediaan anggaran yang tak memadai untuk membangun sistem pencegahan kebakaran agar tak meluas. Misal saja, untuk kebakaran 1997/1998 dana yang disediakan Rp 400 miliar (termasuk bantuan luar negeri) untuk mengatasi 8 juta hektar areal yang terbakar atau Rp 50.000 per hektar (Coachrane, 2003).

Kedua, kebijakan paradoks: pemerintah membangun konstruksi untuk melindungi banjir di perkotaan dan pertanian, tapi kurang memberi perhatian pembangunan infrastruktur penyedia air pada musim kering di wilayah rawan kebakaran. Paradoks lain juga terlihat dari kesungguhan menangani kebakaran di satu sisi, tetapi di sisi lain tak dibarengi dengan pembatasan izin perluasan perkebunan sawit yang jadi sumber kebakaran.

Ketiga, pelibatan masyarakatyang rendah dalam pencegahan dan pemadaman kebakaran sehingga warga apatis dan beranggapan pemadaman kebakaran hutan urusan pemerintah. Bahkan, tokoh masyarakat formal ataupun informal cenderung meninggalkan lokasi tatkala kebakaran. Kalaupun melibatkan masyarakat, misalnya dengan membentuk Masyarakat Pengendalian Kebakaran, itu lebih legal formal, tak dibangun berdasarkan kebutuhan dan sistem yang berlaku di masyarakat.

Kebakaran hutan dewasa ini sudah pada tahap krisis. Kerugian ekonomi nyata dan tidak akibat kebakaran hutan sekitar 3.509 juta dollar AS (ISAS Study 1998). Kondisi hutan sebagai sumber produksi dan perlindungan kualitas air, kelangsungan nasib hewan liar, serta sumber nafkah dan kesehatan masyarakat akan bergantung pada kemampuan aparat memastikan jalannya penegakan hukum, koordinasi yang lebih baik di antara institusi pemerintah, serta tanggung jawab perusahaan dalam mengelola usahanya.

Namun, hal terpenting adalah menjamin kemakmuran masyarakat di wilayah kebakaran karena tingkat kemiskinan yang tinggi, terutama di daerah lahan gambut. Dengan perbaikan kesejahteraan, masyarakat kelak jadi garda terdepan dalam mencegah dan memadamkan kebakaran. Sebaliknya, tanpa perbaikan sumber nafkah dan pelayanan sosial bagi warga, kesenjangan pendapatan melebar sekaligus meningkatkan risiko kebakaran.

Kunjungan presiden ke lokasi kebakaran hanyalah seremoni jika tanpa diikuti langkah kebijakan nyata dalam penanganan kebakaran hutan. Sebagai forester, presiden cukup paham bagaimana mengatasi krisis ini. Jika tidak, itu akan membuatIndonesia selamanya memproduksi asap bagi warganya sendiri dan warga negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar