|
KORAN
TEMPO, 20 Mei 2013
Tentang topik ini, dalam 1 tahun terakhir saya sudah tiga
kali menulis di media nasional. Rancangan Undang-Undang Ormas ini adalah salah
satu RUU yang lama dibahas serta mendapat perlawanan luas dari tokoh-tokoh dan
organisasi kemasyarakatan sipil. Sejak 2006, belasan ormas sipil yang tergabung
dalam Koalisi Kebebasan Berekspresi (KKB) menolak RUU. Kemudian belasan ormas
bidang media bergabung, yang menyebabkan koalisi mempunyai nama lain, yaitu
Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi.
Selanjutnya koalisi menjadi lebih besar lagi dengan
bergabungnya organisasi buruh, pekerja, serta organisasi keagamaan, termasuk
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sehingga mempunyai nama lain yang disebut
sebagai Koalisi Akbar Masyarakat Sipil Indonesia (KAMSI), yang pada 28 Februari
2013 mengeluarkan siaran pers menolak RUU Ormas. Selanjutnya, pada 4 April,
mereka mengeluarkan tujuh alasan penting menolak RUU, yaitu 1) RUU Ormas Tidak
Urgen; 2) Alat Represi dan Rezim Otoriter; 3) Anti-Kemajemukan; 4)
Inkonstitusional; 5) Diskriminatif; 6) RUU Ormas Disharmoni; 7) RUU Ormas
Membubarkan Ormas-ormas Perkumpulan. KAMSI terdiri atas sekitar 200 ormas sipil
dan tokoh masyarakat.
Pada Mei ini, setelah reses, DPR bermaksud membicarakan
kembali RUU dan berusaha mengesahkannya sebagai undang-undang. Itulah sebabnya
saya merasa penting untuk kembali menulis artikel tentang RUU Ormas ini dengan
membaca draf RUU versi terakhir, yaitu versi draf 10 April 2013, tepat sebelum
DPR melakukan reses. Apakah seluruh masukan sudah cukup diakomodasi? Apakah ada
perubahan substansial?
Ternyata, setelah membaca secara saksama, tidak terdapat perubahan
substansial, bahkan tampak semacam akal-akalan. Betapa tidak, beberapa contoh
memberikan gambaran itu. Pasal yang semula berbunyi: Ormas dilarang menganut,
mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan
Pancasila. Yang dimaksud dengan "ajaran dan paham yang bertentangan dengan
Pancasila" antara lain ajaran atau paham komunisme, Marxisme, Leninisme,
kapitalisme, dan liberalisme; sekarang diubah menjadi: Yang dimaksud dengan
''ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila'' adalah ajaran
Atheisme, komunisme/Marxisme-Leninisme.
Sebelumnya melarang hampir semua ideologi, sekarang
dibatasi. Ini adalah stigma Orde Baru, ketakutan yang berlebihan. Mengapa
ideologi fasisme dan otoritarian lainnya tidak dimasukkan? Bagaimana kita bisa
bekerja dan berdiskusi bebas, terutama media massa, karena tugasnya antara lain
membicarakan masalah dari berbagai macam sudut pandang dan menyebarluaskannya?
(Lihat Pasal 28 F UUD 1945). Pasal-pasal tersebut di atas adalah pasal karet yang
selalu digunakan oleh penguasa otoriter untuk melakukan tindakan represif
terhadap warganya yang dicoba disisipkan oleh sebagian birokrat dan atau
politikus yang masih berpikiran otoriter.
Gelombang penolakan RUU Ormas yang begitu besar dan
melibatkan organisasi sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu NU dan
Muhammadiyah, dicoba diakali dengan memasukkan tambahan pasal yang, antara
lain, menyatakan: Dalam melakukan pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menghormati dan mempertimbangkan
aspek kesejarahan, rekam jejak, peran, dan integritas Ormas dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 41, IA). Di samping itu, pada
pasal peralihan terdapat beberapa alternatif yang mencoba ingin memberi
keistimewaan kepada NU dan Muhammadiyah, sebagaimana antara lain pasal
alternatif 85 b ini: Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad
1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum
(Rechtsper-soonlijkheid van Vereenigingen) sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama, tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya dan tidak harus melakukan
pendaftaran sesuai ketentuan Undang-Undang ini.
Secara khusus pula tim perumus pada 10 April 2013 memberi
catatan bahwa pemerintah akan menyiapkan draf yang mencantumkan Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama dalam batang tubuh atau dicantumkan dalam penjelasan. Semua
usaha ini adalah tindakan akal-akalan yang mencoba membendung penolakan
terhadap RUU Ormas. Saya secara pribadi sangat percaya bahwa organisasi besar,
seperti NU dan Muhammadiyah, yang punya pengalaman sejarah panjang, mempunyai
kredibilitas tinggi untuk mengetahui secara persis mana yang substansial dan
mana yang tidak. Lewat siaran pers yang dipelopori oleh Muhammadiyah, kita
mengetahui tujuh alasan penolakan KAMSI. Hanya satu yang coba diakomodasi
dengan memberi keistimewaan kepada beberapa organisasi keagamaan sebagaimana
disebutkan di atas. Namun hal ini dapat bersifat diskriminatif terhadap
organisasi lainnya.
Pada prinsipnya, RUU ini tetap tidak berubah, tetap
otoriter dan antidemokrasi. RUU ini sangat berambisi secara ketat mengatur
seluruh ormas dengan berbagai kegiatan yang didirikan oleh tiga orang atau lebih,
baik yang berbadan hukum maupun tidak. Ormas dapat diberi sanksi penghentian
sementara kegiatan dan atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau status
badan hukum secara sepihak karena melanggar pasal-pasal larangan yang umumnya
juga bersifat karet. Pada bagian menimbang yang merupakan landasan filosofis
dan yuridis, RUU ini melupakan Pasal 28 F UUD 1945 yang menjamin hak
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan, mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, serta menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. RUU ini justru
menggunakan pertimbangan menghormati kebebasan dan hak asasi orang lain untuk
mengurangi kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
Ketika awal April ini DPR menunda pengesahan RUU, Menteri
Dalam Negeri mengatakan hal ini adalah sebuah ironi karena secara hukum masih
berlaku UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang ormas yang otoriter dan lebih keras serta
bertentangan dengan UUD 1945. Menurut saya, justru yang sangat menyedihkan
adalah mengapa Mendagri dalam alam yang demokratis ini, pada 20 April 2012,
masih mengeluarkan Permendagri Nomor 33 tentang pedoman pendaftaran organisasi
kemasyarakatan di lingkungan kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah,
yang tidak kalah represifnya dan mendasarkan dirinya pada UU Nomor 8 Tahun 1985
itu. Bukankah ini justru yang ironi?
Raison de'tre sebab turun dan lahirnya undang-undang ormas
adalah mengontrol secara ketat organisasi kemasyarakatan, termasuk melakukan
tindakan represif. Secara paradigmatik, itu undang-undang yang otoriter dan
antidemokrasi, sekaligus bertentangan dengan UUD 1945 yang sudah seharusnya
ditinggalkan. Sebaiknya sekarang Permendagri Nomor 33 dan UU Nomor 8 Tahun 1985
dicabut. Mari kita membahas dan memperbaiki UU Perkumpulan dan Yayasan untuk
Indonesia, yang lebih baik dan demokratis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar