|
IndoPROGRESS,
13 Mei 2013
TINGGINYA angka pertumbuhan
ekonomi Indonesia, dirayakan di tengah maraknya pengungkapan korupsi yang
melibatkan para pejabat dan politisi. Elektabilitas partai-partai besar turun
karena petinggi dan kader-kadernya terlibat korupsi. Saat yang sama,
potret penderitaan warga akibat perluasan investasi yang bertumpu pada pengerukan
kekayaan alam meningkat dan meluas. Pada kondisi ini Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) diusung. Proyek ini menjanjikan mimpi Indonesia
menjadi sepuluh negara besar di dunia pada 2025.
MP3EI berlabel Not Business As Usual dengan menu lama, yaitu
sektor industri ekstraktif, kehutanan, dan perkebunan skala besar yang rakus
lahan dan buruh murah. Proyek seperti ini telah terbukti melahirkan kasus-kasus
perampasan lahan, penurunan mutu fungsi-fungsi alam, serta bencana industrial
yang menyingkirkan permukiman dan ruang-ruang ekonomi, seperti kasus luapan
lumpur Lapindo.
Guna
memuluskan jalannya proyek ini, gincu-gincu kepedulian ditempel di sana sini,
seperti janji menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen
hingga 41 persen, dan meningkatkan kesejahteraan. Tetapi, kenyataannya
MP3EI masih mengandalkan sektor-sektor yang rakus lahan, infrastruktur
pengangkutan, sumber energi dan buruh murah. Itu sebabnya hampir 80 persen
investasi MP3EI untuk pengadaan fasilitas pengangkutan dan energi.
Konsekuensinya, pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia (HAM) menjadi niscaya.
Laporan yang diungkap Komisi Nasional (Komnas) HAM menunjukkan, sebagian besar
pelanggaran HAM yang terjadi akibat investasi rakus lahan dan bertumpu
pada buruh murah. Ini membuka mata kita bahwa MP3EI adalah rencana induk bagi
perluasan tingkat derita dan bencana bagi warga.
Bagaimana
dengan buruh murah? Masih resep lama. Alih fungsi lahan dan hutan besar-besaran
akan melahirkan orang miskin baru, yang tak punya pilihan dan bersedia menjadi
buruh murah. Laporan pemetaan perempuan dan pemiskinan pada lima tahun
terakhir yang dikeluarkan Komnas Perempuan (2012), menegaskan terjadinya
Pencerabutan sumber-sumber kehidupan perempuan secara sistematis. Berbagai
kebijakan Negara menghasilkan peningkatan konsentrasi lahan kepada segelintir
orang. Mereka yang tergusur dari tanahnya berakhir di sektor perburuhan,
pekerja rumah tangga, pekerja seks dan buruh migran – sektor-sektor yang minim
perlindungan Negara. Jumlah buruh migran yang sebagian besar adalah perempuan,
angkanya justru paling tinggi pada kawasan lumbung-lumbung Padi, seperti
Indramayu, Karawang, Cianjur, Lombok dan Sumbawa.
Dekorasi Ulang
Berpayung pada dogma
neoliberalisme, lewat intensifikasi dan ekstensifikasi privatisasi dan
finansialisasi sektor-sektor publik, MP3EI bukanlah sebuah rancangan baru.
Justru ini merupakan rancangan reka-ulang dan dekorasi ulang (refurbishing) resep pembangunisme a la Orde Baru. Resep yang melibatkan
pemangkasan hambatan regulasi, pemberian insentif, hingga percepatan
pembangunan infrastruktur mendukung pelaku ekonomi.
Tajuk yang dipilih Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia incorparated, tak
lebih dari langkah kolosal privatisasi dan finansialisasi sektor-sektor publik,
yang melawan dan merendahkan Konstitusi. Maka jangan terkejut bila di sekujur
Nusantara bertebaran 10.677 ijin pertambangan mineral dan batubara yang terbit
tanpa persetujuan masyarakat sekitar, yang nantinya akan dipinggirkan atas nama
keamanan dan kenyamanan investor.
Padahal
tanpa MP3EI pun tekanan terhadap keselamatan warga dan kemerosotan
fungsi-fungsi alam terus berlangsung. Masih hangat dalam ingatan, bagaimana
warga Kolo Bawah ditembaki dan meninggal saat protes dan menuntut PT. JOB Medco
di Tiaka Sulawesi Tengah, karena menganggu kawasan tangkap nelayan. Atau
pelanggaran HAM pada konflik warga dengan PTPN VII Cinta Manis di Ogan
Ilir, Sumatera Selatan, yang berakibat satu remaja tewas ditembak, enam lainnya
terluka. Pada 2011, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) mencatat sedikitnya 174
konflik pertambangan, sementara Komnas HAM mencatat angka tertinggi konflik
warga adalah konflik agraria yang mencapai 738 kasus, dari tindakan
kekerasan hingga pembunuhan.
Sumber bencana
Undang-Undang
Penanggulangan Bencana No. 24 tahun 2007 menyatakan, bencana merupakan
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Namun daya
rusak industri ekstraktif tambang, kehutanan dan perkebunan yang senantiasa
menimbulkan dampak yang dijelaskan undang-undang ini, tak dianggap bencana.
Bencana
masih dianggap peristiwa alami, tidak ada urusannya dengan tindakan manusia,
mengabaikan fakta bencana alami itu kerap merupakan dampak kumulatif kerusakan
fungsi-fungsi alam. Akibatnya, tindakan Negara menangani kemerosotan keselamatan
warga pada kejadian bencana tidak lebih dari tindakan tanggap darurat.
Abainya
negara dalam menjamin keselamatan warga dapat dilihat pada kejadian ketika lima
anak meninggal di lubang tambang batubara di Samarinda, dalam tiga tahun
terakhir. Atau banjir rutin yang meluas dari 29 titik menjadi 35 titik banjir
tahun lalu, sejak 70 persen lebih kawasan Samarinda menjadi konsesi tambang
batubara. Ironisnya, derajat derita warga diperparah cuaca ekstrem karena
dampak perubahan iklim.
Jelas MP3EI secara terencana
tak memasukkan derajat derita warga yang terus meningkat dalam kalkulasi
proyeksi laba. Rencana induk ini masih mengadopsi mantra Orde Baru, trickle down effect,yang percaya pertumbuhan
ekonomi pelan-pelan akan menetes kepada warga. Oleh karena itu untuk
melancarkan rencana perluasa pertumbuhan ekonomi ini, warga harus mengalah dan
menyingkirkan kepentingan yang dianggap kecil dan tidak berarti.
Sulit diterima akal sehat, MP3EI yang bertumpu pada industri
ekstraktif pertambangan, kehutanan dan perkebunan skala besar ini bisa
mewujudkan mimpi Indonesia sebagai sepuluh Negara besar dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar