Membalik Arah Pesimisme
Junanto Herdiawan ;
Deputi Direktur Departemen Komunikasi
Bank Indonesia
|
KOMPAS,
02 Desember 2015
Satu hal yang belum
tampak signifikan dari pelaku ekonomi Indonesia saat ini adalah sikap
optimistis. Ekonomi dunia yang lesu, pertumbuhan domestik yang lemah, ekspor
yang turun, dan tekanan nilai tukar rupiah, jadi beberapa alasan munculnya
pesimisme.
Kita kemudian terjebak
dalam lingkaran yang tak berujung karena sikap pesimistis tadi justru memicu
terwujudnya keyakinan diri. Bila pelaku ekonomi pesimistis dalam memandang
masa depan, ia akan menunda investasi dan belanjanya, kegiatan usaha
dikurangi, aktivitas konsumsi turun, penghasilan berkurang, daya beli rendah,
dan seterusnya. Pada akhirnya masyarakat jadi semakin pesimistis dan membawa
kita pada kerugian lebih besar.
Hasil survei yang
dilakukan Bank Indonesia menunjukkan, indeks keyakinan konsumen (IKK) masih
belum kembali seperti pada awal 2015. IKK pada Oktober 2015 berada di bawah
level optimistis, atau sebesar 99,3 poin, lebih rendah daripada posisi awal
tahun sebesar 122 poin. Sementara IKK terhadap kondisi ekonomi juga turun
menjadi 88 poin, dibandingkan awal tahun sebesar 110 poin.
Harus kita akui tidak
semua indikator makroekonomi saat ini berpihak kepada kita. Di sisi global,
dunia masih gamang menunggu langkah Bank Sentral AS menaikkan suku bunga
kebijakannya. Sementaraekonomi Tiongkok terus melemah, yang berdampak pada
ekonomi negara- negara mitra dagang Tiongkok, termasuk Indonesia.
Di sisi domestik,kita
masih menghadapi permasalahan struktural. Kinerja ekspor yang menurun telah
berdampak pada terus defisitnya neraca transaksi berjalansejak akhir 2011.
Hal tersebut menyebabkan ekonomi Indonesia masih tumbuh lambat. Apabila
dilihat secara geografis, pelambatan signifikan terlihat pada hampir seluruh
wilayah, terutama di Kalimantan dan Sumatera, dipicu turunnya harga komoditas
serta bencana asap.
Kita juga melihat
terjadinya penurunan arus modal yang masuk ke Indonesia. Surplus transaksi
modal dan finansial menunjukkan gejala penurunan. Defisit transaksi berjalan,
ditambah turunnya arus modal, menyebabkan kondisi pasar valuta asing (valas)
kelebihan permintaan. Di pasar valas, pasokan berkurang, sementara permintaan
relatif tetap bahkan meningkat. Ini menyebabkan nilai tukar rupiah saat ini
masih relatif tertekan.
Di sisi lain, kita
juga perlu mencermati beberapa permasalahan di dalam negeri, seperti
ketergantungan pada ekspor sumber daya alam, utang luar negeri swasta yang
relatif tinggi, dan masih banyaknya penggunaan valas untuk transaksi barang
di dalam negeri. Pertanyaannya kemudian, seberapa optimistis kita pada masa
depan ekonomi Indonesia? Tentu saja sikap optimistik atau pesimistik adalah
pilihan. Namun, dibandingkan dengan negara berkembang lain, seperti Turki,
Afrika Selatan, Brasil, dan Rusia, kita dapat memupuk optimisme karena
pertumbuhan ekonomi Indonesia masih yang paling tinggi.
Kebijakan pemerintah,
hingga enam paket, berusaha menyelesaikan masalah mendasar, seperti
percepatan pembangunan infrastruktur, perluasan kesempatan kerja, dan
meningkatkan daya beli masyarakat. Respons positif jangka pendek adalah mulai
berbaliknya tren pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 ke arah lebih positif,
jadi 4,73 persen dibandingkan triwulan sebelumnya (4,67 persen). Bila tren
ini dapat berlanjut ke triwulan IV-2015 dan 2016, kita akan menyaksikan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat.
Kebijakan melonggar
Di sisi kebijakan
moneter, respons yang ditempuh BI turut mendukung tren penguatan ekonomi dengan
tetap mempertimbangkan stabilitas sebagai elemen yang harus dijaga agar
perekonomian dapat berjalan baik.
Dalam Rapat Dewan
Gubernur BI, November 2015, BI mulai melonggarkan kebijakan moneternya
melalui penurunan giro wajib minimum (GWM) primer. Mengapa tidak dilakukan
melalui penurunan suku bunga kebijakan atau BI Rate? Risiko perekonomian yang
masih tinggi, terutama dari sisi global, merupakan pertimbangan utama yang
menjadi dasar keputusan saat ini.
Dari sisi operasional,
selain menggunakan suku bunga, GWM primer adalah salah satu instrumen moneter
yang lazim digunakan bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. GWM
adalah jumlah simpanan minimum perbankan yang wajib disimpan di bank sentral.
Besarannya ditentukan berdasarkan rasio terhadap dana pihak ketiga yang
dimiliki bank. Apabila GWM diturunkan, akan terjadi penambahan dana atau
likuiditas di sektor perbankan. Tambahan likuiditas tersebut diharapkan dapat
memengaruhi suku bunga bank maupun kapasitas bank dalam menyalurkan kredit.
Bank Sentral Tiongkok
(PBoC) adalah contoh bank sentral yang secara aktif menggunakan kombinasi GWM
dan suku bunga dalam kebijakan moneternya. Untuk mendorong perekonomiannya,
PBoC pada 2015 bahkan telah menurunkan rasio GWM sebanyak empat kali.
Kombinasi paket
pemerintah dan langkah pelonggaran kebijakan moneter BI tersebut adalah awal
yang baik dalam membentuk optimisme pelaku pasar.Namun, kebijakan ekonomi,
sebagaimana ilmu sosial lainnya, selalu memiliki pemaknaan ganda dalam setiap
langkahnya. Hal itu berarti, rangkaian kebijakan yang ditempuh, seruan
berulang-ulang untuk membangkitkan optimisme, tidak secara otomatis mengikis
pesimisme masyarakat. Harus ada langkah nyata. Tentunya kekisruhan politik
yang terjadi juga perlu diminimalisir agar tidak mendistorsi persepsi publik
terhadap pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar