|
MEDIA
INDONSIA, 13 Mei 2013
BANYAK keistimewaan diperoleh para
pelaku kejahatan elitis, terutama pelaku kejahatan korupsi dan narkoba. Dengan
kekuatan ekonomi dan akses yang diperoleh, mereka dapat memengaruhi tidak hanya
saat berada di luar lembaga pemasyarakatan (LP), tapi juga saat mendekam di
dalam hotel prodeo. Vonis hakim yang memasukkan mereka ke LP tidak menyurutkan
aktivitas sehari-hari mereka.
Artalyta, contohnya. Ia tampaknya menikmati LP dengan penuh
‘gaya lain’. Ruang pemidanaannya didesain dengan rasa nyaman, penuh dengan aksesori.
Begitu juga dengan Gayus Tambunan, yang kedapatan bisa keluar-masuk LP dengan
bebas.
Kekayaan dengan hasil korupsi tidak hanya dimanfaatkan
untuk menebar uang di luar penjara. Di dalam LP, uang pun disebar dengan
leluasa. Kelompok pelaku kejahatan narkoba pun melakukan tindakan yang sama
dengan para koruptor. Pelaku mendesain, menggerakkan, dan mengontrol aktivitas
peredaran barang haram dari dalam LP.
Berbeda halnya dengan para pelaku kejahatan jalanan yang
menjalani hukuman seadanya. Tidak ada uang suap yang dapat diberikan kepada
petugas karena rata-rata mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Mereka
pasrah dan menyerahkan nasib menunggu kalau ada remisi tahunan. Kalau tidak
betah di penjara, paling-paling mereka berkontemplasi atau berbagi pengalaman
hidup dan pengalaman tentang perbuatan jahat mereka. Tidak mengherankan bila
pelaku ke jahatan konvensional, setelah keluar LP, makin banyak me nyerap
pengetahuan kejahatan, ditambah lagi dengan stigmatisasi masyarakat yang sulit
menerima mereka.
Sebaliknya, pelaku kejahat an korupsi bisa menikmati se
dikit keleluasaan di dalam penjara atau keterkungkungan mereka terkurangi.
Mereka bisa berkomunikasi, mendapat kan fasilitas lebih baik, dan dapat memohon
untuk mendapatkan perawatan sakit di luar LP. Bahkan dengan kecukupan dana,
mereka pun dapat membangun pencitraan dari dalam LP.
Hukuman LP tidak lagi sakral dan menakutkan seperti yang
digambarkan orang di masa lalu. Sebagian LP bahkan dilokasikan di tempat yang
terpencil seperti LP di Tangerang. Namun karena pergeseran zaman dan proses
pembangunan yang luar biasa cepat, penjara yang dulu terpencil kini berada di
tengah kota. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah LP sebagai satu konsep yang
ditawarkan Saharjo pada 1960-an tidak relevan lagi untuk sistem pemidanaan di
Indonesia?
Faktor internal
Faktor internal sistem pemidanaan di Indonesia yang
karut-maut menjadi faktor utama. Segala persoalan dibiarkan berjalan tanpa satu
perencanaan yang baik. Pertama, sistem pembinaan yang ada hanya dibangun dengan
gagasan tanpa ditunjang dengan perangkat pembinaan yang baik, kurikulum terukur
berbasis reintegrasi sosial. Hubungan antara terpidana dan pembina (petugas)
layaknya pertemuan antara pedagang dan pembeli di pasar, seakan-akan hubungan
mereka adalah hubungan bisnis.
Kedua, pola penggajian yang tidak seimbang antara kebutuhan
dan pendapatan menim bulkan praktik-praktik pembinaan yang dijadikan sebagai
ladang transaksional. Di masa lalu, ada praktik pemberian rokok kepada petugas
untuk dapat masuk menjenguk napi, kemudian rokok tersebut diuangkan lagi di warung
sekitar. Kini, itu bergeser kepada praktik pemberian (suap) dalam bentuk yang
nilainya lebih besar.
Ketiga, perlu peningkatan mentalitas dan kedisiplinan para
petugas. Pola kerja yang habitual ditingkatkan dengan kerja prestatif dengan
sistem supervisi yang berkelanjutan kepada para sipir. Problemnya, siapa saja
yang dapat melakukan supervisi secara efektif? Tentu itu tidak bisa berjalan
seperti sistem supervisi oleh inspektorat selama ini karena ketajaman melihat
efektivitas fungsi tidak akan optimal. Sebaiknya hal itu dilakukan lembaga
supervisi independen.
Keempat, pola maximum
security sekadar dipersepsikan dengan penjagaan ketat oleh aparat kepada
para narapidana. Mereka tidak menjadikan maximum
security dalam pengertian bahwa para narapidana harus diberi berbagai
hilangnya hak-hak sebagai napi (incapacitation).
Faktor eksternal
Beberapa faktor eksternal yang paling utama ialah, pertama,
terintervensinya hukum oleh kekuasaan. Para pemikir kritis me nyatakan hukum
sering dijadikan alat kekuasaan. Orang-orang yang tidak beruntunglah yang
akhirnya dikorbankan. Pergeseran politik hukum di negara-negara maju dan
berkembang juga mengalami dinamisasi. Kekuasaan antarnegara juga memengaruhi
proses hukum. Misalnya, betapa pemerintah Australia mati-matian memberikan
pembelaan terhadap para pelaku kejahatan narkoba di Indonesia.
Proses penegakan hukum yang ada dalam konteks demokrasi di
Indonesia pun mengalami kontroversi. Itu seperti tampak pada perlakuan terhadap
Misbakhun yang sangat kritis terhadap kasus Bank Century. Ia dikejar terus
hingga harus masuk ke hotel prodeo. Sementara itu, kasus-kasus lain yang dekat
dengan pusaran kekuasaan teralihkan, tereliminasi, tidak terlalu disorot, dan
tidak terus dikejar aparat.
Hukum memang harus ditegakkan, tetapi jangan diibaratkan
pedang yang dihunuskan kepada orang-orang yang menentang kekuasaan atau jauh dari
sentuhan (beking) kekuasaan. Hukum material memang perlu diimplementasikan,
tetapi keadilan juga jangan jauh dari harapan penegakan hukum itu sendiri.
Kedua, hukum yang inflatoar-diakibatkan berbagai perangkat
penegakan hukum seperti makin banyaknya undang-undang yang mengatur, lembaga-lembaga
fungsional (komisioner), tuntutan untuk cepatnya proses hukum, dan pemberitaan
masif mengenai kejahatan kekerasan yang tidak selesai--menimbulkan harapan yang
terhenti.
Pada tingkat pendahuluan, sistem peradilan pidana
menyisakan begitu banyak kasus kejahatan yang tidak terselesaikan, ditambah
dengan banyaknya kasus kekerasan, korupsi, dan narkoba yang memasukkan para
pelaku kejahatan ke LP. Hal itu menimbulkan nilai dan fungsi pembinaan dan
pemidanaan yang kurang berarti (mengalami inflasi).
Munculnya UU Tindak Pidana Ko rupsi dan UU Antinarkotika
dan Psikotropika makin menguak kelemahan internal sistem pemidanaan di
Indonesia. Para pelaku kejahatan korupsi terus dikejar--media massa pun terus
menjadi pengontrol penegakan hukum atas kejahatan korupsi sejak proses
pendahuluan hingga pengadilan--tetapi pemidanaan mereka di dalam penjara (LP)
melempem.
Ketiga, politik pemidanaan yang tidak didukung dengan
infrastruktur kebijakan pemidanaan yang represif menimbulkan persepsi bahwa LP
memang tidak dianggap menye ramkan seperti dulu lagi yang bernama ‘penjara’,
suatu penghukuman kepada para pesakitan dengan hukuman balas dendam atau efek
jera. Itu dengan perkembangan pemikiran hukum pemidanaan yang mengevaluasi
bahwa hukuman retributif tidak mengakibatkan para pelaku kejahatan berkurang.
Pendekatan hukum restitutif menghendaki para narapidana harus dapat berintegrasi
dengan masyarakat.
Citra LP dengan banyaknya para pesakitan yang bebas
melakukan praktik ilegal seperti jual beli narkoba, para koruptor yang bebas
keluar-masuk LP (tak menjalani hukuman maksimal), para petugas (sipir) dan
pimpinan LP yang terkooptasi oleh para napi menimbulkan hilangnya arti
pemidanaan. Pemidanaan laksana suatu hukuman pilihan atau alternatif, dan tidak
ada makna deterrent effect-nya.
Solusi
Dengan lemahnya daya cengkeram lembaga pemasyarakatan (LP),
tampaknya perlu perubahan nama yang terlalu eu femistis itu. Butuh nama yang
`mengukuhkan' persepsi pemidanaan sebagai efek jera-meskipun saat ini nama LP
sebenarnya digunakan untuk mengurangi efek jera dan lebih memperhatikan aspek
hak asasi manusia (HAM) dalam pemidanaan sehingga nama `penjara' diubah menjadi
LP. Filosofi pemidanaan memang harus dikaji ulang, terutama untuk para pelaku
kejahatan korupsi dan narkoba.
Namun, lagi-lagi para koruptor yang masuk ke `penjara' di
Indonesia masih yang kecil-kecil dan cenderung tebang pilih, belum kepada para
pelaku kejahatan korupsi kelas kakap yang merusak tatanan ekonomi negara
seperti BLBI dan Bank Century. Penghakiman terhadap para koruptor masih dalam
taraf pembangunan citra untuk `mengatakan' bahwa ada koruptor yang dipidana
daripada menguatkan politik pemidanaan korupsi yang sesungguhnya.
Perlu kejujuran dari para penyelenggara negara, terutama
pemimpin tertinggi negara, yang bisa menggerakkan proses hukum secara
substansial-berkeadilan. Dalam suasana penegakan hukum yang perangkatnya bertindak
sebagai `penyapu' kejahatan tapi sapunya masih kotor, negara tidak bisa
membiarkan atau menyerahkan penyelenggaraan hukum kepada sapu yang kotor.
Dalam situasi seperti sekarang, perlu kepemimpinan kharismatik
yang bekerja ber dasarkan nurani, tidak berorientasi pada kekuasaan (`membangun
citra kekuasaan'), tapi harus menjadi penyelesai masalah. Untuk para pelaku
kejahatan elitis, perlu ada lagi kebijakan politik hukum yang superekstra. Tentunya
area pemimpin jangan mengambil moto `sapujagat'
(saya dan kerabat punya jangan digugat). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar