|
SINAR
HARAPAN, 04 Mei 2013
Salah satu
tujuan pendidikan hakiki adalah memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan
seyogianya mampu membangunkan potensi manusia menjadi nyata dan
mengoptimalkannya. Sosok konkret yang didambakan pendidikan adalah pribadi
berkarakter, berakhlak, cerdas, dan mandiri, baik mandiri dari segi pemikiran
maupun pencarian penghidupan.
Sayangnya,
masih banyak institusi pendidikan kita—mulai dari tingkat dasar hingga
pendidikan tinggi—yang masih melupakan esensi di atas. Lihat saja, betapa
banyak lulusan sarjana atau sekolah menengah atas yang justru tidak mampu
bersaing di dunia kerja alias menjadi “pengangguran intelektual”. Alih-alih
menjadi kontributor bagi dunia kerja dan perekonomian, mereka justru menjadi beban
masyarakat.
Inilah
akibat para perencana pendidikan di negeri ini yang sering mementingkan
aspek nilai kognitif (aspek kuantitatif), terlalu berpikir ahistoris, dan acap miskin orientasi.
Padahal, khazanah negeri kita memiliki sejumlah visi pendidikan alternatif yang
bisa berperan penting meningkatkan keterhubungan (linkage) antara pendidikan
dan kemandirian pencarian nafkah (livelihood). Salah satunya adalah konsep
pendidikan kedesaan.
Ki
Sarino
Sejarah
pendidikan kedesaan dapat dilacak jauh hingga ke Ki Sarino Mangunpranoto
(1910-1983), salah satu murid Ki Hajar Dewantara (1889-1959) di Taman Siswa. Ki
Sarino jugalah yang mendirikan Taman Madya (setingkat SMU) dan Taman Dewasa di
bawah payung Taman Siswa pada 1949. Pada masa Orde Baru pun, beliau pernah
menjadi menteri pendidikan.
Menurut
Ki Sarino, “Pendidikan Kedesaan” atau pendidikan farming (Pertanian), adalah
pendidikan yang berfokus pada pedesaan (Surjomihardjo, Prisma, 1984). Sebagai
perwujudan konkret, Ki Sarino mendirikan Sekolah Farming Menengah Atas (SFMA)
di Semarang pada 1959.
Berdasarkan
konsep ini, Ki Sarino menyadari bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah
masyarakat agraris pedesaan dengan sumber daya pertanian berlimpah. Maka itu,
Ki Sarino menginginkan masyarakat pedesaan mampu mengolah sumber daya itu demi
bisa hidup berkecukupan, juga mampu memiliki mental dan pemikiran modern.
Jadi,
modernisasi dalam pertanian bukan bersibuk pada kecanggihan teknologi,
melainkan lebih pada mentalitas modern. Makanya, Pendidikan Kedesaan Ki Sarino
mengutamakan pendadaran akal dan mental dari masyarakat banyak untuk mencapai
keterampilan hidup (life-skills) atau sarana penghidupan ekonomi.
Jadi,
ada tiga keunggulan pendidikan kedesaan. Pertama, jebolan pendidikan kedesaan
diharapkan dapat terintegrasi baik dengan masyarakat. Ini karena berbekal
pengetahuan praktis yang mereka dapatkan selama pendidikan, mereka bersama-sama
masyarakat akan mampu bahu-membahu mengangkat taraf pemikiran
(mental modern) sekaligus penghidupan komunitas (ekonomis).
Kedua,
alumni pendidikan kedesaan akan menjadi pribadi yang seimbang. Selain memiliki
pikiran cerdas dan terbuka yang mampu beradaptasi dengan perubahan, mereka juga
memiliki bekal keterampilan praktis untuk mencari penghidupan sendiri. Artinya,
mereka mampu memadukan aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek praktis-aplikatif
dari pengetahuan tersebut (kegunaan di lapangan).
Ketiga,
pendidikan kedesaan mampu menggugah anak didik supaya menjadi pribadi yang
cendekia, maju, mandiri, dan berguna bagi masyarakat sebab mereka akan mampu
berwirausaha dan membuka lapangan kerja.Dengan membuka lapangan kerja bagi
sebanyak mungkin orang, akan tercipta efek berganda (multiplier effect) besar
yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang memeratakan hasil
kegiatan ekonomi ke masyarakat lebih luas.
Dengan
kata lain, inti pendidikan bagi Ki Sarino adalah menyiapkan anak didik
menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri dan lingkungan. Konsep
pendidikan kedesaan semacam ini jelas relevan di tengah pendidikan di
Indonesia saat ini yang terlalu berorientasikan pada aspek kognitif anak didik
demi mencapai sasaran-sasaran kuantitatif seperti nilai ujian.
Sementara
itu, aspek praksis terkompromikan. Lahirlah generasi masa depan yang tidak
seimbang. Mereka hanya cerdas akal tapi kurang berakhlak, serta tidak memiliki
keterampilan memadai untuk hidup mandiri, apalagi memberikan manfaat bagi orang
lain.
Oleh
karena itu, seyogianya kita mengangkat kembali konsep Pendidikan Kedesaan;
sehingga Indonesia akan memiliki generasi masa depan yang cerdas, cakap, gemar
bekerja keras, terampil, mandiri, prigel, bermental wirausaha, pandai mengolah
sumber daya alam yang tersedia, serta berguna bagi masyarakat kebanyakan. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar