Rabu, 22 Mei 2013

Makna Kebangkitan Ekonomi


Makna Kebangkitan Ekonomi
Aji Dedi Mulawarman ;  Sekjen DPN Forum Dosen Ekonomi dan Bisnis Islam,
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
REPUBLIKA, 21 Mei 2013

Diskusi mengenai solusi ekonomi kita tak pernah selesai, selalu bertabrakan dengan kenyataan-kenyataan bahwa ekonomi kerakyatan sebagai pilihan ideal (baca juga: ideologis) sebagai turunan keber-Pancasila-an kita, dengan kehadiran pemenang ekonomi global, neoliberalisme. Seperti kita ketahui, amanat Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 mengarahkan perekonomian kita sebenarnya pada ruang ekonomi kerakyatan yang cenderung sosialistik khas Indonesia. 

Dibahasakan Muhammad Hatta, koperasi sebagai ujung tombak ekonomi nasional. Atau, dibahasakan Sukarno sebagai Marhaenisme. Tetapi, kenyataan berbicara lain, setelah menangnya mafia Berkeley pascakejatuhan Orde Lama maka ekonomi liberal selama lebih dari 40 tahun telah mengakar menjadi bagian kebijakan nasional, "otak" keilmuan, serta lifestyle ethics para ekonom, pebisnis, sampai akuntan di negeri ini. 

Hal ini tentunya akan berdampak pula pada kebijakan negera. Misalnya, kebijakan BBM. Kalau cara berpikir ekonomi kita masih menggunakan pola transaksional, price mechanism, dan orientasi pasar, menjadi wajar pengadaan BBM bagi rakyat harus berbayar. Bila rakyat tidak bisa membayar maka jalan keluarnya adalah subsidi oleh negara. Selanjutnya bila negara tidak dapat lagi menyubsidi, BBM harus dinaikkan harganya sehingga beban APBN mencukupi.
Apakah ini sejalan dengan UUD 45 Pasal 33 yang mengamanatkan tanah, air, udara dikuasai negara, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat? Penulis rasa memang terdapat inkonsistensi paradigmatik atas kebijakan energi nasional yang berorientasi pasar dengan ekonomi ala Pasal 33.

Hampir lima tahun penulis banyak melakukan diskusi mengenai etika ekonomi dan bisnis dengan para dosen. Salah satu yang paling menarik adalah substansi nilai (core values) dan etika sains serta profesi di lingkungan ekonomi, bisnis, dan akuntansi. Sebelum menanyakan secara detail, biasanya penulis menanyakan ideologi keilmuan dan keberpihakan mereka.

Fakta pertama, penulis mendiskusikan lebih jauh menggunakan model keadilan distribusi Beauchamp dan Bowie. Jawaban yang penulis dapatkan di awal sekitar tahun 2008 ternyata sangat mengejutkan, lebih dari 60 persen audience memilih jawaban liberalistik. Hal ini ternyata bersifat tetap dan cenderung meningkat selama lima tahun kemudian. 

Fakta kedua, biasanya penulis melanjutkan diskusi dengan menyodorkan tiga nilai dasar neoliberal (maksimalisasi keuntungan, akumulasi kekayaan, dan pasar bebas) yang memunculkan orientasi aksiomatis dan teknis. Nilai dasar liberal kemudian men-drive orientasi aksiomatis ekonomi, yaitu manusia berusaha semaksimal mungkin dengan pengorbanan seminimal mungkin untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. 

Orientasi aksiomatik liberal menurunkan pola berpikir bisnis dan pencatatan informasi akuntansi yang mengutamakan bottom line income berbasis agency theory, manusia memiliki sifat dasar self interest yang profit dan wealth motive dalam koridor price and transactional mechanism. Para audience melihatnya sebagai kebenaran yang menjadi dasar dari seluruh logika ilmu sampai praktik ekonomi/bisnis/akuntansi. 

Ketika penulis menampilkan sila-sila Pancasila sebagai tiga nilai dasar ekonomi, dan menanyakan secara sederhana, apakah akan berbeda bentuk ekonomi, bisnis, maupun akuntansinya? Mereka mulai menyadari ada yang salah dengan substansi nilai ekonomi liberal vis a vis Pancasila yang sarat mekanisme berkemanusiaan, berkeadilan sosial dan beradab. Sama pula ketika penulis mendiskusikan di forum-forum ekonomi Islam, dengan core values ekonomi Islam (Allah pusat kekayaan, zakat-infak-sedekah bentuk distribusi ekonomi egalitarianistik dan pasar bebas terkendali al-hisbah dalam koridor ukhuwah (persaudaraan).

Menjadi benar kemudian bila kebijakan BBM berkiblat pada ekonomi pro pasar based on price and transactional mechanism dan bukannya humanism and social justice mechanism. Para ekonom, menteri, anggota DPR-RI, dan semua entitas terkait, yang mayoritas tanpa sadar telah "terliberalkan" lewat pendidikan sejak 40 tahun, hanya melihat Pancasila sebagai ideologi, tanpa taring ketika berhadapan dengan solusi untuk rakyatnya. 

Sama seperti kebijakan pangan dan pertanian kita yang juga berjiwa liberal di bawah perlindungan UU Pangan atas nama ketahanan pangan untuk keterse- diaan pangan masyarakat nasional (dan bukannya kemandirian pangan untuk swasembada pangan sebagai landasan ketersediaan pangan nasional) dengan menempatkan petani sebagai subordinat perusahaan multinasional. Begitu pula dengan ketergesaan privatisasi BUMN, sulitnya melansir mobil nasional, keberanian menjalankan Asean Free Trade Area 2015, dan sebagainya.

Menjadi benarlah yang dikatakan Buya Ahmad Syafi i Maarif di "Resonansi" Republika, yaitu "ganti saja Pancasila dan hapus Pasal 33 UUD 1945 (asli)".
Menjadi benar pulakah kesimpulan Vali Nasr dalam bukunya The Rise of Islamic Capitalism: Why the New Muslim Middle Class Is the Key to Defeating Extremism?  bahwa masyarakat Muslim, salah satunya Indonesia, yang telah diindoktrinasi pikiran liberal telah bergeser gaya hidup dan orientasinya menjadi apa yang dinamakannya kapitalisme Islami? 

Ya mungkin memang sudah zamannya, dunia, realitas, ideologi, dan pandangan religiositas telah berubah. Semua didasarkan kenyataan sosial dan bukan lagi doktrin ideologi Pancasila, atau dogma agama, Islam, misalnya. Pertanyaan lanjutannya, apakah dengan demikian Pancasila sebagai doktrin perlu ditampilkan lebih akomodatif, begitu pula wajah doktrin agama harus pula bergeser lebih opurtunistik dan pragmatis sesuai liberalisme? Nantinya mungkin diperlukan model ekonomi kerakyatan liberal atau ekonomi Islam liberal yang lebih bernuansa etis utilitarian dan mengedepankan manfaat pragmatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar