|
MEDIA
INDONESIA, 03 Mei 2013
Politikus Prancis berhaluan
sosialis yang juga mantan Menteri Luar Negeri Prancis (1981-1984), Claude
Cheysson, suatu kali mengatakan, “Tertib
perekonomian dunia dibangun oleh negara-negara industri untuk mereka sendiri,
tanpa peduli pada pihak lain.... Kerja kami di Eropa semakin ringan untuk bisa
mendapatkan mineral, kayu, atau kacang-kacangan, tetapi kami menganggap sah-sah
saja, tanpa berpikir jernih bahwa yang menyuplai bahan mentah terpaksa bekerja
lebih keras untuk membeli traktor atau stasiun pembangkit tenaga listrik karena
harganya makin tinggi. Kami mulai mengerti bahwa produsenprodusen bahan mentah
juga ingin memajukan diri, bukan sekadar menjaga kelangsungan hidup.“
Ketika Cheysson mengungkap pendapatnya, kesadaran
negara-negara maju tentu sudah makin terbuka, sebab krisis minyak lebih dari
tiga dasawarsa lalu membuat masyarakat Eropa sadar betapa besar ketergantungan
benua itu pada negara-negara berkembang. Selain impor bahan energi, industri
mereka membutuhkan impor jumlah besar baja, tembaga, bijih timah, di samping
produk-produk pertanian, dari negara-negara berkembang.
Sebenarnya perdaganganlah yang mempertemukan dua dunia.
Idealnya, dua pihak saling membantu. Bung Karno menggambarkan situasi hubungan
antarmasyarakat dunia yang ideal sebagai ‘taman sari’--indah dan serasi
sekalipun saling berbeda. Karena itu, kerukunan dan kerja sama hendaknya
terjaga demi kesejahteraan bersama. Sebenarnya itu pula yang kita inginkan
untuk 10 negara ASEAN: Tamansari ASEAN. Bangunan itu diperlukan untuk di dalam
maupun untuk ke luar.
Langgam
Program ASEAN
Memang
diperlukan pemikir-pemikir yang tidak saja mengusung, tetapi juga mengimplementasikan
ideologi ASEAN; bukan saja meyakininya, melainkan juga mempertimbangkan pengaruh gejala umum dunia seraya mengevaluasi posisi diri
kita. Misalnya kita bisa bertanya, bagaimana landasan budaya kerja sama ASEAN?
Dari sana mungkin kita akan mendapat gambaran tentang kekuatan-kekuatan apa
yang membuat kita seperti sekarang dan bagaimana strategi kita menghadapinya.
Karena letak geografisnya, banyak kesamaan di antara
negara-negara ASEAN. Iklim ekuatorial dan hujan tropis membuat kawasan ini
subur dan kaya sumber alam. Tradisi kehidupan dan penghidupan antarmasyarakat
ASEAN memiliki kemiripan. Selama ratusan tahun mayoritas penduduk kawasan ini
hidup dari bertani. Mungkin itu menjelaskan mengapa mayoritas penduduk ASEAN
tinggal di desa-desa, dengan keakraban yang ideal: bersekutu dan bantu-membantu
dalam lingkungan keluarga dan desa, yang kemudian meluas ke masyarakat bangsa.
Salah satu sifat kekeluargaan meninggalkan ciri khas dalam kehidupan modern
ini, yakni rasa hormat yang muda kepada yang tua.
Sikap paternalistis itu terbawa sampai ke tata tertib
tingkat nasional. Bila kita simak penyelesaian masalah-masalah politik, ekonomi,
dan sosial, sebagian besar kita di ASEAN masih menyerahkannya kepada kalangan
elite, analog dengan kaum tua; bukan sepenuhnya memercayakannya pada sistem
demokrasi Barat.
Mencari Pijakan di Masa Transisi
Perubahan yang sedang terjadi
dalam masa transisi ditandai dengan terbentuknya berbagai lembaga baru untuk
menjaga demokrasi. Tampak ada semacam kebingungan dan ketidakseragaman dalam
pendekatan kita untuk menghadapi situasi. Mengingat kompleksnya masalah
tersebut, dan sistem kekeluargaan yang mengakar pada budaya kita, kalau kita
bicara soal kerja sama ASEAN, untuk sementara usaha itu rasanya lebih merupakan
pekerjaan rumah para pemimpin ASEAN daripada masyarakat ASEAN. Sejauh ini roh
ASEAN rasa nya belum merambah ke masyarakatnya sekalipun para pemimpin tekun
mengusahakannya.
Sebanyak 259 kebijakan yang tercantum dalam cetak biru
Persatuan Ekonomi ASEAN telah dilaksanakan dengan persentase kinerja 77,54%. Pengurangan
pajak mencatat kemajuan nyata, di antaranya penghapusan 99,65% pajak impor oleh
beberapa anggota yang relatif maju.
Sekadar mengingatkan, ASEAN terbentuk ketika Menteri Luar
Negeri Thailand Thanat Khoman sedang berusaha membangun rekonsiliasi antara
Indonesia, Malaysia, dan Filipina pada April dan Mei 1966. Rancangan dokumen
pembentukan ASEAN sebagian besar dibuat diplomat-diplomat Thailand. Akan
tetapi, Indonesia pun dianggap memegang peran penting karena Adam Malik dan diplomat-diplomat
Indonesia lainnya diminta menyusun konsep perhimpunan baru itu. Mereka kemudian
pergi berkeliling ke ibu kota lima penanda tangan deklarasi untuk menjual ide
tentang ASEAN. Bahkan Adam Malik yang memberinya nama ASEAN. Demikian ditulis
dalam ASEAN Community (2006) karya
Rodolfo C Severino, mantan Sekjen ASEAN (19982002).
Sejak KTT pertama di Bali pada 1976, telah terselenggara 22
KTT ASEAN. Yang terakhir di Brunei Darussalam pada April 2013, dihadiri 10
negara anggota. Setelah KTT ASEAN keempat pada 1992, keberhasilan perekonomian
negara-negara ASEAN tecermin pada PDB per kapita masing-masing. Menurut IMF
pada 2011, Singapura menempati urutan pertama dengan pendapatan per kapita
melebihi US$50 ribu, disusul Brunei US$36 ribu lebih. Pendapatan enam negara
ASEAN lainnya hanya terdiri dari 4 digit. Myanmar dan Kamboja paling rendah,
terdiri dari 3 digit. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia menempati urutan kelima,
masih kalah dari Malaysia dan Thailand; selain jauh di bawah Singapura dan
Brunei.
Sekjen ASEAN Le Luong Minh, dalam konferensi pers setelah
selesai KTT ke-22, menyatakan, “Tahapan
paling sulit dimulai dari saat ini hingga akhir 2015. Masalahnya terletak pada
perubahan besar sistem yang ada saat ini, misalnya di bidang investasi,
transportasi, dan bea cukai. Namun, kami telah mengkaji kebijakan dan
langkah-langkah yang harus diambil hingga 2015.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar