|
SUARA KARYA, 10 Mei 2013
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sudah diumumkan menjadi penerima World
Statesman Award oleh Appeal
Conscience Foundation (ACF) di AS. Pemberian gelar yang akan dilakukan pada
akhir Mei ini menjadi penting mengingat penghargaan ini terkait dengan HAM (hak
asasi manusia) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dengan alasan ini,
sejumlah elemen sipil yang tergabung dalam Sobat KBB (Solidaritas Korban
Pelanggaran Kebebasan Beragama) melakukan penolakan dengan berdemo di depan
Kedubes AS.
Penolakan ini sekaligus merupakan
ungkapan ketidakpuasan para korban minoritas yang selama ini diabaikan oleh SBY
sehingga mereka mesti memperjuangkan haknya sendiri. Ada tiga landasan yang
melatarbelakangi penolakan itu, yakni riwayat sikap SBY, fakta di dalam negeri,
dan respon dunia internasional.
Pertama, SBY dalam kapasitasnya
sebagai kepala negara tidak banyak memiliki 'prestasi' dalam mempromosikan
keberagaman. SBY dalam soal ini lebih banyak tidak bersikap ketimbang mendayagunakan
otoritasnya untuk bertindak sebagaimana mestinya seperti telah diamanatkan
konstitusi. Sikap ini tampak terang-benderang dalam persoalan keagamaan terkait
penyegelan Masjid al-Misbah dan GKI Taman Yasmin Bekasi, yang lokasinya tidak
jauh dari kediaman SBY di Cikeas.
Kedua, adanya ketimpangan
mayoritas-minoritas di Indonesia belakangan ini. Setidaknya beberapa orang
Ahmadiyah telah tewas di Cikeusik dan sudah berpuluh-puluh minggu jemaat GKI
Taman Yasmin tidak dapat beribadah dengan tenang di trotoar pasca gereja mereka
disegel paksa. Keadaan semacam ini bisa jadi merupakan dampak dari kebijakan
SBY yang tidak 'praktis' dalam menindak kekerasan atas nama agama dalam bentuk
penyegelan tempat ibadah atau aktivitas lain yang sejenis. Namun, di sisi lain,
kebijakan semacam ini justru menjadi langgam dari kebijakan SBY karena terkait
soal legitimasi.
Hal ini cukup beralasan mengingat
legitimasi SBY merupakan, mengutip Weber, legitimasi rasional yang mengandaikan
pemilu dan mekanisme demokrasi lainnya yang sejenis. Dengan legitimasi semacam
ini, maka SBY erlu berusah lebih keras ketimbang pendahulunya, Soekarno, yang
masuk tipikal legitimasi kharismatis. Cara ini, misalnya, dengan memihak
mayoritas karena legitimasi suara mayoritas - dengan cara melibatkan mayoritas
dalam pengambilan kebijakan terkait isu kebebasan beragama dan berkeyakinan
atau mengikuti selara mayoritas dalam isu yang sama. Namun, tidak juga dapat
diabaikan bahwa SBY datang dari kelompok mayoritas sehingga ia ingin menjadi
bagian dari mayoritas dengan caranya sendiri.
Dengan logika semacam ini,
pemihakan terhadap mayoritas menjadi wajar, tetapi bukan berarti benar. Kepala
negara, dengan segala kekuasaan di dalamnya, tetap harus mempertimbangkan norma
HAM dan konvensi HAM internasional yang diratifikasi bersama. UU No. 39 Th.
1999 tentang HAM mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga
negara Indonesia, di samping bahwa kepala negara bekerja untuk warga negaranya
tanpa menghitung identitas agamanya.
Ketiga, dalam dunia internasional,
pemerintahan SBY memiliki catatan merah terhadap isu ini yang mendorong forum
UPR (Universal Periodic Review) sidang HAM PBB untuk memberikan rekomendasi
lanjutan akhir tahun lalu di Jenewa. Rekomendasi ini, misalnya, "melakukan
upaya-upaya untuk memerangi segala bentuk diskriminasi terhadap agama
minoritas", dan "menghukum pelaku kekerasan berdasarkan agama".
Tindakan yang direkomendasikan ini
seharusnya merupakan tamparan hebat bagi SBY terutama karena sejak dulu kala
Indonesia dinobatkan sebagai contoh toleransi dan patut dijadikan contoh negara
Muslim lainnya, bahkan oleh pemerintahan AS sendiri. Barack Obama dalam
pidatonya di Kairo 2009 menyebut Indonesia setelah Andalusia dan Cordova,
tradisi Islam yang monumental di Eropa. Indonesia, di depan publik Mesir,
disebut sebagai negara "di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah
di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim".
Dengan ketiga alasan semacam ini,
revelansi dan signifikansi penghargaan semacam ini tidak perlu diperdebatkan lagi
karena 'keputusan' seharusnya sudah bisa diambil. Namun, lebih dari semua ini,
perlu pertanyaan lanjutan yang substantif menyangkut signifikansi isu
keberagamaan sebagai daya tawar politik di Indonesia.
Seperti diketahui, beberapa
laporan tahunan diluncurkan secara rutin oleh lembaga terkait seperti the Wahid
Institute, Setara Institute, dan CRCS UGM lebih banyak menggambarkan kesuraman
ketimbang harapan mengingat banyaknya korban dari penanganan yang keliru:
manusia, properti bahkan hak hidup itu sendiri. Pada sisi lain, lembaga semacan
Amnesty International dan Human Rights Watch tak henti memperingatkan tentang
bahaya kebebasan beragama di depan mata. Pemerintah pun masih berpikir setengah
hati: menerima sebagian rekomendasi dan pikir-pikir dengan sebagian rekomendasi
lainnya.
Di sisi lain, pemerintah lebih
senang menjadikan indikator keberhasilan pembangunan pada isu-isu strategis
seperti pemberantasan korupsi, pemenuhan layanan pendidikan dan kesehatan, dan
hal strategi lainnya. Sementara bertubi-tubi insiden terkait kebebasan beragama
dan berkeyakinan tampaknya tidak banyak berpengaruh. Pemerintahan lebih heboh
(baca: reaksioner) ketika indeks persepsi dirilis namun sibuk membela diri saat
terjadi konflik bernuansa agama.
Di luar itu, sejatinya gelar tujuh
doktor honoris causa dari berbagai universitas di dunia beserta gelar
kehormatan lainnya, seperti gelar Knight
Grand Cross in the Order of the Bath dari Inggris, sudah cukup banyak dan
cukup membanggakan sehingga tidak terlalu perlu tambahan gelar yang
kontroversial. Kecuali, jika jabatan presiden adalah jalan untuk mengoleksi
gelar kehormatan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar