Jumat, 17 Mei 2013

Terorisme, Sebuah Skenario Pengalihan Isu


Terorisme, Sebuah Skenario Pengalihan Isu
Abd Hannan Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Budaya
Universitas Trunojoyo Madura
SUAR OKEZONE, 17 Mei 2013


Isu terorisme kembali hangat diperbicangkan media setelah pada Kamis (2/5/2013) jajaran kepolisian Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri melakukan penyergapan. Sebagaimana dilaporkan banyak media pada saat itu Densus 88 sukses menangkap dua terduga teroris yakni JM alias Asep dan Ovie di Jalan Jenderal Sudirman. Keduanya diciduk saat menuju Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat. Berdasarkan keterangan yang diperoleh keduanya didapati membawa lima bom pipa siap ledak. 
  
Selang beberapa hari kemudian, jajaran kepolisian Detasemen Khusus (Densus) 88 kembali melanjalankan operasinya. Kali ini adalah mereka menggerebek rumah kontrakan terduga teroris di RT2/RW8 Batu Rengat, Cigondewah Hilir, Bandung, Rabu (8/5/2013). 

Dalam operasinya kali ini 11 orang berhasil disergap, 4 di antaranya tewas. Terduga teroris tersebut tewas di tempat setelah terjadi baku tembak antarkeduanya. Terduga teroris yang tewas di Bandung diketahui bernama Budi Syarif alais Angga, Sarene, dan Jonet. Sementara yang tewas di Kendal bernama Abu Roban alias Bambang alias Untung.

Terlepas dari benar atau tidaknya isu teroris tersebut penulis tak ingin terlampau jauh masuk kewilayah tersebut. Karena bagi penulis benar hanyalah persoalan subjektivitas yang bisa dipelintirkan, bahkan dimanipulasi sekalipun melalui berbagai konspirasi dan skenario yang sulit diterawang. Namun yang jelas apresiasi rasanya perlu kita berikan kepada jajaran pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri yang sudah ikut andil menjaga keamanan negeri kita, Indonesia. Dan itu harus kita syukuri meski pada beberapa kesempatan keberadaan Densus kerapkali juga menebarkan keresahan, lantaran tidak bisa “menjaga” sikap dalam menjalankan operasinya.

Sebagai rakyat yang baik, penting rasanya ditegaskan bahwa penulis bukanlah tipe orang yang suka berprasangka buruk, dalam hal apapun itu. Apalagi menyangkut perihal kebijakan dan intrik politik yang ada dilingkungan birokrasi. Hanya saja, kaitannya dengan isu penangkapan teroris di Jakarta kemarin sungguh membuat diri penulis terjebak dalam penasaran mendalam. Penulis menilai fenomena tersebut merupakan suatu yang amat janggal, menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar. Setidaknya perihal momentum kejadiannya yang berbarengan dengan gonjang-ganjing politik dan persoalan kenegaraan yang lagi akut. Yang demikian hemat amatlah menarik dibicarakan, karena walau bagaimanapun isu teroris di negeri ini bagai “celengan” yang menyeruak di saat ada kebutuhan politik mendesak.

Komoditas politik rezim teroris?

Belajar dari sejarah sebelumnya, mungkin tidaklah berlebihan jika penulis sedikit beranikan diri berasumsi, bahwa bangsa kita terlalu berlebihan menyikapi sempalan isu pinggiran. Ketika ada satu kasus menyeruak di media yang kebenarannya belum diketahui pasti, serentak publik gempar. Jutaan pasang mata pun fokus mengalihkan diri mengikuti perkembangannya. Tak ketinggalan pula media dibuat kalang kabut, serentak mereka berebutan melakukan liputan. Padahal jika mau jujur hal demikian kadang merupakan semapalan isu yang sengaja dibuat sebagai media pengalihan, menghilangkan isu-isu vital yang ada dielemen kebangsaan dan kenegaraan.

Sebagai contoh, adalah Penangkapan Ibrohim di Temanggung 10 Agustus 2009 lalu yang diklaim sebagai kelanjutan operasi terduga teroris Hotel Ritz Charlton. Pada saat itu, pemerintah dalam hal ini SBY sedang ditekan mengenai penyelenggaraan pemilu terkait dengan hilangnya potensi 60 juta suara dan menangnya Partai Demokrat dalam 1 putaran. Dan bersamaan dengan itu sedang merebak pula persoalan birokrasi perihal Kasus Cicak dan Buaya yang melibatkan Susno Duadji. Dia dianggap melakukan suap dalam penanganannya terhadap kasus century, serta Kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen sebagai Dirut salah satu BUMN, di mana dalam perkembangannya melibatkan Antasari yang pada masa itu menjabat sebagai Ketua KPK.

Dan yang masih segar dalam ingatan kita adalah meledaknya bom rakitan di Semarang yang terjadi pada tanggal 15 Maret 2012. Uniknya peristiwa tersebut terjadi pada waktu wacana kenaikan BBM menjadi isu besar, sedang hangat–hangatnya diperbincangkan media dan pemerintah. Rakyat yang saat itu getol melakukan demonstrasi dibuat “terhipnotis” oleh sempalan isu teroris Semarang. Alih-alih menantang kebijakan pemerintah akhirnya meredup lantaran rakyat terbawa skenario teroris.

Begitu juga dengan penyergapan teroris di Solo pada 31 Agustus 2012 kemarin, di mana operasi tersebut terjadi bersamaan dengan menggeliatnya isu terhadap peninjuan kembali kontrak karya Freeport serta kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi Polri sebagai tersangka. Selain itu, juga sebagai pengalihan terhadap upaya membuka kembali kasus Century dengan pemanggilan Antazari ke Senayan.
  
Dan “Alhamdulillah” intrik demikian betul-betul manjur, KPK pun dibuat ompong lantaran ketuanya dihadapkan pada persoalan hukum. Sedangkan para koruptor berkeliaran hingga kasus Century pun mengambang tak terurus hingga sekarang. Penulis mulai khawatir ketika nantinya terekpos isu-isu vital perihal kebijakan negara dan peroblem kenegaraan, maka akan mencuat isu-isu baru. Teroris dan selalu teroris.

Dan ternyata apa yang penulis hawatirkan ternyata berbanding lurus dengan realitas yang terjadi sekarang. Terbukti ketika kasus eksekusi Susno Duadji atau kasus mantan Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo masih bergulir, pada waktu yang bersamaan menyeruak isu hangat yang lagi-lagi melibatkan nama teroris. Nampaknya isu teroris di negeri ini betul-betul kental, menjadi media komoditas politik yang banyak digandrungi.

Rekayasa yang Mengerikan

Jika mau jujur sebenarnya kita ngeri melihati beberapa fenomena di atas. Penulis lebih suka melihatnya sebagai satu agenda ketimbang ketepatan atau kebetulan. Kenapa ada korelasi isu besar dengan peladakan bom atau dengan digrebeg dan dieksekusinya para teroris tersebut? Sungguh tidak mudah menjawabnya tetapi fakta demikian sudah mengindikasikan terdapat satu skenario besar yang bermain dibalik layar. 

Sampai di sini, penulis tidak ingin terlampau jauh menjustifikasi dengan mengatakan, bahwa ada konspirasi yang sedang bersembunyi di sektor internal pemerintahan kita. Penulis tidak ingin dibilang ngaur lantaran mengklaim sesuatu yang belum sepenuhnya terbukti kepastiannya. Hanya saja sebagai pengamat kecil-kecilan, penulis pribadi tidak ingin dikatakan bodoh karena harus menutup mata perihal isu teroris yang berkembang saat ini. Yang jelas dibalik sekenario ini ada aktor pelaku pemain utama yang keberadaannya sulit dijangkau media.

Bukan maksud penulis mengharap isu teroris menjadi suatu kenyataan, namun jika memang benar isu tersebut hanya merupakan rekayasa belaka, maka betapa berdosanya pemimpin kita yang sudah membohongi jutaan umat. Dan betapa piciknya pemimpin kita yang sampai hati tega membuat gelisah masyarakat. Sekalipun itu rekayasa, namun sudah lebih dari cukup menebarkan keresahan dan kekacauan di tengah kehidupan publik.

Akhir kata, semoga kebenaran segera terungkap dan bangsa Indonesia mendapatkan perlindungan dari Allah SWT serta kita menjadi bangsa yang lebih baik. Bangsa yang jujur, penuh amanah, dan bertanggung jawab. mien! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar