Senin, 20 Mei 2013

Aku Serakah, maka Aku Ada


Aku Serakah, maka Aku Ada
Prija Djatmika ;  Ketua Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang
JAWA POS, 20 Mei 2013

PENGAKUAN Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany bahwa banyak anak buahnya yang mbeling alias suka menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan sendiri alias korupsi (Jawa Pos, 17/5) semoga bukan pengakuan apologi untuk memaklumi penyimpangan demi penyimpangan yang dilakukan oknum pegawai pajak selama ini. Apalagi Eko Darmayanto, orang pajak yang tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta itu, mengaku mengetahui ada perusahaan kerabat sang Dirjen yang bermasalah dengan pajak.

Menghadapi tidak jeranya para oknum pajak menyalahgunakan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri ini, secara kriminologi (ilmu tentang kejahatan), sesungguhnya tidaklah sulit untuk dijelaskan. Pegawai pajak yang korupsi dalam referensi kejahatan elite 
white collar crime (WCC) digolongkan sebagai kejahatan individu di tempat pekerjaannya (individual occupational). Kejahatan jenis ini memang sulit diberantas karena kausa atau sebab kejahatan adalah keserakahan (greed) pelaku.

Berbeda dengan jenis kejahatan jalanan (street crime) seperti penodongan, pencurian, penjambretan, dan kejahatan kekerasan berorientasi keuntungan ekonomi lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (survival need). Kejahatan jalanan mudah diselesaikan dengan memberikan pekerjaan atau sumber nafkah bagi mantan atau calon-calon pelakunya sambil memperbaiki mentalnya. Perlakuan sekeras apa pun kepada mereka, termasuk "tradisi" dikeroyok massa, tak menghentikan kejahatan jenis ini karena terkait pemenuhan kebutuhan dasar tadi. 


Namun, untuk kejahatan elite yang dilakukan kaum pekerja kantoran atau pejabat publik, tidaklah mudah menyelesaikannya karena sumbernya adalah keserakahan pelaku. Keserakahan ini bersumber dari tuntutan gaya hidup, seperti glamorisme dan hedonisme. Greed is good, serakah itu baik, kata Gordon Gekko, karakter korup di film Wall Street. Ketika ada pelaku korupsi tertangkap, apalagi korupsi di dunia politik seperti kasus Ahmad Fathanah cs, bau keserakahan ini begitu kuat. Seolah-olah kalau tidak serakah, mereka terasing dari pergaulan. 

Filsafat hidup para hedonis adalah ''saya berbelanja, maka saya ada'' (pelesetan dari filsafat Cartesian, "saya berpikir, maka saya ada"). Alhasil, terjadilah penumpukan benda-benda bermerek, gaya hidup sehari-hari yang glamor dan mahal. Pertanyaan ketika bangun pagi bukan lagi "saya makan apa hari ini" ala penjahat jalanan, tetapi "saya makan apa dan di mana". Kalau perlu ditambahi "dengan ditemani siapa" karena bertebaran artis atau model yang bisa dibeli. Gaya hidup seperti itu kini mewabah seperti virus jahat. Mulai politisi hingga pengacara (yang untuk tampil di televisi pun merasa perlu harus bercincin permata yang gemerlap). Repotnya sekarang ditiru para pegawai kantoran, seperti oknum pegawai pajak yang korup itu.

Filsafat lanjutan "saya serakah, maka saya ada" itu patologis karena mengerdilkan peradaban dan kemanusiaan. Sangat terasa asing petuah Mahatma Gandhi yang berpedoman the little living but the big thinking. Hidup sederhana, tetapi berpikir dan berbuat hal-hal besar untuk kemanusiaan dan peradaban. Iklim kapitalis memang sangat memuja kebendaan dan citra lahiriah (prestise). Menurut Ki Ageng Suryomentaram, filsuf Mataram, putra Hamengku Buwono VII, kondisi ini menyebabkan hidup mayoritas orang hanya untuk mengejar samad (harta), drajat (kehormatan) dan kramat (kekuasaan). Lahirlah pribadi-pribadi berkualitas kramadangsa, yakni pribadi-pribadi yang sibuk mengejar kebutuhan materi dan lahiriahnya sendiri, tanpa peduli korban-korban sosial yang tersungkur.

Korupsi adalah salah satu modus kramadangsa itu. Dalam konteks kriminologi kesejahteraan, korupsi yang menggerogoti kualitas pelayanan publik akan sangat signifikan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, tingkat kesejahteraan yang rendah menjadi akar kejahatan (kriminogenik) bagi munculnya kejahatan-kejahatan lain di masyarakat. Peradaban menjadi kerdil.

Menurut kriminologi kesejahteraan, kejahatan tidak akan mewabah di masyarakat yang sejahtera. Oleh karena itulah, hasil penelitian menunjukkan, di negara yang indeks persepsi korupsinya rendah, tingkat kesejahteraannya tinggi dan tingkat kriminalitasnya (criminal rate) rendah. Syarat utama untuk bisa mewujudkan ciri-ciri masyarakat sejahtera itu adalah ketersediaan dana di APBN yang lebih dari cukup. Ironisnya, sumber utama pemasukan untuk APBN adalah pajak. Sementara itu, tingkat kesadaran pembayar pajak masyarakat kita masih rendah. Pajak yang dibayarkan pun masih dikorup. Karena itu, dalam konstelasi seperti ini, maklumlah kita bila angka kejahatan di masyarakat terus naik akhir-akhir ini, terutama kejahatan kekerasan yang berorientasi ekonomi.

Perlu ditekankan kepada para pegawai pajak, betapa kompleksnya implikasi dari pembayaran pajak yang dikorup. Soal usul Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas agar ada tindakan progresif untuk meneropong kekayaan para pegawai pajak dan tidak sekadar melaporkan harta kekayaannya, perlu dibuat mekanismenya agar ada transparansi sumber kekayaan mereka. Selain itu, direalisasikan ide pemiskinan terhadap koruptor dalam putusan-putusan hakim tipikor mengingat seriusnya implikasi korupsi bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar