Sabtu, 04 Mei 2013

Bangunan Tamansari ASEAN


Bangunan Tamansari ASEAN
Toeti Prahas Adhitama ;  Angggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2013


Politikus Prancis berhaluan sosialis yang juga mantan Menteri Luar Negeri Prancis (1981-1984), Claude Cheysson, suatu kali mengatakan, “Tertib perekonomian dunia dibangun oleh negara-negara industri untuk mereka sendiri, tanpa peduli pada pihak lain.... Kerja kami di Eropa semakin ringan untuk bisa mendapatkan mineral, kayu, atau kacang-kacangan, tetapi kami menganggap sah-sah saja, tanpa berpikir jernih bahwa yang menyuplai bahan mentah terpaksa bekerja lebih keras untuk membeli traktor atau stasiun pembangkit tenaga listrik karena harganya makin tinggi. Kami mulai mengerti bahwa produsenprodusen bahan mentah juga ingin memajukan diri, bukan sekadar menjaga kelangsungan hidup.“

Ketika Cheysson mengungkap pendapatnya, kesadaran negara-negara maju tentu sudah makin terbuka, sebab krisis minyak lebih dari tiga dasawarsa lalu membuat masyarakat Eropa sadar betapa besar ketergantungan benua itu pada negara-negara berkembang. Selain impor bahan energi, industri mereka membutuhkan impor jumlah besar baja, tembaga, bijih timah, di samping produk-produk pertanian, dari negara-negara berkembang.

Sebenarnya perdaganganlah yang mempertemukan dua dunia. Idealnya, dua pihak saling membantu. Bung Karno menggambarkan situasi hubungan antarmasyarakat dunia yang ideal sebagai ‘taman sari’--indah dan serasi sekalipun saling berbeda. Karena itu, kerukunan dan kerja sama hendaknya terjaga demi kesejahteraan bersama. Sebenarnya itu pula yang kita inginkan untuk 10 negara ASEAN: Tamansari ASEAN. Bangunan itu diperlukan untuk di dalam maupun untuk ke luar.

Langgam Program ASEAN

Memang diperlukan pemikir-pemikir yang tidak saja mengusung, tetapi juga mengimplementasikan ideologi ASEAN; bukan saja meyakininya, melainkan juga mempertimbangkan pengaruh gejala umum dunia seraya mengevaluasi posisi diri kita. Misalnya kita bisa bertanya, bagaimana landasan budaya kerja sama ASEAN? Dari sana mungkin kita akan mendapat gambaran tentang kekuatan-kekuatan apa yang membuat kita seperti sekarang dan bagaimana strategi kita menghadapinya.

Karena letak geografisnya, banyak kesamaan di antara negara-negara ASEAN. Iklim ekuatorial dan hujan tropis membuat kawasan ini subur dan kaya sumber alam. Tradisi kehidupan dan penghidupan antarmasyarakat ASEAN memiliki kemiripan. Selama ratusan tahun mayoritas penduduk kawasan ini hidup dari bertani. Mungkin itu menjelaskan mengapa mayoritas penduduk ASEAN tinggal di desa-desa, dengan keakraban yang ideal: bersekutu dan bantu-membantu dalam lingkungan keluarga dan desa, yang kemudian meluas ke masyarakat bangsa. Salah satu sifat kekeluargaan meninggalkan ciri khas dalam kehidupan modern ini, yakni rasa hormat yang muda kepada yang tua.

Sikap paternalistis itu terbawa sampai ke tata tertib tingkat nasional. Bila kita simak penyelesaian masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial, sebagian besar kita di ASEAN masih menyerahkannya kepada kalangan elite, analog dengan kaum tua; bukan sepenuhnya memercayakannya pada sistem demokrasi Barat.

Mencari Pijakan di Masa Transisi

Perubahan yang sedang terjadi dalam masa transisi ditandai dengan terbentuknya berbagai lembaga baru untuk menjaga demokrasi. Tampak ada semacam kebingungan dan ketidakseragaman dalam pendekatan kita untuk menghadapi situasi. Mengingat kompleksnya masalah tersebut, dan sistem kekeluargaan yang mengakar pada budaya kita, kalau kita bicara soal kerja sama ASEAN, untuk sementara usaha itu rasanya lebih merupakan pekerjaan rumah para pemimpin ASEAN daripada masyarakat ASEAN. Sejauh ini roh ASEAN rasa nya belum merambah ke masyarakatnya sekalipun para pemimpin tekun mengusahakannya.
Sebanyak 259 kebijakan yang tercantum dalam cetak biru Persatuan Ekonomi ASEAN telah dilaksanakan dengan persentase kinerja 77,54%. Pengurangan pajak mencatat kemajuan nyata, di antaranya penghapusan 99,65% pajak impor oleh beberapa anggota yang relatif maju.

Sekadar mengingatkan, ASEAN terbentuk ketika Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman sedang berusaha membangun rekonsiliasi antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina pada April dan Mei 1966. Rancangan dokumen pembentukan ASEAN sebagian besar dibuat diplomat-diplomat Thailand. Akan tetapi, Indonesia pun dianggap memegang peran penting karena Adam Malik dan diplomat-diplomat Indonesia lainnya diminta menyusun konsep perhimpunan baru itu. Mereka kemudian pergi berkeliling ke ibu kota lima penanda tangan deklarasi untuk menjual ide tentang ASEAN. Bahkan Adam Malik yang memberinya nama ASEAN. Demikian ditulis dalam ASEAN Community (2006) karya Rodolfo C Severino, mantan Sekjen ASEAN (19982002).

Sejak KTT pertama di Bali pada 1976, telah terselenggara 22 KTT ASEAN. Yang terakhir di Brunei Darussalam pada April 2013, dihadiri 10 negara anggota. Setelah KTT ASEAN keempat pada 1992, keberhasilan perekonomian negara-negara ASEAN tecermin pada PDB per kapita masing-masing. Menurut IMF pada 2011, Singapura menempati urutan pertama dengan pendapatan per kapita melebihi US$50 ribu, disusul Brunei US$36 ribu lebih. Pendapatan enam negara ASEAN lainnya hanya terdiri dari 4 digit. Myanmar dan Kamboja paling rendah, terdiri dari 3 digit. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia menempati urutan kelima, masih kalah dari Malaysia dan Thailand; selain jauh di bawah Singapura dan Brunei.

Sekjen ASEAN Le Luong Minh, dalam konferensi pers setelah selesai KTT ke-22, menyatakan, “Tahapan paling sulit dimulai dari saat ini hingga akhir 2015. Masalahnya terletak pada perubahan besar sistem yang ada saat ini, misalnya di bidang investasi, transportasi, dan bea cukai. Namun, kami telah mengkaji kebijakan dan langkah-langkah yang harus diambil hingga 2015.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar