|
SUARA KARYA, 10 Mei 2013
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Sebaris kalimat penuh makna
inilah yang dibawa Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara untuk
membangun negeri ini melalui semangat juangnya. Hingga akhirnya tanggal 2 Mei
yang merupakan tanggal kelahiran beliau, sampai sekarang terus diperingati
sebagai Hari Pendidikan Nasional dan beliau sendiri dinyatakan sebagai Bapak
Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun
1959, tanggal 28 November 1959.
Ki Hajar Dewantara sosok tokoh
yang rela berkorban, menguras tenaga dan pikirannya demi memperjuangkan
pendidikan untuk anak negeri. Menurut beliau, pendidikan berarti daya upaya
untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan batin), pikiran (intelek) dan
jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Bisa dikatakan bahwa antara ketiga
hal tersebut harusnya mendapatkan posisi yang seimbang dalam proses pendidikan.
Namun melihat realitas yang terjadi di masyarakat kita, tampaknya tidak
demikian. Lembaga pendidikan saat ini cenderung hanya mengasah kemampuan
kognitif peserta didiknya saja. Sekolah lebih banyak menuntut siswanya untuk
berpikir melalui latihan-latihan soal yang diberikan. Ironisnya, hanya
berdasarkan angka-angka saja seorang siswa bisa di-judge bodoh atau pandai.
Sebagai hasilnya, banyak upaya
yang dilakukan siswa agar mereka bisa dikatakan pandai. Termasuk di dalamnya
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan makna pendidikan itu sendiri. Contoh
konkritnya, dalam pelaksaan Ujian Nasional (UN), sejumlah kasus kecurangan
ditemukan di beberapa sekolah.
Kecurangan-kecurangan seperti itu selalu mengiringi
pelaksanaan UN, seakan tidak afdol jika hal tersebut ditinggalkan. Persoalan
utama yang mendasarinya tidak lain adalah keinginan untuk mendapakan angka
(nilai) yang tinggi. Ketika kejadian semacam ini terjadi, jelas ada hal lain
yang bertentangan yaitu mengenai pendidikan karakter.
Melalui semboyannya yang biasa
disebut juga dengan 'Trilogi Pendidikan', Ki Hajar Dewantara telah menunjukkan
bagaimana seharusnya guru mendidik muridnya.
Pertama, Ing ngarsa sung tuladha memiliki makna, di depan, seorang pendidik
harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik. Selain mengajar atau
mentransfer ilmu, guru harus bisa meberikan teladan kepada siswanya, setidaknya
mengenai hal yang diajarkannya. Namun, kenyataannya, di negara kita sekarang
masih sering dijumpai guru yang sama sekali tidak menunjukkan sikap yang patut
untuk diteladani. Peristiwa pencabulan anak dengan pelaku oknum guru kepada
siswinya yang beberapa kali diberitakan media sudah cukup menjadi bukti akan
hal tersebut.
Kedua, Ing madya mangun karsa, maksudnya, di tengah atau di antara murid,
guru harus menciptakan prakarsa dan ide. Di sini guru harus bisa memberi
wawasan pengetahuan kepada siswa-siswinya. Harus dicermati, bahwa mereka harus
bisa memberi wawasan bukan hanya membaca ulang apa-apa yang sudah tertera di
buku yang dipegang siswa. Atau, malah hanya memberi soal-soal saja dan siswa
diminta mengerjakan. Di wilayah ini, sebisa mungkin guru menanamkan pendidikan
karakter kepada siswa meskipun tidak secara langsung. Dari materi-materi yang
disampaikan pasti ada muatan karakter yang bisa ditunjukkan pada siswa.
Nilai-nilai pembangun karakter sangat urgen untuk dimiliki setiap siswa yang
merupakan generasi bangsa kita.
Ketiga, Tut wuri handayani, yakni, dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan
dorongan dan arahan. Inilah tugas utama guru yang harus pula dilakukan yaitu
sebagai motivator. Bagaimana para pendidik bisa menumbuhkan dan merangsang
serta mengarahkan setiap potensi yang dimiliki siswa, merupakan hal yang harus
difikirkan. Harapannya, mereka dapat memanfaatkan potensinya secara tepat,
sehingga lebih tekun dan semangat dalam belajar untuk mengejar cita-cita yang
diinginkan.
Trilogi pendidikan ini sangat
penting diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran sehari-hari di kelas.
Sekarang sudah bukan saatnya lagi guru mengajar hanya sekedar menuntaskan
tuntutan kurikulum saja. Mereka harus memiliki idealisme untuk mengajar dan
mendidik siswa. Hakikat dari mengajar harus benar-benar diterapkan. Melalui
merekalah generasi bangsa kita berproses. Setiap proses situ semestinya
berjalan sebaik-baiknya agar menghasilkan produk pendidikan yang benar-benar
umggul. Bukan yang secara intelektual unggul namun moralitasnya hancur.
Sudah cukup kita melihat
pemandangan di pemerintahan yang dipenuhi pejabat korup sekarang ini. Mereka
adalah bukti produk pendidikan yang tidak bisa memberikan penguatan pada
karakter siswanya. Meski sebenarnya ada hal lain yang berpengaruh. Mereka yang
duduk di kursi pemerintahan jelas bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang
pintar yang merupakan produk dari pendidikan pula. Namun, kita pun bisa
melihatnya sendiri bahwa kerusakan lah yang terjadi ketika ketinggian
intelektual tidak diikuti dengan kualitas kebaikan karakter. Kepintarannya
bukan membawa bangsa kita pada kemajuan tetapi malah membawa bangsa pada
kehancuran.
Sebagai awal mula setiap generasi
penerus bangsa berproses, trilogi pendidikan yang dicanamgkan Ki Hajar
Dewantara adalah cara yang tepat untuk diterapkan. Dengan benar-benar
mengimplementasikan ketiganya dalam dunia pendidikan maka akan lebih mudah bagi
bangsa ini untuk bangkit. Lepas dari julukan negara terkorup, dan membersihkan
birokrasi dari tindakan-tindakan penyelewengan yang merugikan rakyat. Negara
kita benar-benar sedang membutuhkan generasi yang selain tinggi intelektualnya
juga tinggi kualitas karakternya. Dengan menjunjung tinggi konsep Trilogi
Pendidikan-lah, semua itu bisa didapatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar