Sabtu, 04 Mei 2013

Wajah Bopeng Pendidikan Kita


Refleksi Hardiknas
Wajah Bopeng Pendidikan Kita
Sutrisno ;  Guru SMPN 1 Wonogiri Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2013


Tanggal 2 Mei diperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Momentum Hardiknas sejalan dengan perjalanan reformasi yang memasuki usia 15 tahun. Lantas, bagaimana wajah pendidikan di negara kita? Wajah pendidikan nasional bopeng tecermin dari berbagai keadaan. Antara lain pendidikan dijadikan proyek, sertifikasi guru banyak pungutan, dana biaya operasional sekolah (BOS) dan beasiswa banyak diselewengkan, kurikulum dijadikan ajang uji coba, dana block grant disalahgunakan, bangunan sekolah bobrokroboh, kekerasan pendidikan merebak, dan UN yang amburadul.

Salah urus yang kronis pada sektor pendidikan membawa implikasi luas di berbagai sektor kehidupan lainnya. Indeks pembangunan manusia kita selalu tertinggal dari negara-negara di kawasan ASEAN dan Asia. Tidak ada yang membanggakan mengenai pembangunan manusia Indonesia. Human development index (HDI) Indonesia atau indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia pada 2011 mengalami kenaikan tipis jika dibandingkan dengan 2010, yakni naik dari 0,613 pada 2010 menjadi 0,617 pada 2011 dengan posisi peringkat pada nomor 124 dari 187 negara di dunia. Meski demikian, di ASEAN, kualitas manusia Indonesia kalah dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Dari titik ini saja, sudah kelihatan bahwa pendidikan dikelola tanpa visi yang jelas dan tegas. Padahal, dengan visi yang jelas terdapat tahapantahapan kemajuan yang mampu digapai dalam perjalanan pendidikan. Juga diharapkan adanya hasil nyata yang manfaatnya bisa dirasakan banyak orang. Semakin visi tidak jelas kebingungan masa depan pendidikan kian tergambarkan karena pada saat yang sama kebijakan tambal sulam akan terus berlangsung tanpa ada pengendali.

Sistem pendidikan nasional kita juga jauh dari predikat baik. Menurut Ivan Illich, sistem pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan. Pertama, ia harus menyediakan bagi semua orang yang ingin belajar peluang untuk menggunakan sumbersumber daya yang ada pada suatu ketika dalam kehidupan mereka. Kedua, ia harus mengizinkan semua orang, yang ingin membagikan apa yang mereka ketahui, untuk menemukan orang yang ingin belajar dari mereka.

Ketiga, sistem pendidikan itu memberikan peluang kepada semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ke tengah masyarakat untuk membuat keberatan mereka diketahui umum. Sistem seperti itu menuntut agar jaminan pendidikan menurut konstitusi benar-benar ditegakkan (Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, 2000: 99-100).

Di tengah buramnya pendidikan nasional, justru sektor pendidikan terjerat hegemoni kapitalisme dan neoliberalisme yang telah menjadi inheren dalam kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di negeri ini. Di Indonesia, jargon ‘pendidikan untuk semua’ sering dilantunkan. Namun, di bawah sistem demokrasi ini, pendidikan sering ‘dibajak’ pemilik modal, termasuk pemodal asing. UU Pendidikan yang dibuat sering malah berpihak kepada pendidikan mereka dan bukan kepada rakyat banyak. Itulah sistem pendidikan dalam cengkeraman kapitalisme.

Kondisi seperti itu telah mengubah potret pendidikan di Republik ini dari watak sosialnya menjadi berwatak profitopolis. Politik ekonomi laissez faire seperti yang diserukan Adam Smith, laissez faire, laissez passer, et le monde va lui meme, telah mewabah dan merasuki dunia pendidikan. Biarkan bebas dan pemerintah jangan campur tangan dalam perekonomian (dan pendidikan).

Ini berarti bahwa sektor pendidikan yang sebelumnya mendapat perhatian penuh oleh negara melalui jaminan subsidi kemudian harus dicabut sepenuhnya. Bagi pemerintahan proneoliberal, subsidi merupakan bentuk intervensi yang memboroskan anggaran dan mendistorsi pasar, hingga harus dihapus. Dengan demikian, sektor pendidikan dituntut untuk memenuhi pembiayaan pendidikan dengan usaha sendiri.

Kondisi itulah yang membuka peluang besar terjadinya komersialisasi dan swastanisasi pendidikan. Sasaran empuknya tentu rakyat miskin yang semakin tidak mampu mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.
Munculnya dikotomi sekolah unggulan dan sekolah biasa, sekolah negeri dan swasta, merupakan pengejawantahan semangat kapitalis dalam dunia pendidikan. Tidak dimungkiri, akan muncul kelas-kelas sosial sebagai bias ‘penerapan’ ide kapitalis dalam dunia pendidikan. Kelas sosial karena sistem pendidikan yang berbasis modal dan mengesampingkan kecerdasan. Pada tataran pendidikan tinggi, jargon research university bahkan entrepreneurial university pun berusaha dilekatkan pada perguruan tinggi badan hukum milik negara (BHMN). Di luar negeri untuk bisa disebut research university, sebuah perguruan tinggi harus mampu menyediakan US$2,4 miliar untuk anggaran penelitian. Maka, demi status tersebut, beragam jalan akan diupayakan, termasuk menggalang dana penelitian dari berbagai sumber, termasuk dari lembaga-lembaga asing.

Selain itu, go public-nya pendidikan Indonesia kini, diakui atau tidak, ialah tanda ketidakmampuan finansial kita. Secara konstitusional memang sudah diamanatkan untuk mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan, tetapi hal itu hanya manipulasi kebijakan pendidikan (meminjam pakar pendidikan Darmaningtyas).

Ingar-bingar politik dengan ongkos yang tidak sedikit lebih menggiurkan. Dana-dana siluman untuk proyek fiktif lebih diutamakan. Akibatnya, kita mengalami ketiadaan dana. Alternatifnya ialah ‘suntikan’ modal asing untuk tidak mengatakan kita tengah menjual pendidikan kita. Tanpa sadar, kita telah menjual masa depan bangsa kita.

Sangat tampak bahwa dunia pendidikan kita tengah berada di dalam cengkeraman kapitalisme global. Untuk menghadapi dan menghancurkan hegemoni kapitalisme itu, yang harus dilakukan ialah, pertama, segenap elemen bangsa harus mencurahkan seluruh energi untuk menata kembali wajah bopeng dunia pendidikan kita. Perlu dibangun kesadaran kolektif dalam masyarakat untuk secara bersama-sama membenahi dunia pendidikan kita yang terpuruk. Menyelenggarakan pendidikan murah dan terjangkau rakyat merupakan salah satu amanat gerakan reformasi yang telah mengantar para elite politik duduk di singgasana kekuasaan saat ini. Jadi, tak ada alasan bagi mereka membuat kebijakan yang asimetris dengan amanat gerakan reformasi itu.

Kedua, pemerintah juga harus cerdas, strategis, dan antisipatif dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menghadapi globalisasi. Lembaga-lembaga pendidikan harus berani mendiversifikasi program yang relevan dengan tuntutan zaman. Dengan demikian, nilai-nilai negatif dari arus globalisasi dapat ditepis dan nilai-nilai positifnya dapat kita serap.

Ketiga, pemerintah, masyarakat, orangtua murid, dan semua pihak yang peduli pendidikan harus bergandengan tangan untuk menggumuli dan mengupayakan terwujudnya tujuan dan visi pendidikan nasional, supaya pendidikan dapat menjadi investasi bagi masa depan, demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar