|
TEMPO.CO.ID,
20 Mei 2013
PADA 25 April 1953, Francis Crick
dan James Watson menerbitkan makalah satu halaman yang diyakini bakal membawa
revolusi dalam penelitian di bidang biologi. Berbekal karya Rosalind Franklin
dan Maurice Wilkins, mereka menemukan struktur dua ulir DNA, yang membukakan
jendela bagaimana organisme mewarisi dan menyimpan catatan-catatan biologis.
Tapi, 60 tahun kemudian, apakah penemuan mereka telah benar-benar membawa
dampak transformatif yang diharapkan dunia ini?
Media menandai ulang tahun ke-60
diterbitkannya makalah itu dengan gegap gempita, mengelu-elukannya sebagai
terobosan yang “mengusung era genetika,” dan menamakannya sebagai “salah satu
penemuan ilmiah paling penting sepanjang masa”. Koran Inggris, The
Guardian, memasang kepala berita “Selamat
Ulang Tahun DNA! Momen Emas yang Telah Mengubah Segalanya.”
Dalam beberapa hal, mereka benar.
Penemuan itu membentuk basis genetika dan membuka wilayah penelitian baru yang
menjanjikan, seperti biologi sintetis, di mana sistem-sistem biologis
diciptakan dan dimodifikasi untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu. Begitu
juga, ia telah memperlancar inovasi-inovasi penting, seperti pengobatan kanker
farmakogenetis, di mana kelainan-kelainan tertentu dalam kanker menjadi sasaran
obat.
Selain itu, DNA telah memperoleh nama yang mistis dalam budaya populer. Menurut Dorothy Nelkin dan Susan Lindee, DNA telah menjadi entitas yang dikeramatkan—setara dengan roh Kristen zaman ini, suatu esensi individu. Walaupun beberapa bentuk determinisme biologis, seperti kepercayaan bahwa ras atau gender menentukan nasib seseorang, telah ditolak secara luas, ide bahwa seseorang bisa secara genetis cenderung, katakan, suka berutang, menjadi diktator yang kejam, atau setia ikut memberikan suara dalam suatu pemilihan tetap diterima dalam masyarakat.
Selain itu, DNA telah memperoleh nama yang mistis dalam budaya populer. Menurut Dorothy Nelkin dan Susan Lindee, DNA telah menjadi entitas yang dikeramatkan—setara dengan roh Kristen zaman ini, suatu esensi individu. Walaupun beberapa bentuk determinisme biologis, seperti kepercayaan bahwa ras atau gender menentukan nasib seseorang, telah ditolak secara luas, ide bahwa seseorang bisa secara genetis cenderung, katakan, suka berutang, menjadi diktator yang kejam, atau setia ikut memberikan suara dalam suatu pemilihan tetap diterima dalam masyarakat.
Tapi, nyaris dari awal—dan paling
intens sejak 1971, ketika majalah Time menerbitkan kolom
khusus berjudul “The New
Genetics: Man into Superman”—sains
dan masyarakat sama-sama cenderung terlalu membesar-besarkan dampak genetika.
Ketika Human Genom Project
menerbitkan konsep pertama genom manusia yang sepenuhnya berentet pada 2000,
Henry Gee, editor jurnal Nature, meramalkan bahwa ilmuwan akan mampu
“mengubah seluruh organisme sesuai dengan kebutuhan dan selera kita” menjelang
2099. “Kita bakal memiliki ekstra-kaki dan tangan bila kita menghendakinya,”
demikian katanya, “mungkin bahkan sayap untuk terbang.”
Tiga belas tahun kemudian, ramalan
Gee semakin tidak mungkin terjadi, dengan gagalnya Human Genom Project memenuhi
harapan. Pada 2010, penulis sains Nicholas Wade mengeluh, sepuluh tahun setelah
diluncurkannya proyek itu, para pakar genetika “nyaris kembali ke titik awal
dalam pencarian akar penyakit-penyakit yang biasa”.
Misalnya, studi yang dilakukan
selama 12 tahun terhadap 19 ribu orang wanita kulit putih Amerika menemukan
bahwa 101 tanda genetis yang secara statistik dikaitkan dengan penyakit jantung
ternyata tidak memiliki nilai prediktif. Sebaliknya, catatan medis yang
dilaporkan sendiri oleh keluarga terbukti sangat akurat dalam memprediksi
penyakit.
Sebenarnya, kebanyakan
penyakit tidak disebabkan oleh satu gen saja. Walhasil, setelah mencapai
kesuksesan awal dengan penyakit-penyakit khas satu gen, seperti penyakit
Huntington, kemajuan selanjutnya macet. Varian-varian biasa tidak banyak
menjelaskan risiko genetis yang ada.
Genetika menjadi sumber harapan
yang sangat tinggi bila menyangkut pengobatan kanker. Antara 1962 dan 1985,
angka kematian terkait dengan kanker di Amerika Serikat meningkat 8,7 persen
kendati digunakannya kemoterapi dan terapi radiasi yang agresif, yang
menunjukkan bahaya pendekatan satu ukuran untuk semua dalam pengobatan kanker.
Pemahaman penentu genetis dari respons yang ditunjukkan pasien, demikian
diyakini, bakal memungkinkan dokter mengembangkan program pengobatan secara
individu sehingga membebaskan lebih banyak pasien yang responsif dari
pengobatan berlebihan yang berbahaya.
Tapi pasien bukan satu-satunya
variabel. Kanker juga bersifat heterogen, bahkan pada pasien dengan diagnosis
yang sama. Setelah merentetkan seluruh genom tumor kanker payudara dari 50
pasien, para peneliti menemukan bahwa hanya 10 persen dari tumor itu mengandung
lebih dari tiga mutasi yang sama. Menurut studi baru-baru ini yang memetakan
mutasi genetis pada 2.000 tumor, kanker payudara sebenarnya bisa dibagi menjadi
sepuluh sub-kelompok.
Begitu juga, analisis sel ganas
keseluruhan genom dari empat pasien kanker ginjal menunjukkan bahwa, sementara
sel-sel itu terkait satu sama lain, ia telah bermutasi ke beberapa arah. Dua
pertiga dari kelainan genetis yang diidentifikasi ternyata tidak berulang pada
tumor yang sama, apalagi dalam tumor lainnya yang sudah disebarkan ke beberapa
bagian tubuh lainnya melalui tindak metastasis. Mengingat target obat
farmakogenetis itu hanya satu mutasi dalam tumor, maka ia tidak mesti ampuh
juga pada mutasi lainnya. Di samping itu, sementara kanker menyesuaikan diri
dengan obat, mutasi selanjutnya mungkin terjadi, sehingga menurunkan daya ampuh
obat.
Yang jelas, farmakogenetika telah
membawa perubahan yang dalam bagi sementara pasien. Barbara Bradfield, salah
seorang subyek awal dalam uji coba obat kanker farmakogenetis Herceptin, sudah
berada dalam keadaan stabil selama lebih dari 20 tahun berkat memakan obat itu.
Tapi kisah keberhasilan ini terlalu jarang terjadi untuk dinamakan “era emas”
genetika.
Tingginya harga obat ini membatasi
dampak baiknya juga. Penggunaan Herceptin bisa menelan biaya sampai US$ 40 ribu
per tahun, sedangkan obat-obat yang lebih baru bahkan menelan biaya yang lebih
besar, sehingga obat kanker yang baru itu sangat mahal bagi sebagian besar
pasien.
Mahkamah Agung AS baru-baru ini
dihadapkan pada persoalan apakah gen bisa dipatenkan. Jika pengadilan
mengesahkan paten yang diklaim perusahaan biologi Myriad Genetics atas dua gen yang, dalam beberapa varian, terkait
dengan risiko tinggi kanker payudara dan indung telur, perusahaan ini bakal
memegang hak eksklusif penggunaan gen-gen itu dalam penelitian, diagnosis, dan
pengobatan selama dua dekade, sehingga menutup pintu bagi perusahaan-perusahaan
pesaing dalam mengembangkan obat-obat alternatif. Wanita sudah tidak bisa
memperoleh akses tes diagnostik yang mereka perlukan, karena perusahaan
asuransi menolak membayar harga yang tinggi yang dikenakan perusahaan tersebut.
Perusahan-perusahaan farmasi
mengklaim bahwa paten-paten, yang sekarang meliputi 25-40 persen dari genom
manusia, vital bagi mereka untuk mengembalikan investasi yang telah mereka
tanamkan. Tapi paten-paten semacam ini merusak perayaan “ulang tahun” DNA bagi
pasien yang bakal menarik manfaat dari hasil penelitian genetis—jika saja
mereka bisa memperolehnya dengan harga yang terjangkau. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar