|
REPUBLIKA,
14 Mei 2013
Radikal
berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar (root). Dari arti secara bahasa ini kemudian muncul istilah radikalisme
berarti pemikiran dan peri laku yang mengekspresikan suatu cita-cita untuk
melakukan perubahan secara mendasar dan dramatis, terutama dalam pemerintahan.
Dalam kondisi tertentu, pemikiran radikal atau reformasi radikal yang
konstruktif sebenarnya sangat diperlukan.
Radikalisme
atas nama agama sudah lama terjadi di semua kelompok agama. Hanya, dunia dikejutkan oleh terorisme dalam bentuk serangan WTC pada 11 September
2001. Radikalisme dan terorisme atas nama agama ini pun semakin menakutkan
karena meluas ke seluruh dunia. Pemerintah kemudian membentuk Badan Nasional
untuk Penanggulan Terorisme (BNPT) pada 2010 yang sekarang efektivitas
programnya mulai dipertanyakan.
Radikalisme
Islam yang semula muncul di Timur Tengah itu muncul juga di Indonesia di era
reformasi ini. Iklim kebebasan di era reformasi ini menjadi momentum bagi
kelompok radikal untuk mengekspresikan dan menyebarkan paham dan sikap
keagamaan mereka. Radikalisme keagamaan ini adakalanya bersifat ideologis dan
adakalanya bersifat spontan (nonideologis).
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk menanggulangi radikalisme ini, baik dalam bentuk
deradikalisasi maupun kontraradikalisme (counterradicalism).
Yang pertama ditujukan kepada orang-orang yang sudah berpaham dan berperilaku
radikal, sedangkan yang kedua ditujukan kepada orang-orang yang potensial bisa
terpengaruh paham dan perilaku radikal.
Kelompok
radikal Muslim menggunakan doktrin keagamaan secara literal untuk menjustifikasi
aksi mereka sebagai bagian dari amar
ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran) dan
bahkan sebagai jihad dalam rangka menegakkan agama Islam. Oleh karena itu,
penggunaan pendekatan teologis sangat penting, di samping penggunaan pendekatan-pendekatan
lainnya.
Organisasi
keagamaan, ulama, tokoh agama, khatib, dan dai (mubaligh) memi- liki peran penting untuk menyampaikan Islam yang
sebenarnya rahmatan lil `alamien, karena mereka adalah pihak-pihak yang
berkompeten dalam bidang agama dan bisa berbicara secara langsung dengan umat.
Konsekuensinya, mereka perlu memiliki persamaan persepsi tentang amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan
kekerasan, serta mekanisme penyelesaian perselisihan secara damai.
Hanya,
hal ini tampaknya tidak mudah diwujudkan karena, dalam hal penyiaran agama,
Indonesia adalah satu-satunya negara Muslim yang sangat bebas.
Tidak ada aturan atau persyaratan kompetensi bagi seorang khatib dan dai. Dalam
kondisi yang demikian ini, tidak ada jaminan mutu bagi publik (umat) untuk
mengetahui kompetensi khatib dan dai.
Dalam
kenyataannya, sebagian khatib dan dai cenderung menebar doktrin keberanian
dan militansi untuk menegakkan kebenaran yang bisa berimplikasi kepada
intoleransi dan kekerasan. Di antara mereka ada yang gemar mencaci maki atau
bahkan menunjukkan kebencian kepada pihak lain yang tidak sejalan dengan
paham mereka.
Oleh
karena itu, perlu upaya-upaya peningkatan kualitas dakwah dan pelurusan
arahnya, terutama melalui ada nya surat rekomendasi yang menunjukkan kompetensi
khatib dan dai. Sebaiknya, rekomendasi ini diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), ormas-ormas Islam yang bergabung dalam MUI, atau perguruan tinggi Agama
Islam (PTAI) yang terakreditasi.
Umat
serta pengurus masjid dan mushala diimbau untuk mendukung upaya ini, dengan
hanya mengundang para khatib dan dai yang sudah memiliki rekomendasi tersebut
dan tidak mengundang orang-orang yang belum jelas identitasnya. Surat
rekomendasi tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kegiatan dakwah dan
tidak pula untuk mengooptasi khatib dan dai oleh pemerintah, sebagaimana
terjadi di banyak negara Muslim.
Ia justru
dimaksudkan untuk memberikan jaminan mutu kepada masyarakat dalam kegiatan
khutbah dan ceramah agama. Di samping itu, surat rekomendasi itu juga akan
berguna bagi upaya untuk meluruskan khutbah atau ceramah agama yang mengarah
kepada radikalisme karena masing-masing lembaga pemberi rekomendasi bisa ikut
bertanggung jawab untuk mengarahkan khatib dan dai yang diberikan rekomendasi.
Jadi,
akan lebih baik jika BNPT memberikan perhatian lebih besar kepada pendekatan
teologis ini dengan melibatkan organisasi-organisasi Islam. Penguatan penegakan
hukum dan keamanan tetap diperlukan seperti yang telah berlangsung selama ini.
Disamping itu, upaya-upaya untuk menghilangkan faktor-faktor nonagama juga
perlu dilakukan, baik faktor sosiologis, psikologis, politik, maupun
ekonomi.
BNPT
kiranya bisa membuat proyek-proyek yang mengintegrasikan antara program
deradikalisasi dan program pemberdayaan ekonomi bagi kelompok sasaran (dan
keluarga mereka) yang telah mengalami proses hukum. Sedangkan, terkait dengan
faktor eksternal, pemerintah bisa meningkatkan perannya dalam penyelesaian
konflik Palestina-Israel, Afghanistan, Irak, dan Rohingya secara damai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar