|
MEDIA
INDONESIA, 17 Mei 2013
KATA pepatah, orangtua tidak akan
kehilangan tongkat dua kali. Diharapkan, kita tidak mengulang kesalahan yang
pernah kita buat. Tetapi kita mendengar, di antara para bakal calon legislatif
(bacaleg) ternyata kelompok-kelompok lama masih ada yang akan muncul kembali
untuk mengadu untung. Besar kemungkinan mereka akan beruntung terpilih.
Kenyataan bahwa mereka diajukan kembali menjadi caleg oleh partainya tentu
karena tidak ada kader-kader lain yang dianggap memadai mewakili partai. Fakta
ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kinerja mereka masih akan sama seperti
lima tahun terakhir? Itu berarti situasi lembaga legislatif relatif akan sama. The old show goes on.
Bahwa kita umumnya menginginkan perubahan rasanya wajar.
Yang tidak wajar bila kita ingin perubahan tanpa memperhitungkan kekuatan
ataupun faktor-faktor pendukung di luar diri kita, yang kompleksnya luar biasa.
Terutama karena menyangkut situasi politik dan sosial ataupun budaya kita dan
tidak hanya menyangkut kelompok, melainkan juga masyarakat luas. Dalam rangka
globalisasi, ternyata tidak hanya menyangkut masalah nasional dalam hubungannya
dengan dunia internasional yang selama ini kita anggap memadai.
Bila dicari analoginya di bidang manajemen, kata ahli
manajemen Peter Drucker (1909-2005), kita harus tumbuh sesuai dengan pasar yang
akan menampung produk kita, kekuatan ekonomi kita, struktur industri kita, dan
kemajuan teknologi kita. Termasuk tentunya orang-orang yang menjalankannya.
Setelah memperhatikan semua itu, dalam strategi perubahan
perlu mengangkat pertanyaan berapa besar perubahan yang kita inginkan. Pertanyaan
yang tidak mudah dan sering menimbulkan kontroversi. Karena itu, betapapun
bagusnya gagasan perubahan yang kita inginkan, banyak yang mengabaikannya atau
pura-pura tidak mengerti atau tidak tahu. Seperti Oktopus, kelompok yang
melawannya bergerak cepat, mencengkeram apa yang bisa dicengkeramnya, apakah
kekuasaan atau uang. Dia terus berekspansi. Ambisinya mengalahkan segalanya. Kenyataan
inilah yang sedang kita saksikan dalam dunia perpolitikan sekarang. Korupsi
besar marak di mana-mana.
Hanya
meninggalkan jargon
Pada saat ini banyak orang mengelu-elukan usaha-usaha
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk mengubah sistem yang dianggapnya belum
memadai di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Usaha seperti ini tentu pernah
dicoba di masa lalu. Di zaman Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) pernah
diadakan penelitian tentang disiplin karyawan Pemprov DKI. Ternyata disiplin
mereka tidak banyak berbeda dari lembagalembaga lain. Beberapa waktu kemudian
orang ramai berbicara tentang disiplin nasional. Tetapi ungkapan itu segera
berlalu dan dilupakan. Yang tertinggal sekadar jargon. Bang Wi (1922-2012) pun
tidak berdaya membuat perubahan.
Apa yang salah tentang cara kerja kita? Mengapa pula kita
banyak mengeluhkan tidak adanya disiplin nasional di sebagian kalangan
anggotaanggota legislatif? Dalam tahun-tahun terakhir, orang tidak
henti-hentinya mengeluh tentang disiplin sebagian anggota legislatif, kinerja
mereka, kegiatan mereka yang tidak berfokus pada kepentingan rakyat, tetapi
lebih kepada kepentingan partai/pribadi. Tentu banyak di antara mereka yang
mengatakan masih banyak yang benar-benar bekerja untuk rakyat. Namun
kenyataannya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Ahli manajemen Burt K Scanlan pernah mengadakan penelitian
yang hasilnya dimuat di Business Horizons. Dia menunjukkan, pada umumnya banyak
karyawan hanya menyumbangkan 20%30% kemampuannya kepada lembaga. Tetapi mereka
tidak merasa dibayangi kemungkinan pemecatan karena sistem yang ada melindungi
mereka. Hasil penelitian itu juga menunjukkan, rata-rata karyawan hanya bekerja
dengan tidak lebih dari dua-pertiga kemampuannya. Menciptakan suasana kerja
yang dapat mendorong karyawan bekerja dengan kemampuan lebih dari itu menjadi
tantangan pimpinan berbagai lembaga, termasuk lembaga legislatif.
Apa
motivasi bacaleg
Langkah
awal yang efektif mungkin membuat penilaian tentang
apa motivasi bacaleg untuk mencemplungkan diri dalam dunia politik yang
fokusnya mengangkat harkat dan martabat rakyat umumnya. Penilaian awal ini
diharapkan dilakukan oleh partai-partai politik. Dan menjadi tanggung jawab
partai-partai politik untuk tidak hanya menilai, tetapi juga mempelajari rekam
jejak para bacaleg. Ketelitian atau sebaliknya kelalaian pada awal penilaian
bisa menjadi tolok ukur bagaimana kinerja lembaga legislatif kemudian.
Selain itu, sering ada asumsi bahwa faktor biologis dan
genetika ikut menentukan motivasi manusia. Bila asumsi itu benar, apakah itu
berarti motivasi tiap orang tidak bisa diubah? Penelitian Scanlan menunjukkan,
ternyata ada faktor-faktor lain yang sama pentingnya dengan faktor biologis,
yakni faktor-faktor budaya, latar belakang keluarga, dan sosial-ekonomi, serta
kekuatan-kekuatan lain yang ada di lingkungan dekatnya. Ini berarti, orang
menjadi malas bekerja karena dia pada dasarnya pemalas atau lingkungannya yang
membuat dia malas. Misalnya, bila korupsi bisa membuat kaya raya, mengapa harus
bekerja?
Ada faktor lain yang bisa membantu menciptakan suasana
kerja yang baik, yakni mengenali tujuan-tujuan yang jelas. Tanpa itu, sulit
bagi mereka untuk membayangkan, apa tujuan mereka bekerja? Untuk itu,
diperlukan tokoh-tokoh yang bisa menjadi teladan dan memberi inspirasi. Jangan
yang menjadi tokoh-tokoh pimpinan malahan orang-orang yang tidak bisa
diteladani, termasuk di partai-partai politik. Dapat dipastikan, partai-partai
politik yang demikian akan lemah kalau bukan jatuh citranya.
Dari pemaparan hasil penelitian tentang disiplin kerja yang
pernah dimuat Business Horizons
menjadi jelas, peningkatan disiplin dan motivasi kerja mensyaratkan banyak hal,
dan banyak di antaranya ada di luar kekuasaan pimpinan. Maka sebagai individu
kita boleh bertanya, apakah cara kerja seperti ini karena faktor biologis dan
genetika kita, atau karena lingkungan kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar