|
MEDIA
INDONSIA, 13 Mei 2013
CONCERN saya terhadap persoalan
pendidikan bermuara pada pandangan dan keyakinan moral bahwa pendidikan adalah
sebuah proses dan moralitas adalah target utamanya. Pendidikan bukan masalah
politik, agama, dan hukum, melainkan persoalan moralitas. Karena itu, ada
banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral
dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah.
Para penggiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah
tentang suasana pendidikan yang berlangsung di sekolah. Orang seperti Ivan
Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah
telah menjadikan para siswa seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk
memberi respons kreatif. Lebih hebat lagi bahkan keduanya juga menuduh sekolah
telah memasung kebebasan dan kreativitas serta membunuh daya pikir anak.
Sejak lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan
pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif
dan psikomotorik siswa secara tajam. Soal di sekolah lebih banyak menuntut
siswa hanya untuk menjawab benar dan salah, tetapi lalai dalam melakukan
autokritik terhadap pelembagaan ujian. Meskipun saat ini, katanya, pemerintah
telah memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi
ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola
pembelajarannya. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistis, terlalu banyak
mengatur ini boleh dan itu tidak boleh sehingga antara guru dan birokrasi
pendidikan kita menjadi setali tiga uang: saling memengaruhi untuk menumbuhkan
budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.
Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak
berorientasi pada aspek competitive:
sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga
menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas
biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta
atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya
diskriminasi. Dalam konteks ini, wajar jika sekarang kita disibukkan dengan
rencana dan wacana untuk membuat dan mengubah orientasi kurikulum pendidikan
moral dan budi pekerti.
Saya tak memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab
model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti yang seharusnya. Namun, saya
ingin mencoba merekonstruksi ulang pertanyaan tersebut dengan kalimat, “Dari
manakah kesadaran dan tanggung jawab para guru terhadap pendidikan moral dan
budi pekerti harus dimulai?” Isu soal moral dan budi pekerti sesungguhnya
hampir menjadi barang usang karena perdebatan tentangnya selalu hanya sampai
pada tingkat wacana. Karena itu, penting mengidentifi kasi tentang siapa
sebenarnya yang paling bertanggung jawab memproses penanaman moral dan budi
pekerti di sekolah.
Hasil studi di banyak negara yang pendidikannya maju
menyebutkan bahwa keberhasilan proses pendidikan yang bermakna lebih banyak
ditentukan oleh segitiga emas pendidikan, yaitu guru, orangtua, dan pemerintah.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Phi
Delta Kappa/Gallup study pada 2004 menyebutkan bahwa 73% responden setuju
tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang
baik hati. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa jika karena kondisi
terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang
guru, jawaban yang paling banyak dipilih adalah karena alasan rendahnya gaji
dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi
orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%).
Artinya, hanya 4% saja sebenarnya guru yang selalu memiliki
keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld dan Jo Ann Miller, 2005). Namun, ketika ditanya
kepada para orangtua dan guru tentang apa yang menyebabkan mereka kurang peduli
terhadap siswa, 76% menjawab karena rata-rata siswa malas, tidak disiplin, dan
bodoh.
Selain guru, masyarakat juga menjadi penentu moralitas
pendidikan kita. Jika pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk
kelembagaan, sekolah adalah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat
bergantung setiap anggota masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak
mereka. Jika sekolah-sekolah kita memperoleh dukungan dari masyarakat yang
berkehendak untuk berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang
benar.
Masalahnya adalah sikap mental masyarakat kita yang saat
ini sangat permisif dari segi budaya dan mudah mengambil kesimpulan karena
masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis
mentalitas masyarakat ini perlu dibangun ulang melalui serangkaian socio-therapy yang merupakan tugas utama
dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan
dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat untuk mengatasi
masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di sekitar kita.
Pilar moral ketiga adalah negara atau pemerintah. Ada
ungkapan, ‘What you want in the state,
you must put into the school’ (apa
yang Anda inginkan dalam negara, harus Anda masukkan ke sekolah). Karena
itu, peran negara bisa sangat amat kuat terhadap arah dan visi pendidikan suatu
bangsa, sehingga implikasi praktisnya akan menjadikan semua bangunan kebutuhan
pembelajarannya menjadi sangat formal.
Padahal totalitas pendidikan harus meliputi semua jenis dan
pendekatan pengajaran, baik formal, informal maupun nonformal. Peran negara
untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang cerdas
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa masih kurang maksimal. Pendekatan yang
digunakan negara dalam merumuskan kebijakan tentang sistem pendidikan nasional
kita terlihat sekali masih sangat formalistis, dan efektivitas kebijakan
pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar