Sabtu, 18 Mei 2013

Rekam Jejak Bakal Caleg


Rekam Jejak Bakal Caleg
Toeti Prahas Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 17 Mei 2013


KATA pepatah, orangtua tidak akan kehilangan tongkat dua kali. Diharapkan, kita tidak mengulang kesalahan yang pernah kita buat. Tetapi kita mendengar, di antara para bakal calon legislatif (bacaleg) ternyata kelompok-kelompok lama masih ada yang akan muncul kembali untuk mengadu untung. Besar kemungkinan mereka akan beruntung terpilih. Kenyataan bahwa mereka diajukan kembali menjadi caleg oleh partainya tentu karena tidak ada kader-kader lain yang dianggap memadai mewakili partai. Fakta ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kinerja mereka masih akan sama seperti lima tahun terakhir? Itu berarti situasi lembaga legislatif relatif akan sama. The old show goes on.

Bahwa kita umumnya menginginkan perubahan rasanya wajar. Yang tidak wajar bila kita ingin perubahan tanpa memperhitungkan kekuatan ataupun faktor-faktor pendukung di luar diri kita, yang kompleksnya luar biasa. Terutama karena menyangkut situasi politik dan sosial ataupun budaya kita dan tidak hanya menyangkut kelompok, melainkan juga masyarakat luas. Dalam rangka globalisasi, ternyata tidak hanya menyangkut masalah nasional dalam hubungannya dengan dunia internasional yang selama ini kita anggap memadai.

Bila dicari analoginya di bidang manajemen, kata ahli manajemen Peter Drucker (1909-2005), kita harus tumbuh sesuai dengan pasar yang akan menampung produk kita, kekuatan ekonomi kita, struktur industri kita, dan kemajuan teknologi kita. Termasuk tentunya orang-orang yang menjalankannya.

Setelah memperhatikan semua itu, dalam strategi perubahan perlu mengangkat pertanyaan berapa besar perubahan yang kita inginkan. Pertanyaan yang tidak mudah dan sering menimbulkan kontroversi. Karena itu, betapapun bagusnya gagasan perubahan yang kita inginkan, banyak yang mengabaikannya atau pura-pura tidak mengerti atau tidak tahu. Seperti Oktopus, kelompok yang melawannya bergerak cepat, mencengkeram apa yang bisa dicengkeramnya, apakah kekuasaan atau uang. Dia terus berekspansi. Ambisinya mengalahkan segalanya. Kenyataan inilah yang sedang kita saksikan dalam dunia perpolitikan sekarang. Korupsi besar marak di mana-mana.

Hanya meninggalkan jargon

Pada saat ini banyak orang mengelu-elukan usaha-usaha Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengubah sistem yang dianggapnya belum memadai di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Usaha seperti ini tentu pernah dicoba di masa lalu. Di zaman Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) pernah diadakan penelitian tentang disiplin karyawan Pemprov DKI. Ternyata disiplin mereka tidak banyak berbeda dari lembagalembaga lain. Beberapa waktu kemudian orang ramai berbicara tentang disiplin nasional. Tetapi ungkapan itu segera berlalu dan dilupakan. Yang tertinggal sekadar jargon. Bang Wi (1922-2012) pun tidak berdaya membuat perubahan.

Apa yang salah tentang cara kerja kita? Mengapa pula kita banyak mengeluhkan tidak adanya disiplin nasional di sebagian kalangan anggotaanggota legislatif? Dalam tahun-tahun terakhir, orang tidak henti-hentinya mengeluh tentang disiplin sebagian anggota legislatif, kinerja mereka, kegiatan mereka yang tidak berfokus pada kepentingan rakyat, tetapi lebih kepada kepentingan partai/pribadi. Tentu banyak di antara mereka yang mengatakan masih banyak yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Namun kenyataannya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Ahli manajemen Burt K Scanlan pernah mengadakan penelitian yang hasilnya dimuat di Business Horizons. Dia menunjukkan, pada umumnya banyak karyawan hanya menyumbangkan 20%30% kemampuannya kepada lembaga. Tetapi mereka tidak merasa dibayangi kemungkinan pemecatan karena sistem yang ada melindungi mereka. Hasil penelitian itu juga menunjukkan, rata-rata karyawan hanya bekerja dengan tidak lebih dari dua-pertiga kemampuannya. Menciptakan suasana kerja yang dapat mendorong karyawan bekerja dengan kemampuan lebih dari itu menjadi tantangan pimpinan berbagai lembaga, termasuk lembaga legislatif.

Apa motivasi bacaleg

Langkah awal yang efektif mungkin membuat penilaian tentang apa motivasi bacaleg untuk mencemplungkan diri dalam dunia politik yang fokusnya mengangkat harkat dan martabat rakyat umumnya. Penilaian awal ini diharapkan dilakukan oleh partai-partai politik. Dan menjadi tanggung jawab partai-partai politik untuk tidak hanya menilai, tetapi juga mempelajari rekam jejak para bacaleg. Ketelitian atau sebaliknya kelalaian pada awal penilaian bisa menjadi tolok ukur bagaimana kinerja lembaga legislatif kemudian.

Selain itu, sering ada asumsi bahwa faktor biologis dan genetika ikut menentukan motivasi manusia. Bila asumsi itu benar, apakah itu berarti motivasi tiap orang tidak bisa diubah? Penelitian Scanlan menunjukkan, ternyata ada faktor-faktor lain yang sama pentingnya dengan faktor biologis, yakni faktor-faktor budaya, latar belakang keluarga, dan sosial-ekonomi, serta kekuatan-kekuatan lain yang ada di lingkungan dekatnya. Ini berarti, orang menjadi malas bekerja karena dia pada dasarnya pemalas atau lingkungannya yang membuat dia malas. Misalnya, bila korupsi bisa membuat kaya raya, mengapa harus bekerja?

Ada faktor lain yang bisa membantu menciptakan suasana kerja yang baik, yakni mengenali tujuan-tujuan yang jelas. Tanpa itu, sulit bagi mereka untuk membayangkan, apa tujuan mereka bekerja? Untuk itu, diperlukan tokoh-tokoh yang bisa menjadi teladan dan memberi inspirasi. Jangan yang menjadi tokoh-tokoh pimpinan malahan orang-orang yang tidak bisa diteladani, termasuk di partai-partai politik. Dapat dipastikan, partai-partai politik yang demikian akan lemah kalau bukan jatuh citranya.

Dari pemaparan hasil penelitian tentang disiplin kerja yang pernah dimuat Business Horizons menjadi jelas, peningkatan disiplin dan motivasi kerja mensyaratkan banyak hal, dan banyak di antaranya ada di luar kekuasaan pimpinan. Maka sebagai individu kita boleh bertanya, apakah cara kerja seperti ini karena faktor biologis dan genetika kita, atau karena lingkungan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar