Kamis, 03 Desember 2015

Membalik Arah Pesimisme

Membalik Arah Pesimisme

Junanto Herdiawan  ;  Deputi Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia
                                                      KOMPAS, 02 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Satu hal yang belum tampak signifikan dari pelaku ekonomi Indonesia saat ini adalah sikap optimistis. Ekonomi dunia yang lesu, pertumbuhan domestik yang lemah, ekspor yang turun, dan tekanan nilai tukar rupiah, jadi beberapa alasan munculnya pesimisme.

Kita kemudian terjebak dalam lingkaran yang tak berujung karena sikap pesimistis tadi justru memicu terwujudnya keyakinan diri. Bila pelaku ekonomi pesimistis dalam memandang masa depan, ia akan menunda investasi dan belanjanya, kegiatan usaha dikurangi, aktivitas konsumsi turun, penghasilan berkurang, daya beli rendah, dan seterusnya. Pada akhirnya masyarakat jadi semakin pesimistis dan membawa kita pada kerugian lebih besar.

Hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan, indeks keyakinan konsumen (IKK) masih belum kembali seperti pada awal 2015. IKK pada Oktober 2015 berada di bawah level optimistis, atau sebesar 99,3 poin, lebih rendah daripada posisi awal tahun sebesar 122 poin. Sementara IKK terhadap kondisi ekonomi juga turun menjadi 88 poin, dibandingkan awal tahun sebesar 110 poin.

Harus kita akui tidak semua indikator makroekonomi saat ini berpihak kepada kita. Di sisi global, dunia masih gamang menunggu langkah Bank Sentral AS menaikkan suku bunga kebijakannya. Sementaraekonomi Tiongkok terus melemah, yang berdampak pada ekonomi negara- negara mitra dagang Tiongkok, termasuk Indonesia.

Di sisi domestik,kita masih menghadapi permasalahan struktural. Kinerja ekspor yang menurun telah berdampak pada terus defisitnya neraca transaksi berjalansejak akhir 2011. Hal tersebut menyebabkan ekonomi Indonesia masih tumbuh lambat. Apabila dilihat secara geografis, pelambatan signifikan terlihat pada hampir seluruh wilayah, terutama di Kalimantan dan Sumatera, dipicu turunnya harga komoditas serta bencana asap.

Kita juga melihat terjadinya penurunan arus modal yang masuk ke Indonesia. Surplus transaksi modal dan finansial menunjukkan gejala penurunan. Defisit transaksi berjalan, ditambah turunnya arus modal, menyebabkan kondisi pasar valuta asing (valas) kelebihan permintaan. Di pasar valas, pasokan berkurang, sementara permintaan relatif tetap bahkan meningkat. Ini menyebabkan nilai tukar rupiah saat ini masih relatif tertekan.

Di sisi lain, kita juga perlu mencermati beberapa permasalahan di dalam negeri, seperti ketergantungan pada ekspor sumber daya alam, utang luar negeri swasta yang relatif tinggi, dan masih banyaknya penggunaan valas untuk transaksi barang di dalam negeri. Pertanyaannya kemudian, seberapa optimistis kita pada masa depan ekonomi Indonesia? Tentu saja sikap optimistik atau pesimistik adalah pilihan. Namun, dibandingkan dengan negara berkembang lain, seperti Turki, Afrika Selatan, Brasil, dan Rusia, kita dapat memupuk optimisme karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih yang paling tinggi.

Kebijakan pemerintah, hingga enam paket, berusaha menyelesaikan masalah mendasar, seperti percepatan pembangunan infrastruktur, perluasan kesempatan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Respons positif jangka pendek adalah mulai berbaliknya tren pertumbuhan ekonomi triwulan III-2015 ke arah lebih positif, jadi 4,73 persen dibandingkan triwulan sebelumnya (4,67 persen). Bila tren ini dapat berlanjut ke triwulan IV-2015 dan 2016, kita akan menyaksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat.

Kebijakan melonggar

Di sisi kebijakan moneter, respons yang ditempuh BI turut mendukung tren penguatan ekonomi dengan tetap mempertimbangkan stabilitas sebagai elemen yang harus dijaga agar perekonomian dapat berjalan baik.

Dalam Rapat Dewan Gubernur BI, November 2015, BI mulai melonggarkan kebijakan moneternya melalui penurunan giro wajib minimum (GWM) primer. Mengapa tidak dilakukan melalui penurunan suku bunga kebijakan atau BI Rate? Risiko perekonomian yang masih tinggi, terutama dari sisi global, merupakan pertimbangan utama yang menjadi dasar keputusan saat ini.

Dari sisi operasional, selain menggunakan suku bunga, GWM primer adalah salah satu instrumen moneter yang lazim digunakan bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. GWM adalah jumlah simpanan minimum perbankan yang wajib disimpan di bank sentral. Besarannya ditentukan berdasarkan rasio terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki bank. Apabila GWM diturunkan, akan terjadi penambahan dana atau likuiditas di sektor perbankan. Tambahan likuiditas tersebut diharapkan dapat memengaruhi suku bunga bank maupun kapasitas bank dalam menyalurkan kredit.

Bank Sentral Tiongkok (PBoC) adalah contoh bank sentral yang secara aktif menggunakan kombinasi GWM dan suku bunga dalam kebijakan moneternya. Untuk mendorong perekonomiannya, PBoC pada 2015 bahkan telah menurunkan rasio GWM sebanyak empat kali.

Kombinasi paket pemerintah dan langkah pelonggaran kebijakan moneter BI tersebut adalah awal yang baik dalam membentuk optimisme pelaku pasar.Namun, kebijakan ekonomi, sebagaimana ilmu sosial lainnya, selalu memiliki pemaknaan ganda dalam setiap langkahnya. Hal itu berarti, rangkaian kebijakan yang ditempuh, seruan berulang-ulang untuk membangkitkan optimisme, tidak secara otomatis mengikis pesimisme masyarakat. Harus ada langkah nyata. Tentunya kekisruhan politik yang terjadi juga perlu diminimalisir agar tidak mendistorsi persepsi publik terhadap pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar