|
KOMPAS, 24 Mei 2013
Kelompok
kerja yang terdiri dari unsur pemerintah, industri, dan masyarakat sipil dalam
beberapa tahun terakhir telah bekerja sama dalam menerapkan asas transparansi
terkait penerimaan negara dari industri migas, mineral, dan batubara.
Hasil
kerja sama dalam bentuk laporan tersebut merupakan hak atas informasi yang
dimiliki rakyat Indonesia. Laporan tersebut juga dipergunakan sebagai alat
akuntabilitas pemerintahan.
Tahun
2010 menjadi tonggak penandatanganan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010
yang menjadi landasan bagi Indonesia untuk menerapkan Prakarsa Transparansi
Penerimaan Industri Ekstraktif (Extractive
Industries Transparency Initiative/EITI). Sebuah standar global yang
diterapkan di 37 negara.
EITI
mendorong pelaporan oleh para produsen migas, mineral, dan batubara atas apa
yang telah mereka bayarkan kepada pemerintah. Sebaliknya, pemerintah melaporkan
penerimaan negara dari perusahaan-perusahaan tersebut. Laporan yang diterima
dari para pelaku usaha dan pemerintah kemudian ditelaah oleh ”rekonsiliator”
independen dan dibentuk menjadi sebuah laporan EITI nasional.
Keseluruhan
proses diawasi oleh sebuah kelompok kerja multi-stakeholder yang meliputi instansi pemerintahan, pelaku usaha, dan
masyarakat sipil. Di Indonesia, kelompok kerja ini terdiri dari 13 direktur
jenderal dari lima kementerian, pejabat tinggi dari tiga provinsi yang kaya
sumber daya alam, tiga perwakilan dari asosiasi-asosiasi industri ekstraktif,
serta tiga perwakilan masyarakat sipil yang dipilih.
Laporan
EITI Indonesia pertama ini adalah sebuah upaya dan kerja keras yang menyajikan
hasil rekonsiliasi antara aliran dana dari 50 perusahaan Kontrak Kerja Sama
(KKS) migas, 16 perusahaan pertambangan mineral, dan 53 perusahaan pertambangan
batubara yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia, dengan jumlah yang
diterima oleh Badan Pengelola Kegiatan Hulu Migas (kini SKK Migas), Direktorat
Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Mineral
dan Batubara. Laporan pertama ini dibuat khusus untuk tahun kalender 2009.
Perbedaan
angka
Beberapa
perbedaan antara jumlah pembayaran yang diserahkan oleh pelaku usaha kepada
pemerintah dan jumlah penerimaan yang dilaporkan oleh pemerintah telah
ditemukan. Namun, umumnya hal-hal tersebut berkenaan dengan laporan pemerintah
yang memuat jumlah penerimaan yang lebih dari apa yang telah dilaporkan
dibayarkan oleh pelaku usaha. Suatu hal yang bertentangan dengan perkiraan
banyak kalangan.
Dalam
hal pembayaran over-lifting dan under-lifting migas, pemerintah
melaporkan penerimaan sebesar 29 juta dollar AS lebih besar dari yang telah
dilaporkan para pelaku usaha. Hal ini sebagian besar dikarenakan EITI Indonesia
tidak mengirimkan formulir pelaporan kepada 76 mitra kerja dari 50 Kontraktor
KKS. Alhasil, beberapa dari mitra kerja tersebut tidak menyerahkan laporannya.
Untuk
pajak penghasilan migas, pemerintah melaporkan penerimaan 96 juta dollar AS
lebih besar dari yang dilaporkan para pelaku usaha. Hal ini karena pemerintah
juga memasukkan angka jumlah piutang yang
hingga kini masih dalam penyelesaian.
Pemerintah
melaporkan penerimaan pajak penghasilan dari perusahaan pertambangan batubara
sebesar 273 juta lebih besar dari yang dilaporkan para pelaku usaha. Hal ini
disebabkan adanya satu badan usaha yang tidak melaporkan kepada EITI Indonesia
pajak 2007 yang dibayarkan ke negara pada 2009.
Untuk
royalti batubara, pemerintah melaporkan penerimaan 54 juta dollar AS lebih
besar dari yang dilaporkan oleh pelaku usaha. Awalnya, perbedaan tersebut
mencapai Rp 1 miliar lebih, tetapi angkanya mengecil setelah dilakukan
pemeriksaan terhadap dokumen fisik yang dikelola Ditjen Mineral dan Batubara.
Hal
yang menggembirakan, perbedaan-perbedaan yang bisa ataupun tak bisa
direkonsiliasi tersebut tidak mengindikasikan adanya penyelewengan atau
penyalahgunaan. Perbedaan lebih disebabkan adanya perselisihan usaha, kesalahan
input, dan sistem manajemen penerimaan negara yang belum optimal.
Perizinan daerah
Ditjen
Mineral dan Batubara menduga ada 10.250 izin pertambangan daerah yang telah
dikeluarkan. Meski tak ada angka yang pasti, perkiraan ini cukup
mengkhawatirkan mengingat perusahaan-perusahaan berizin daerah bertanggung
jawab hanya kepada kepala daerah yang mengeluarkan izin.
Selama
masyarakat tidak mengetahui dengan jelas apa dan siapa perusahaan berizin
daerah tersebut—nama, pemiliknya, hasil tambangnya, dan berapa besar mereka
membayar (atau tidak) royalti dan pajak ke kas negara— kita tidak dapat
menghitung kontribusinya pada pembangunan Indonesia, khususnya ketika ada
kritik mengenai dampak lingkungan dari beberapa tambang.
Laporan
pertama EITI Indonesia menyajikan rincian atas 22 perusahaan tambang berizin
daerah terbesar (dalam konteks kontribusi penerimaan). Sementara laporan kedua,
yang menurut rencana akan diterbitkan tahun ini juga, akan memberikan sajian
laporan dari 143 perusahaan tambang terbesar, yang terdiri dari 2 tambang emas,
18 timah, 14 nikel, 3 bijih besi, dan 106 batubara.
Hingga
saat ini, sebagian besar rakyat Indonesia masih tidak menyadari jumlah
penerimaan dari sumber daya alam (SDA) yang mengalir ke pemerintah daerah.
Lebih dari itu, data tentang berapa besar penerimaan tahunan atas bagi hasil
pemerintah daerah dari satu perusahaan tertentu belum pernah dilaporkan secara
publik. Hasilnya, masyarakat yang tinggal di sekitar area operasi produksi
migas, mineral, dan batubara berada dalam posisi yang lemah untuk menuntut
pelayanan publik dari pemerintah daerah.
EITI
Indonesia telah mengubah situasi ini. Kini, masyarakat yang tinggal di daerah
kaya SDA dapat mengetahui besaran aliran penerimaan dari satu perusahaan
tertentu kepada pemerintah provinsi dan kabupaten. Sebagai contoh, EITI
Indonesia mengungkapkan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten di Riau telah
menerima hampir dua pertiga dari satu juta miliar dollar AS penerimaan negara
yang dibayarkan oleh KKS penghasil minyak terbesar di Indonesia (Blok Rokan
Chevron).
Kalimantan
Timur menikmati lebih dari seperempat miliar dollar AS penerimaan negara dari
KKS penghasil gas bumi terbesar di Indonesia (Blok Mahakam Total dan Inpex). Di
Papua, lebih dari 100 juta dollar AS pembayaran royalti dari perusahaan tambang
tembaga dan emas terbesar, Freeport Indonesia, telah diserahkan kepada
pemerintah provinsi dan kabupaten.
Laporan
EITI Indonesia menyajikan informasi yang sama atas 50 perusahaan migas dan 69
perusahaan pertambangan yang memberikan laporan. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945
menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya
EITI Indonesia, informasi atas penerimaan dari SDA kini tersedia. Sebelumnya
kita hanya memiliki hak mengetahui, kini hak itu kita wujudkan dengan menerima
informasi secara transparan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar