|
MEDIA
INDONSIA, 13 Mei 2013
UJIAN nasional (UN) terus memicu kontroversi. Silang
pendapat kian memanas akibat penyelenggaraannya pada 2013 yang chaotic. Bagi
para penentang, kekacauan itu menjadi amunisi untuk menyerang kebijakan UN. Polemik
mengenai UN menunjukkan pandangan yang terbelah dalam dua kutub yang
berlawanan. Pro-kontra yang sangat serius itu menandakan UN memang problematik
baik pada tataran konsep maupun implementasi. Pokok perdebatan mulai keabsahan,
manfaat, sampai aspek teknis pelaksanaan UN. Penting dicatat, Pasal 51 UU No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan basis legal tidak
menggunakan istilah ujian nasional, tetapi evaluasi belajar.
Bila
mengikuti hiruk-pikuk perdebatan publik yang mengemuka di media massa, sejumlah
kalangan terutama praktisi dan pengamat pendidikan--terlepas apakah pandangan
mereka mencerminkan aspirasi mayoritas komunitas pendidikan atau
tidak--cenderung menolak UN. Untuk sebagian kecil, penolakan UN didasarkan pada
konsep-konsep pokok dan prinsipprinsip mendasar mengenai ujian nasional, yang
dikaitkan dengan proses pendidikan secara keseluruhan. Para penentang UN pada
kelompok itu mendasarkan penolakan mereka pada argumen-argumen penting dengan
merujuk ke teori-teori pedagogi yang fundamental.
Namun,
untuk sebagian besar, penentangan terhadap UN justru lebih didasarkan pada
aspek teknis dan ekses yang muncul akibat kebijakan UN. Aspek teknis antara
lain terkait dengan penyediaan logistik (eg pencetakan naskah soal, distribusi
ke daerah dan sekolah) yang pada 2013 ini mengalami kekacauan luar biasa.
Di
pihak lain, UN diklaim telah menimbulkan ekses negatif, yaitu membuat para
pelajar menderita stres karena mereka mengalami tekanan psikologis yang sangat
berat. UN juga diklaim hanya menyuburkan sikap dan perilaku tidak jujur karena
pelaksanaannya penuh dengan kecurangan (eg sontek, pembocoran soal, dan
pembagian kunci jawaban oleh oknum guru). Semua itu dianggap kontraproduktif
bagi upaya peningkatan mutu pendidikan dan kualitas lulus an pada semua jenjang
pendidikan--suatu hal yang men jadi salah satu tujuan utama penyelenggaraan UN.
Karena
itu, perdebatan mengenai UN harus ditekankan pada pembahasan isu-isu
substansial yang berkaitan dengan makna esensial pendidikan, melampaui aspek
legal dan masalahmasalah teknis atau ekses negatif yang muncul di luar kontrol
penyelenggara UN. Pertanyaan pokok yang patut diajukan ialah apakah UN
diperlukan? Jika memang perlu, apakah UN dapat menjadi penentu kelulusan atau
sekadar instrumen untuk memetakan mutu pendidikan? Apakah UN merupakan bentuk
evaluasi pendidikan atau pengukuran pencapaian prestasi akademik?
Penilaian dan pengukuran
Dalam
literatur pendidikan, ada dua istilah, penilaian (evaluation) dan pengukuran (measurement),
yang
oleh sebagian orang secara salah kaprah saling dipertukarkan. Bahkan tak
sedikit pengamat serta merta menyamakan kedua istilah tersebut dan menggunakannya
secara bergantian. James Popham, dalam buku Educational
Evaluation (1993), dapat membantu menjernihkan pengertian evaluation dan measurement.
Yang pertama ialah suatu bentuk appraisal process untuk mengetahui kualitas pendidikan, dengan
melihat pelaksanaan program pembelajaran (instructional
programs) dan kegiatan belajar-mengajar (teaching-learning activities).
Yang
kedua ialah suatu bentuk appraisal
process yang berkaitan dengan pemeringkatan atau pengukuran pencapaian
prestasi, dengan menggunakan indeks numerik tertentu, yang atas dasar itu
seseorang menempati posisi tinggi/ rendah. Dalam evaluation, appraisal process mencakup 1) pilihan subject matter yang diajarkan, 2)
efektivitas suatu metode pengajaran, dan 3) pengembangan kurikulum. Dalam measurement, appraisal process mencakup 1) penetapan batas terendah-tertinggi
pencapaian prestasi, 2) standar pengukuran, dan 3) penggunaan alat ukur. Secara
ringkas, evaluation is quality appraisal;
measurement is status appraisal.
Lebih
dari itu, evaluation dimaksudkan
untuk mengetahui tingkat efektivitas pelaksanaan program pembelajaran di
sekolah dan implementasi kegiatan belajar-mengajar di kelas, antara lain
ditandai kemampuan murid dalam menguasai suatu mata pelajaran. Tingkat
efektivitas dipengaruhi banyak faktor, misal guru yang bermutu; ketersediaan
buku, bahan ajar, dan peralatan; serta dukungan fasilitas pendidikan
(perpustakaan dan laboratorium).
Karena
itu, evaluation pasti akan berujung
pada rekomendasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan memberi
perhatian pada faktor-faktor penting yang berpengaruh tersebut, termasuk
sarana-prasarana pendidikan yang memadai. Di dunia pendidikan, evaluation dalam pengertian tersebut
digunakan pertama kali oleh Ralph W Tyler (‘General
Statement on Evaluation’ dalam Journal of Educational Research, 35 [1932],
492-501) ketika melakukan penilaian perbandingan atas academic performance siswa-siswa yang berasal dari progressive high schools dan conventional high schools. Tyler
berkesimpulan, “Evaluation (is) not as
the appraisal of student's academic achievement, but rather as the appraisal of
an educational program's quality.“
Evaluasi belajar tanggung jawab siapa?
Secara
teoretis, UN diperlukan untuk tiga kepentingan, yakni 1) mengetahui tingkat
keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, 2) mengetahui pencapaian prestasi
akademik siswa selama mengikuti proses pendidikan, dan 3) melihat gambaran
kualitas pendidikan secara nasional dengan melihat diversitas dan diskrepansi
mutu pendidikan antardaerah. Namun, dengan merujuk Pasal 51 UU No 20/2003,
banyak pengamat berargumen UN tidak diperlukan dan evaluasi belajar dapat
dilakukan guru, yang dinilai lebih mengetahui prestasi belajar siswa di sekolah
masing-masing.
Jika
pendapat itu diikuti, akan muncul persoalan lain yang jauh lebih kompleks. Katakan
kita setuju evaluasi belajar diserahkan kepada guru, lalu siapa yang dapat
menjamin kredibilitas hasil evaluasi belajar tersebut, yang di dalamnya
mengindikasikan pencapaian prestasi akademik siswa? Standar penilaian hasil
evaluasi satu sekolah dengan sekolah yang lain juga dipastikan beragam. Lalu
siapa yang kompeten untuk memastikan lulusan sekolah A lebih baik mutunya
dengan lulusan sekolah B? Siapa pula yang punya otoritas untuk menetapkan
metode evaluasi belajar yang digunakan di sekolah Z lebih baik ketimbang metode
yang dipakai di sekolah Y? Dengan menyerahkan evaluasi belajar kepada guru dan
sekolah, tanpa ada standar nasional yang menjamin kualitas lulusan, kontroversi
akan semakin tajam dan berkembang luas.
Untuk
menjaga kredibilitas, setiap metode evaluasi belajar harus dapat diterima dan
mendapat pengakuan publik. Itu tidak berarti kita meragukan kejujuran,
integritas, dan kredibilitas guru atau sekolah dalam melakukan evaluasi belajar.
Akan tetapi, lebih untuk memastikan mengenai orisinalitas, kualitas, dan
akuntabilitas evaluasi belajar. Masalah tersebut penting didiskusikan karena
menyangkut quality assurance dan quality control atas suatu proses
pendidikan di sekolah.
Jaminan
kualitas dan pengendalian mutu pendidikan harus dilakukan melalui suatu
mekanisme tertentu (baca: UN), yang mendapat pengakuan publik dan dilaksanakan
suatu badan independen yang kompeten. Meskipun bentukan pemerintah, BSNP
merupakan lembaga mandiri yang beranggotakan tokoh-tokoh pendidikan, yang
secara akademik punya otoritas dan kompeten untuk menyelenggarakan UN. BNSP
juga dinilai tak punya konflik kepentingan. Jika BSNP dipertanyakan sebagai
penyelenggara UN, lalu lembaga mana yang dianggap kompeten?
UN
memang dimaksudkan sebagai instrumen pengendalian dan penjaminan mutu
pendidikan dengan standar tertentu. Standardisasi kualitas pendidikan merupakan
salah satu esensi dalam sistem pendidikan nasional, yang mensyaratkan setiap
lulusan pada suatu jenjang pendidikan di sekolah mana pun mempunyai kemampuan
akademik dan penguasaan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sama dan setara.
Prinsip
pokok itu dapat diterima apabila semua satuan pendidikan (baca: sekolah) di
Indonesia memiliki infrastruktur dan fasilitas pendidikan serta guru-guru
dengan kualitas sepadan. Pokok gugatan yang kerap mengemuka dalam perdebatan
publik itu seyogianya dapat direspons dan kerja-kerja perbaikan mutu pendidikan
fokus pada pangkal masalah yang menjadi pemicu kontroversi UN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar