Minggu, 05 Mei 2013

Menggagas Pendidikan Kedesaan


Menggagas Pendidikan Kedesaan
Satrio Wahono ;  Sosiolog dan Magister Filsafat UI
SINAR HARAPAN, 04 Mei 2013


Salah satu tujuan pendidikan hakiki adalah memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan seyogianya mampu membangunkan potensi manusia menjadi nyata dan mengoptimalkannya. Sosok konkret yang didambakan pendidikan adalah pribadi berkarakter, berakhlak, cerdas, dan mandiri, baik mandiri dari segi pemikiran maupun pencarian penghidupan.

Sayangnya, masih banyak institusi pendidikan kita—mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi—yang masih melupakan esensi di atas. Lihat saja, betapa banyak lulusan sarjana atau sekolah menengah atas yang justru tidak mampu bersaing di dunia kerja alias menjadi “pengangguran intelektual”. Alih-alih menjadi kontributor bagi dunia kerja dan perekonomian, mereka justru menjadi beban masyarakat.
Inilah akibat para perencana pendidikan di negeri ini yang sering mementingkan aspek nilai kognitif (aspek kuantitatif), terlalu berpikir ahistoris, dan acap miskin orientasi. Padahal, khazanah negeri kita memiliki sejumlah visi pendidikan alternatif yang bisa berperan penting meningkatkan keterhubungan (linkage) antara pendidikan dan kemandirian pencarian nafkah (livelihood). Salah satunya adalah konsep pendidikan kedesaan.

Ki Sarino

Sejarah pendidikan kedesaan dapat dilacak jauh hingga ke Ki Sarino Mangunpranoto (1910-1983), salah satu murid Ki Hajar Dewantara (1889-1959) di Taman Siswa. Ki Sarino jugalah yang mendirikan Taman Madya (setingkat SMU) dan Taman Dewasa di bawah payung Taman Siswa pada 1949. Pada masa Orde Baru pun, beliau pernah menjadi menteri pendidikan.

Menurut Ki Sarino, “Pendidikan Kedesaan” atau pendidikan farming (Pertanian), adalah pendidikan yang berfokus pada pedesaan (Surjomihardjo, Prisma, 1984). Sebagai perwujudan konkret, Ki Sarino mendirikan Sekolah Farming Menengah Atas (SFMA) di Semarang pada 1959.

Berdasarkan konsep ini, Ki Sarino menyadari bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah masyarakat agraris pedesaan dengan sumber daya pertanian berlimpah. Maka itu, Ki Sarino menginginkan masyarakat pedesaan mampu mengolah sumber daya itu demi bisa hidup berkecukupan, juga mampu memiliki mental dan pemikiran modern.

Jadi, modernisasi dalam pertanian bukan bersibuk pada kecanggihan teknologi, melainkan lebih pada mentalitas modern. Makanya, Pendidikan Kedesaan Ki Sarino mengutamakan pendadaran akal dan mental dari masyarakat banyak untuk mencapai keterampilan hidup (life-skills) atau sarana penghidupan ekonomi.
Jadi, ada tiga keunggulan pendidikan kedesaan. Pertama, jebolan pendidikan kedesaan diharapkan dapat terintegrasi baik dengan masyarakat. Ini karena berbekal pengetahuan praktis yang mereka dapatkan selama pendidikan, mereka bersama-sama masyarakat akan mampu bahu-membahu mengangkat taraf pemikiran (mental modern) sekaligus penghidupan komunitas (ekonomis).

Kedua, alumni pendidikan kedesaan akan menjadi pribadi yang seimbang. Selain memiliki pikiran cerdas dan terbuka yang mampu beradaptasi dengan perubahan, mereka juga memiliki bekal keterampilan praktis untuk mencari penghidupan sendiri. Artinya, mereka mampu memadukan aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek praktis-aplikatif dari pengetahuan tersebut (kegunaan di lapangan).

Ketiga, pendidikan kedesaan mampu menggugah anak didik supaya menjadi pribadi yang cendekia, maju, mandiri, dan berguna bagi masyarakat sebab mereka akan mampu berwirausaha dan membuka lapangan kerja.Dengan membuka lapangan kerja bagi sebanyak mungkin orang, akan tercipta efek berganda (multiplier effect) besar yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas yang memeratakan hasil kegiatan ekonomi ke masyarakat lebih luas.

Dengan kata lain, inti pendidikan bagi Ki Sarino adalah menyiapkan anak didik menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri dan lingkungan. Konsep pendidikan kedesaan semacam ini jelas relevan di tengah pendidikan di Indonesia saat ini yang terlalu berorientasikan pada aspek kognitif anak didik demi mencapai sasaran-sasaran kuantitatif seperti nilai ujian.

Sementara itu, aspek praksis terkompromikan. Lahirlah generasi masa depan yang tidak seimbang. Mereka hanya cerdas akal tapi kurang berakhlak, serta tidak memiliki keterampilan memadai untuk hidup mandiri, apalagi memberikan manfaat bagi orang lain.

Oleh karena itu, seyogianya kita mengangkat kembali konsep Pendidikan Kedesaan; sehingga Indonesia akan memiliki generasi masa depan yang cerdas, cakap, gemar bekerja keras, terampil, mandiri, prigel, bermental wirausaha, pandai mengolah sumber daya alam yang tersedia, serta berguna bagi masyarakat kebanyakan. Semoga!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar