Kamis, 03 Desember 2015

Lobi Pemerintah Asing di AS

Lobi Pemerintah Asing di AS

Shohib Masykur  ;  Kandidat Master di School of Foreign Service
Georgetown University, Amerika Serikat
                                                      KOMPAS, 02 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat menyisakan polemik dengan adanya tudingan bahwa Pemerintah RI menggelontorkan dana 80.000 dollar AS untuk menyewa jasa pelobi guna memuluskan pertemuan Jokowi dengan Obama. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi membantah isu tersebut dan menegaskan bahwa pemerintah tidak menggunakan jasa pelobi. Terlepas dari polemik yang berkembang, penggunaan jasa pelobi oleh pemerintah asing di AS merupakan hal yang lazim dilakukan.

Industri besar

Jasa lobi adalah industri besar di AS. Hampir semua kelompok kepentingan menggunakan jasa pelobi untuk memperjuangkan kepentingan mereka, mulai dari pramuka hingga perusahaan kelas kakap, seperti Apple. Tahun 2015, diperkirakan jumlah kelompok lobi di AS mencapai 14.000 kelompok. Jasa lobi merupakan sektor industri terbesar ketiga di Washington DC setelah pemerintahan dan pariwisata dengan nilai 9 miliar dollar AS per tahun dan melibatkan 100.000 pekerja.

Sasaran lobi paling umum adalah anggota Kongres karena mereka mampu memengaruhi kebijakan secara efektif. Selain itu, banyak anggota Kongres yang beralih profesi jadi pelobi setelah masa jabatan mereka berakhir dengan memanfaatkan akses dan jaringan yang mereka miliki. Lembaga eksekutif juga tak lepas dari pengaruh lobi, tetapi kadarnya di bawah Kongres karena mereka lebih dibatasi oleh aturan. Sasaran lobi yang lain adalah jurnalis dan penulis yang mampu memengaruhi opini publik.

Perkembangan industri lobi di AS sudah sedemikian rupa sehingga melibatkan penggunaan berbagai ilmu dan keterampilan, yang paling penting antara lain statistik. Pelobi melakukan analisis rumit atas para anggota Kongres, seperti catatan voting dan pernyataan publik, dan dari situ merumuskan strategi lobi yang paling efektif untuk mereka.

Meski bisnisnya terkait kasak-kusuk, industri lobi di AS bersifat terbuka. Foreign Agents Registration Act (FARA) yang dibuat tahun 1938 mengatur bahwa perusahaan pelobi yang bekerja untuk klien asing harus terbuka kepada publik dengan melaporkan operasinya ke Departemen Kehakiman.

Dalam sejarahnya, FARA didesain untuk mencegah propaganda Nazi di era Perang Dunia II yang banyak dilakukan lewat pelobi dan karena itu aturan untuk klien asing dibuat jauh lebih ketat ketimbang klien domestik. Tahun 1995 dibuat aturan lain, yaitu Lobbying Disclosure Act, yang mengatur hal-hal apa saja yang harus dibuka kepada publik. Karena adanya aturan itu, perusahaan lobi secara terbuka menyampaikan kepada publik informasi mengenai siapa klien mereka, siapa yang mereka lobi, dan apa tujuan lobinya.

Tak mudah ditembus

Penggunaan jasa pelobi di AS tidak hanya dilakukan oleh kelompok kepentingan dalam negeri, tetapi juga oleh pemerintah asing. Sunlight Foundation mencatat bahwa pada 2013 tak kurang dari 80 negara menggelontorkan jutaan dollar AS untuk menyewa jasa pelobi di AS. Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara penggelontor dana terbesar dengan 14,2 juta dollar AS, dilanjutkan Jerman dengan 12 juta dollar AS dan Kanada dengan 11,2 juta dollar AS. India dan Tiongkok, dua negara berkembang yang sedang naik daun, berada di posisi ke-17 dan ke-20 dengan gelontoran dana 1,5 juta dollar AS dan 1,4 juta dollar AS. Negara-negara yang tidak tergolong kaya, seperti Ekuador, pun menghabiskan lebih dari 1 juta dollar AS untuk melobi AS.

Negara asing tetap menggunakan jasa pelobi meski mereka telah memiliki kedutaan besar di AS dan mempekerjakan para diplomat di sana. Hal ini lantaran Kongres AS tak mudah ditembus oleh diplomat.

Pertama, ada begitu banyak isu dan kelompok kepentingan yang berebut untuk mendapatkan perhatian Kongres sehingga hampir mustahil menjangkau mereka tanpa bantuan pelobi. Kedua, keberadaan diplomat asing di AS bersifat sementara karena penugasan mereka dirotasi secara periodik ke sejumlah negara sehingga pengenalan mereka terhadap medan politik AS tidak akan secanggih pelobi yang memang berpengalaman.

Karena kesulitan itu, banyak negara tak segan-segan menggelontorkan dana besar agar dapat memperoleh akses kepada para penentu kebijakan AS dan memengaruhi kebijakannya demi kepentingan nasional mereka. Hal itu, misalnya, dilakukan UEA pada 2013 dengan menyewa dua perusahaan lobi besar, Akin Gump dan Camstoll Group, untuk melakukan lobi terkait ”isu dana terlarang”. Sementara Kanada di tahun yang sama melobi Kongres AS untuk mengegolkan pembangunan jalur pipa Keystone XL yang menghubungkan jalur minyak Kanada dan AS.

Mengingat lazimnya penggunaan jasa pelobi untuk memperjuangkan kepentingan negara asing di AS, isu penggunaan jasa pelobi oleh Pemerintah RI sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Seandainya isu itu benar, Indonesia hanya melakukan praktik yang sudah biasa terjadi di Washington DC. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Versi Barat- nya, ketika di Roma, berperilakulah seperti orang Roma. Demi kepentingan nasional, hal itu sah-sah saja dilakukan. Bahkan, angka 80.000 dolar AS amatlah kecil dibandingkan dana yang digelontorkan negara-negara lain yang tidak sekaya Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar