|
KORAN
TEMPO, 17 Mei 2013
Pemilihan umum Malaysia usai sudah. Barisan Nasional di
bawah kepemimpinan Najib Tun Razak kembali berjaya. Pakatan Rakyat, partai
oposisi di bawah kepemimpinan Anwar Ibrahim, kembali menelan kekalahan, kendati
agregasi suara mereka naik dari 82 menjadi 89 kursi dan Barisan Nasional turun
dari 140 menjadi 133 kursi sekarang.
Anwar Ibrahim menolak menerima kekalahannya. Hingga kini,
demo demi demo protes dilancarkan di berbagai tempat. Anwar bersama pengikutnya
selalu mengenakan pakaian serba hitam, tanda berkabung. Anwar mencurigai adanya
kecurangan, sesuatu yang harus dibuktikannya secara hukum. Namun, hingga kini,
Anwar belum bergerak menempuh jalur itu.
Anwar Ibrahim, sejatinya, dari awal sudah mempersepsikan
dan meyakini akan menang. Berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai kalangan
sebelum pemilu dilaksanakan selalu mengunggulkan Anwar. Ini dilengkapi lagi
oleh kenyataan bahwa, setiap kali Anwar melakukan kampanye terbuka, massa
selalu menyemut. Kian lengkap sudah kepercayaan dirinya sebagai pemenang.
Dengan kepercayaan diri itu, Anwar Ibrahim mendatangi Jusuf
Kalla (JK), teman akrabnya sejak puluhan tahun silam. Ia meminta JK
menyampaikan kepada Datok Sri Najib, seterunya, agar siapa pun yang kelak
menang dalam pemilihan itu harus segera merangkul pihak yang kalah. Lalu, yang
kalah menghargai yang menang. Tambahan lagi, selama kampanye berlangsung, kedua
belah pihak tidak boleh menyerang secara pribadi. Jejak pribadi masa silam
hendaknya jangan diangkat. Program dan visilah yang dibicarakan. JK memang juga
adalah sahabat dekat Najib. Anwar melakukan itu karena yakin bahwa kemenangannya
kelak, mungkin, bisa disoal oleh Najib.
Apa boleh buat. Justru Najib yang memenangi pertarungan
politik itu, namun Anwar belum juga memenuhi janjinya kepada JK. Sedangkan
Najib konsisten dengan ucapannya. Beberapa jam setelah ia dinyatakan menang, Najib
langsung berpidato dan mengajak segera dilakukan rekonsiliasi nasional demi
kejayaan negara. Selama masa kampanye, Najib bersama kubunya sangat menahan
diri untuk tidak berbicara masalah pribadi dan rekam jejak Anwar. Penolakan
Anwar untuk memenuhi janjinya cukup diungkapkan dengan pernyataan:
"Politik tidak identik dengan dagang," kata Anwar kepada koleganya.
Anwar membenarkan penolakannya memenuhi komitmen, dengan
alasan anggota koalisinya tidak bisa menerima hasil pemilu. Ini sesuatu yang
tidak dihitung sebelumnya karena, pada saat ia berjanji kepada JK, ia juga
meyakinkan kepada JK bahwa dia mampu mengontrol anggota koalisinya.
Penolakan Anwar atas hasil pemilu ini, saya kira, juga
diilhami oleh asumsi bahwa perolehan Barisan Nasional di bawah kepemimpinan
Najib yang menurun itu membuat Najib tidak akan lama memegang kemudi Malaysia,
karena ia akan mengalami rongrongan dari dalam partainya sendiri, UMNO. Anwar
melihat ke belakang, empat tahun silam, Abdullah Badawi terdongkel karena
perolehan suara Barisan Nasional mengalami penurunan. Kalkulasi Anwar ini
benar, selama Mahathir gencar menghantam Najib sebagaimana Mahathir menggempur
Badawi. Tetapi asumsi gempuran Mahathir terhadap Najib adalah sesuatu yang
masih samar. Hitungan Anwar bisa meleset di sini.
Demo protes yang dilakukan Anwar belakangan ini, bila salah
dalam penanganan, bisa mengubah wajah Malaysia. Masalahnya, anggota koalisi
Anwar, Democratic Action Party (DAP), adalah partai yang diasosiasikan sebagai
partai warga Malaysia keturunan etnis Cina. Mereka sekarang banyak mendominasi
aksi protes tersebut. Dan ini bisa memicu aksi dan bentrokan rasial antara kubu
Melayu dan Cina. Kekhawatiran ini beralasan. Sebab, beberapa dekade silam,
Malaysia lantak karena bentrokan rasial ini.
Terlepas dari berbagai kecurigaan adanya kecurangan
tersebut, Barisan Nasional, yang dimotori oleh Partai UMNO, memenangi
pertarungan kali ini, mungkin saja karena sejumlah program kerja yang
ditawarkannya lebih konkret. Kita harus mengakui, sejak Najib Tun Razak
mengambil kemudi Malaysia, ia meluncurkan program "Satu Malaysia"
untuk merekatkan kemajemukan Malaysia.
Sebagian orang Malaysia meyakini bahwa Najib telah
melakukan transformasi besar-besaran, misalnya ia menghapuskan Internal
Security Act yang selalu menjadi momok secara politis selama ini di Malaysia.
Bersamaan dengan itu, ia juga menghapuskan pusat tahanan politik dengan cara
melepaskan lebih dari seratus tahanan politik. Dalam bidang ekonomi, Malaysia
tumbuh 5 persen tiap tahun. Sebuah angka yang dinilai baik untuk kesejahteraan
rakyat Malaysia.
Sektor perumahan, Najib banyak membangun perumahan rakyat
sehingga rakyat Malaysia sekarang ini sebagian besar sudah memiliki rumah.
Seiring dengan itu, kedai untuk bahan makanan pokok dibangun di berbagai
pelosok Malaysia. Kedai inilah yang membagikan bahan-bahan kebutuhan pokok
rakyat miskin, sehingga rakyat tahu betul apa manfaat kepemimpinan Najib.
Klinik kesehatan juga dibangun hingga ke daerah-daerah
sehingga rakyat miskin bisa berobat dengan mudah. Untuk pemeriksaan biasa,
rakyat cukup membayar dengan satu ringgit Malaysia. Malah, untuk rawat inap
selama 7 hari, rakyat cukup membayar 70 ringgit. Sebuah layanan yang sangat
mendasar dan menyentuh.
Di sisi lain, kelompok oposisi cenderung menawarkan program
populis yang tidak logis dan realistis. Kaum oposisi berkutat hanya pada agenda
pemerintahan yang bersih, tetapi rakyat Malaysia memilih hal yang konkret dan
menyenangkan. Perbedaan mendasar ini membuat pemilih Malaysia lebih rasional: menikmati
atau akan menikmati.
Namun kekecewaan Anwar memang juga memiliki alasan
tersendiri. Masalahnya, selama kampanye, media Malaysia, terutama televisi dan
media cetak, sangat merugikan Anwar. Media-media tersebut pada umumnya milik
pemerintah sehingga Anwar sama sekali tidak diberi kesempatan dan peluang.
Untuk ini, rasa dizalimi patut juga diterima. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar