Senin, 13 Mei 2013

Tiga Pilar Moral Pendidikan


Tiga Pilar Moral Pendidikan
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONSIA, 13 Mei 2013


CONCERN saya terhadap persoalan pendidikan bermuara pada pandangan dan keyakinan moral bahwa pendidikan adalah sebuah proses dan moralitas adalah target utamanya. Pendidikan bukan masalah politik, agama, dan hukum, melainkan persoalan moralitas. Karena itu, ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah.

Para penggiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang berlangsung di sekolah. Orang seperti Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk memberi respons kreatif. Lebih hebat lagi bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan dan kreativitas serta membunuh daya pikir anak.

Sejak lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif dan psikomotorik siswa secara tajam. Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa hanya untuk menjawab benar dan salah, tetapi lalai dalam melakukan autokritik terhadap pelembagaan ujian. Meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola pembelajarannya. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistis, terlalu banyak mengatur ini boleh dan itu tidak boleh sehingga antara guru dan birokrasi pendidikan kita menjadi setali tiga uang: saling memengaruhi untuk menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.

Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek competitive: sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi. Dalam konteks ini, wajar jika sekarang kita disibukkan dengan rencana dan wacana untuk membuat dan mengubah orientasi kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti.

Saya tak memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti yang seharusnya. Namun, saya ingin mencoba merekonstruksi ulang pertanyaan tersebut dengan kalimat, “Dari manakah kesadaran dan tanggung jawab para guru terhadap pendidikan moral dan budi pekerti harus dimulai?” Isu soal moral dan budi pekerti sesungguhnya hampir menjadi barang usang karena perdebatan tentangnya selalu hanya sampai pada tingkat wacana. Karena itu, penting mengidentifi kasi tentang siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab memproses penanaman moral dan budi pekerti di sekolah.

Hasil studi di banyak negara yang pendidikannya maju menyebutkan bahwa keberhasilan proses pendidikan yang bermakna lebih banyak ditentukan oleh segitiga emas pendidikan, yaitu guru, orangtua, dan pemerintah. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Phi Delta Kappa/Gallup study pada 2004 menyebutkan bahwa 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa jika karena kondisi terpaksa/mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih adalah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%).

Artinya, hanya 4% saja sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld dan Jo Ann Miller, 2005). Namun, ketika ditanya kepada para orangtua dan guru tentang apa yang menyebabkan mereka kurang peduli terhadap siswa, 76% menjawab karena rata-rata siswa malas, tidak disiplin, dan bodoh.

Selain guru, masyarakat juga menjadi penentu moralitas pendidikan kita. Jika pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan, sekolah adalah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung setiap anggota masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Jika sekolah-sekolah kita memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak untuk berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang benar.

Masalahnya adalah sikap mental masyarakat kita yang saat ini sangat permisif dari segi budaya dan mudah mengambil kesimpulan karena masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis mentalitas masyarakat ini perlu dibangun ulang melalui serangkaian socio-therapy yang merupakan tugas utama dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat untuk mengatasi masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di sekitar kita.

Pilar moral ketiga adalah negara atau pemerintah. Ada ungkapan, ‘What you want in the state, you must put into the school’ (apa yang Anda inginkan dalam negara, harus Anda masukkan ke sekolah). Karena itu, peran negara bisa sangat amat kuat terhadap arah dan visi pendidikan suatu bangsa, sehingga implikasi praktisnya akan menjadikan semua bangunan kebutuhan pembelajarannya menjadi sangat formal.

Padahal totalitas pendidikan harus meliputi semua jenis dan pendekatan pengajaran, baik formal, informal maupun nonformal. Peran negara untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang cerdas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa masih kurang maksimal. Pendekatan yang digunakan negara dalam merumuskan kebijakan tentang sistem pendidikan nasional kita terlihat sekali masih sangat formalistis, dan efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar