Rabu, 22 Mei 2013

Veven : Generasi Haus Budaya


Veven : Generasi Haus Budaya
Arswendo Atmowiloto ;  Pengamat Budaya Massa
KOMPAS, 19 Mei 2013


Veven Sp Wardhana, 54 tahun, dimakamkan kemarin, termasuk generasi yang tumbuh dalam kehausan budaya. Ia menulis cerita pendek, novel, dan artikel bentuk kesenian seperti film, sinetron, juga menulis skenario. Berbeda dengan teman seangkatan, seperti Butet Kartaredjasa, Veven berpenampilan rapi, juga meja kerjanya, terkesan hati-hati.

Setidaknya dibandingkan teman seusia yang kemudian bergabung dalam tabloid Monitor, yang ketika berkantor di Senayan—sekarang menjadi lapangan parkir—sering lupa menutup kamar mandi dan lupa membawa handuk. Ven—panggilan ini lebih menyenangkan daripada Veven dengan huruf F dari nama aslinya Effendi, bahkan kikuk menuliskan pengalamannya mewawancarai artis. Butuh waktu lama dan sibuk beberapa kali mengganti judul. Tapi, kemudaan usia dan kemampuan menyerap situasi membuatnya cepat menyesuaikan diri. Dan selalu terlihat rapi dengan kemeja dimasukkan, tak sehelai rambut pun jatuh di dahi, dan datang ke pesohor yang menjadi narasumber lebih pagi—untuk mengeringkan keringat karena perjalanan memakai kendaraan umum. Ven ibarat anak manis yang baik-baik saja di tempat kerja dalam bekerja sama, memberi kesan aman dengan tanggung jawab yang diberikan. Nyaris tak menimbulkan persoalan. Kecuali sekali, waktu meminta saya menjadi wali ketika melamar istrinya.

Kritik tak bergetah

Generasi Veven adalah generasi wartawan yang menyenangkan dalam berkarya dan menemukan kepuasannya dalam menuliskan—bukan pada fasilitas atau kemudahan. Mereka menemukan persaingan sehingga memaju untuk banyak membaca buku, berdiskusi, meledek satu sama sama lain. Veven adalah redaktur yang cermat dan bisa berhemat kata, dan tak bisa menerima begitu saja teks ”kerajaan perfilman” atau ”kebudayaan berhenti selama Lebaran”, dan mencoretnya. Baginya, gaya penulisan yang personal tetap harus berada di rel tata bahasa yang baik dan benar. Ini kekuatan, tapi sekaligus juga membatasi untuk liar, dalam menuliskan karya fiksi. Kritiknya tajam, tanpa menimbulkan dendam. Marahnya bisa tetap ramah, dan saya menyebutkan ”tak bergetah”, tidak menempel lama.

Kami masih sering berhubungan meskipun tak lagi berada dalam satu institusi karena hobi yang sama dan wilayah kegiatan tak jauh berbeda. Sama-sama menjadi juri dan kadang menjadi narasumber topik yang sama. Juga dengan teman seangkatan lama. Kadang bercerita nyamannya bekerja dengan apa yang kita sukai, kadang merasa geregetan dengan perkembangan media massa saat ini, kadang bersama-sama merindukan kebersamaan lagi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan.

Sebulan terakhir ini bicara soal sel kanker. Saya punya pengalaman karena adik kandung saya, yang juga sangat dikenalnya karena bekerja di tempat yang sama, menderita penyakit yang sama. Kesimpulan saya mungkin tak menghibur: sel kanker terlalu takabur dan tak takluk oleh doa. Sel kanker mungkin satu-satunya makhluk hidup yang tak mengenal dan memercayai doa. Kami berkomunikasi terpatah-patah dalam kata yang dibatasi melalui SMS, sebelum SMS lain yang mengabarkan kepergiannya.

Kreativitas dan solidaritas

Ketika Butet dan Ignasius Haryanto merencanakan—dan melaksanakan—malam solidaritas pengumpulan dana, Jumat (17/5) malam, almarhum bahkan mengatakan ingin datang. Saya sempat bercanda dan mengatakan saya tak ingin diperlakukan begitu. Menyiksa pembaca karya saya—misal membaca Senopati Pamungkas yang bisa dua malam, atau juga menyiksa pendengarnya. Tapi, sebenarnya yang lebih menyiksa adalah lambatnya mengambil sikap. Apa yang dialami Veven adalah apa yang sudah dialami sastrawan besar Danarto, juga Hamsyad Rangkuti, dan beberapa nama lain.

Para seniman atau pengarang ini sebenarnya cukup kaya—kecuali kalau jatuh sakit. Pembayar pajak yang taat—karena dipotongkan oleh penerbit, ini tak berdaya menghadapi tarif obat atau rumah sakit yang dinamikanya berbeda jauh buah kreativitas. Sehingga rasanya perlu dipikirkan lembaga tetap untuk ini. Semacam ”kartu sehat” yang memihak seniman melarat karena susah dan ogah korupsi. Acara seperti ”hand in hand” adalah baik dan benar, mengembalikan solidaritas dan rasa peduli, tetapi terasa sepotong demi sepotong, dan mengandalkan pendekatan personal. Lebih masuk akal jaminan rasa aman bagi pekerja yang tak mempunyai jaminan pensiun jika saja ada lembaga yang menyantuni. Yang bisa mengambil sebagian modal dari potongan royalti yang masih bisa berkarya. Dan atau pemikiran lain yang lebih pas. Momen sekarang ini bisa menjadi pemantik pendekatan heart in heart, yang lebih berkesinambungan.

Mungkin bisa lebih luas lagi, kebersamaan sebagai pekerja seni dengan beberapa persoalan hidup yang bisa dibagikan. Ada satu hal yang masih mengganjal dalam kaitan dengan Veven, kami belum sampai tuntas mengupas soal keyakinan, soal keluarga—yang melahirkan, yang kita bentuk, atau juga tarif bawah sebagai narasumber misalnya.

Kini, Veven Sp Wardhana telah menyelesaikan lomba kehidupan dengan terhormat. Dan bisa lebih bermanfaat bagi sahabat yang lain, yang bergulat dalam persoalan yang sama. Dalam berkarya, seniman memiliki otoritas kreativitas bagi diri sendiri, tetapi dalam kehidupan mereka memerlukan kerja bersama—bukan sekadar sama-sama bekerja.

Ven, kamu berangkat lebih dulu. Salam, ya….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar