|
MEDIA
INDONESIA, 03 Mei 2013
Tanggal 2 Mei diperingati Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas). Momentum Hardiknas sejalan dengan perjalanan reformasi
yang memasuki usia 15 tahun. Lantas, bagaimana wajah pendidikan di negara kita?
Wajah pendidikan nasional bopeng tecermin dari berbagai keadaan. Antara lain
pendidikan dijadikan proyek, sertifikasi guru banyak pungutan, dana biaya
operasional sekolah (BOS) dan beasiswa banyak diselewengkan, kurikulum
dijadikan ajang uji coba, dana block grant disalahgunakan, bangunan sekolah
bobrokroboh, kekerasan pendidikan merebak, dan UN yang amburadul.
Salah urus yang kronis pada sektor pendidikan membawa
implikasi luas di berbagai sektor kehidupan lainnya. Indeks pembangunan manusia
kita selalu tertinggal dari negara-negara di kawasan ASEAN dan Asia. Tidak ada
yang membanggakan mengenai pembangunan manusia Indonesia. Human development
index (HDI) Indonesia atau indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia pada 2011
mengalami kenaikan tipis jika dibandingkan dengan 2010, yakni naik dari 0,613
pada 2010 menjadi 0,617 pada 2011 dengan posisi peringkat pada nomor 124 dari
187 negara di dunia. Meski demikian, di ASEAN, kualitas manusia Indonesia kalah
dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Dari titik ini saja, sudah kelihatan bahwa pendidikan
dikelola tanpa visi yang jelas dan tegas. Padahal, dengan visi yang jelas
terdapat tahapantahapan kemajuan yang mampu digapai dalam perjalanan
pendidikan. Juga diharapkan adanya hasil nyata yang manfaatnya bisa dirasakan
banyak orang. Semakin visi tidak jelas kebingungan masa depan pendidikan kian
tergambarkan karena pada saat yang sama kebijakan tambal sulam akan terus
berlangsung tanpa ada pengendali.
Sistem pendidikan nasional kita juga jauh dari predikat
baik. Menurut Ivan Illich, sistem pendidikan yang baik harus mempunyai tiga
tujuan. Pertama, ia harus menyediakan bagi semua orang yang ingin belajar
peluang untuk menggunakan sumbersumber daya yang ada pada suatu ketika dalam
kehidupan mereka. Kedua, ia harus mengizinkan semua orang, yang ingin
membagikan apa yang mereka ketahui, untuk menemukan orang yang ingin belajar dari
mereka.
Ketiga, sistem pendidikan itu memberikan peluang kepada
semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ke tengah masyarakat untuk
membuat keberatan mereka diketahui umum. Sistem seperti itu menuntut agar
jaminan pendidikan menurut konstitusi benar-benar ditegakkan (Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari
Belenggu Sekolah, 2000: 99-100).
Di tengah buramnya pendidikan nasional, justru sektor pendidikan
terjerat hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme yang telah menjadi inheren
dalam kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di negeri ini. Di Indonesia,
jargon ‘pendidikan untuk semua’ sering dilantunkan. Namun, di bawah sistem
demokrasi ini, pendidikan sering ‘dibajak’ pemilik modal, termasuk pemodal
asing. UU Pendidikan yang dibuat sering malah berpihak kepada pendidikan mereka
dan bukan kepada rakyat banyak. Itulah sistem pendidikan dalam cengkeraman
kapitalisme.
Kondisi seperti itu telah mengubah
potret pendidikan di Republik ini dari watak sosialnya menjadi berwatak profitopolis.
Politik ekonomi laissez faire seperti
yang diserukan Adam Smith, laissez faire,
laissez passer, et le monde va lui meme, telah mewabah dan merasuki dunia
pendidikan. Biarkan bebas dan pemerintah jangan campur tangan dalam
perekonomian (dan pendidikan).
Ini berarti bahwa sektor pendidikan yang sebelumnya
mendapat perhatian penuh oleh negara melalui jaminan subsidi kemudian harus
dicabut sepenuhnya. Bagi pemerintahan proneoliberal, subsidi merupakan bentuk
intervensi yang memboroskan anggaran dan mendistorsi pasar, hingga harus
dihapus. Dengan demikian, sektor pendidikan dituntut untuk memenuhi pembiayaan
pendidikan dengan usaha sendiri.
Kondisi itulah yang membuka peluang besar terjadinya komersialisasi
dan swastanisasi pendidikan. Sasaran empuknya tentu rakyat miskin yang semakin
tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.
Munculnya dikotomi sekolah unggulan dan sekolah biasa,
sekolah negeri dan swasta, merupakan pengejawantahan semangat kapitalis dalam
dunia pendidikan. Tidak dimungkiri, akan muncul kelas-kelas sosial sebagai bias
‘penerapan’ ide kapitalis dalam dunia pendidikan. Kelas sosial karena sistem
pendidikan yang berbasis modal dan mengesampingkan kecerdasan. Pada tataran
pendidikan tinggi, jargon research
university bahkan entrepreneurial university pun berusaha dilekatkan pada
perguruan tinggi badan hukum milik negara (BHMN). Di luar negeri untuk bisa
disebut research university, sebuah
perguruan tinggi harus mampu menyediakan US$2,4 miliar untuk anggaran
penelitian. Maka, demi status tersebut, beragam jalan akan diupayakan, termasuk
menggalang dana penelitian dari berbagai sumber, termasuk dari lembaga-lembaga
asing.
Selain itu, go public-nya
pendidikan Indonesia kini, diakui atau tidak, ialah tanda ketidakmampuan
finansial kita. Secara konstitusional memang sudah diamanatkan untuk
mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan, tetapi hal itu hanya manipulasi
kebijakan pendidikan (meminjam pakar pendidikan Darmaningtyas).
Ingar-bingar politik dengan ongkos yang tidak sedikit lebih
menggiurkan. Dana-dana siluman untuk proyek fiktif lebih diutamakan. Akibatnya,
kita mengalami ketiadaan dana. Alternatifnya ialah ‘suntikan’ modal asing untuk
tidak mengatakan kita tengah menjual pendidikan kita. Tanpa sadar, kita telah
menjual masa depan bangsa kita.
Sangat tampak bahwa dunia pendidikan kita tengah berada di
dalam cengkeraman kapitalisme global. Untuk menghadapi dan menghancurkan
hegemoni kapitalisme itu, yang harus dilakukan ialah, pertama, segenap elemen
bangsa harus mencurahkan seluruh energi untuk menata kembali wajah bopeng dunia
pendidikan kita. Perlu dibangun kesadaran kolektif dalam masyarakat untuk
secara bersama-sama membenahi dunia pendidikan kita yang terpuruk.
Menyelenggarakan pendidikan murah dan terjangkau rakyat merupakan salah satu
amanat gerakan reformasi yang telah mengantar para elite politik duduk di
singgasana kekuasaan saat ini. Jadi, tak ada alasan bagi mereka membuat
kebijakan yang asimetris dengan amanat gerakan reformasi itu.
Kedua, pemerintah juga harus cerdas, strategis, dan
antisipatif dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menghadapi
globalisasi. Lembaga-lembaga pendidikan harus berani mendiversifikasi program
yang relevan dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, nilai-nilai negatif dari
arus globalisasi dapat ditepis dan nilai-nilai positifnya dapat kita serap.
Ketiga, pemerintah, masyarakat, orangtua murid, dan semua
pihak yang peduli pendidikan harus bergandengan tangan untuk menggumuli dan
mengupayakan terwujudnya tujuan dan visi pendidikan nasional, supaya pendidikan
dapat menjadi investasi bagi masa depan, demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar