Rabu, 15 Mei 2013

Langkah Deradikalisasi


Langkah Deradikalisasi
Masykuri Abdillah ;  Guru Besar UIN Jakarta
REPUBLIKA, 14 Mei 2013


Radikal berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar (root). Dari arti secara bahasa ini kemudian muncul istilah radikalisme berarti pemikiran dan peri laku yang mengekspresikan suatu cita-cita untuk melakukan perubahan secara mendasar dan dramatis, terutama dalam pemerintahan. Dalam kondisi tertentu, pemikiran radikal atau reformasi radikal yang konstruktif sebenarnya sangat diperlukan.

Radikalisme atas nama agama sudah lama terjadi di semua kelompok agama. Hanya, dunia dikejutkan oleh terorisme dalam bentuk serangan WTC pada 11 September 2001. Radikalisme dan terorisme atas nama agama ini pun semakin menakutkan karena meluas ke seluruh dunia. Pemerintah kemudian membentuk Badan Nasional untuk Penanggulan Terorisme (BNPT) pada 2010 yang sekarang efektivitas programnya mulai dipertanyakan.

Radikalisme Islam yang semula muncul di Timur Tengah itu muncul juga di Indonesia di era reformasi ini. Iklim kebebasan di era reformasi ini menjadi momentum bagi kelompok radikal untuk mengekspresikan dan menyebarkan paham dan sikap keagamaan mereka. Radikalisme keagamaan ini adakalanya bersifat ideologis dan adakalanya bersifat spontan (nonideologis). 

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi radikalisme ini, baik dalam bentuk deradikalisasi maupun kontraradikalisme (counterradicalism).
Yang pertama ditujukan kepada orang-orang yang sudah berpaham dan berperilaku radikal, sedangkan yang kedua ditujukan kepada orang-orang yang potensial bisa terpengaruh paham dan perilaku radikal.
Kelompok radikal Muslim menggunakan doktrin keagamaan secara literal untuk menjustifikasi aksi mereka sebagai bagian dari amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran) dan bahkan sebagai jihad dalam rangka menegakkan agama Islam. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan teologis sangat penting, di samping penggunaan pendekatan-pendekatan lainnya. 

Organisasi keagamaan, ulama, tokoh agama, khatib, dan dai (mubaligh) memi- liki peran penting untuk menyampaikan Islam yang sebenarnya rahmatan lil `alamien, karena mereka adalah pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang agama dan bisa berbicara secara langsung dengan umat. Konsekuensinya, mereka perlu memiliki persamaan persepsi tentang amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan kekerasan, serta mekanisme penyelesaian perselisihan secara damai. 

Hanya, hal ini tampaknya tidak mudah diwujudkan karena, dalam hal penyiaran agama, Indonesia adalah satu-satunya negara Muslim yang sangat bebas.
Tidak ada aturan atau persyaratan kompetensi bagi seorang khatib dan dai. Dalam kondisi yang demikian ini, tidak ada jaminan mutu bagi publik (umat) untuk mengetahui kompetensi khatib dan dai.

Dalam kenyataannya, sebagian khatib dan dai cenderung menebar doktrin keberanian dan militansi untuk menegakkan kebenaran yang bisa berimplikasi kepada intoleransi dan kekerasan. Di antara mereka ada yang gemar mencaci maki atau bahkan menunjukkan kebencian kepada pihak lain yang tidak sejalan dengan paham mereka.

Oleh karena itu, perlu upaya-upaya peningkatan kualitas dakwah dan pelurusan arahnya, terutama melalui ada nya surat rekomendasi yang menunjukkan kompetensi khatib dan dai. Sebaiknya, rekomendasi ini diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas-ormas Islam yang bergabung dalam MUI, atau perguruan tinggi Agama Islam (PTAI) yang terakreditasi. 

Umat serta pengurus masjid dan mushala diimbau untuk mendukung upaya ini, dengan hanya mengundang para khatib dan dai yang sudah memiliki rekomendasi tersebut dan tidak mengundang orang-orang yang belum jelas identitasnya. Surat rekomendasi tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kegiatan dakwah dan tidak pula untuk mengooptasi khatib dan dai oleh pemerintah, sebagaimana terjadi di banyak negara Muslim. 

Ia justru dimaksudkan untuk memberikan jaminan mutu kepada masyarakat dalam kegiatan khutbah dan ceramah agama. Di samping itu, surat rekomendasi itu juga akan berguna bagi upaya untuk meluruskan khutbah atau ceramah agama yang mengarah kepada radikalisme karena masing-masing lembaga pemberi rekomendasi bisa ikut bertanggung jawab untuk mengarahkan khatib dan dai yang diberikan rekomendasi.

Jadi, akan lebih baik jika BNPT memberikan perhatian lebih besar kepada pendekatan teologis ini dengan melibatkan organisasi-organisasi Islam. Penguatan penegakan hukum dan keamanan tetap diperlukan seperti yang telah berlangsung selama ini. Disamping itu, upaya-upaya untuk menghilangkan faktor-faktor nonagama juga perlu dilakukan, baik faktor sosiologis, psikologis, politik, maupun ekonomi. 

BNPT kiranya bisa membuat proyek-proyek yang mengintegrasikan antara program deradikalisasi dan program pemberdayaan ekonomi bagi kelompok sasaran (dan keluarga mereka) yang telah mengalami proses hukum. Sedangkan, terkait dengan faktor eksternal, pemerintah bisa meningkatkan perannya dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel, Afghanistan, Irak, dan Rohingya secara damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar