Jumat, 17 Mei 2013

Najib versus Anwar


Najib versus Anwar
Hamid Awaludin ;  Menteri Hukum dan HAM RI (2004-2007)
KORAN TEMPO, 17 Mei 2013


Pemilihan umum Malaysia usai sudah. Barisan Nasional di bawah kepemimpinan Najib Tun Razak kembali berjaya. Pakatan Rakyat, partai oposisi di bawah kepemimpinan Anwar Ibrahim, kembali menelan kekalahan, kendati agregasi suara mereka naik dari 82 menjadi 89 kursi dan Barisan Nasional turun dari 140 menjadi 133 kursi sekarang. 
Anwar Ibrahim menolak menerima kekalahannya. Hingga kini, demo demi demo protes dilancarkan di berbagai tempat. Anwar bersama pengikutnya selalu mengenakan pakaian serba hitam, tanda berkabung. Anwar mencurigai adanya kecurangan, sesuatu yang harus dibuktikannya secara hukum. Namun, hingga kini, Anwar belum bergerak menempuh jalur itu. 
Anwar Ibrahim, sejatinya, dari awal sudah mempersepsikan dan meyakini akan menang. Berbagai survei yang dilakukan oleh berbagai kalangan sebelum pemilu dilaksanakan selalu mengunggulkan Anwar. Ini dilengkapi lagi oleh kenyataan bahwa, setiap kali Anwar melakukan kampanye terbuka, massa selalu menyemut. Kian lengkap sudah kepercayaan dirinya sebagai pemenang. 
Dengan kepercayaan diri itu, Anwar Ibrahim mendatangi Jusuf Kalla (JK), teman akrabnya sejak puluhan tahun silam. Ia meminta JK menyampaikan kepada Datok Sri Najib, seterunya, agar siapa pun yang kelak menang dalam pemilihan itu harus segera merangkul pihak yang kalah. Lalu, yang kalah menghargai yang menang. Tambahan lagi, selama kampanye berlangsung, kedua belah pihak tidak boleh menyerang secara pribadi. Jejak pribadi masa silam hendaknya jangan diangkat. Program dan visilah yang dibicarakan. JK memang juga adalah sahabat dekat Najib. Anwar melakukan itu karena yakin bahwa kemenangannya kelak, mungkin, bisa disoal oleh Najib. 
Apa boleh buat. Justru Najib yang memenangi pertarungan politik itu, namun Anwar belum juga memenuhi janjinya kepada JK. Sedangkan Najib konsisten dengan ucapannya. Beberapa jam setelah ia dinyatakan menang, Najib langsung berpidato dan mengajak segera dilakukan rekonsiliasi nasional demi kejayaan negara. Selama masa kampanye, Najib bersama kubunya sangat menahan diri untuk tidak berbicara masalah pribadi dan rekam jejak Anwar. Penolakan Anwar untuk memenuhi janjinya cukup diungkapkan dengan pernyataan: "Politik tidak identik dengan dagang," kata Anwar kepada koleganya. 
Anwar membenarkan penolakannya memenuhi komitmen, dengan alasan anggota koalisinya tidak bisa menerima hasil pemilu. Ini sesuatu yang tidak dihitung sebelumnya karena, pada saat ia berjanji kepada JK, ia juga meyakinkan kepada JK bahwa dia mampu mengontrol anggota koalisinya. 
Penolakan Anwar atas hasil pemilu ini, saya kira, juga diilhami oleh asumsi bahwa perolehan Barisan Nasional di bawah kepemimpinan Najib yang menurun itu membuat Najib tidak akan lama memegang kemudi Malaysia, karena ia akan mengalami rongrongan dari dalam partainya sendiri, UMNO. Anwar melihat ke belakang, empat tahun silam, Abdullah Badawi terdongkel karena perolehan suara Barisan Nasional mengalami penurunan. Kalkulasi Anwar ini benar, selama Mahathir gencar menghantam Najib sebagaimana Mahathir menggempur Badawi. Tetapi asumsi gempuran Mahathir terhadap Najib adalah sesuatu yang masih samar. Hitungan Anwar bisa meleset di sini. 
Demo protes yang dilakukan Anwar belakangan ini, bila salah dalam penanganan, bisa mengubah wajah Malaysia. Masalahnya, anggota koalisi Anwar, Democratic Action Party (DAP), adalah partai yang diasosiasikan sebagai partai warga Malaysia keturunan etnis Cina. Mereka sekarang banyak mendominasi aksi protes tersebut. Dan ini bisa memicu aksi dan bentrokan rasial antara kubu Melayu dan Cina. Kekhawatiran ini beralasan. Sebab, beberapa dekade silam, Malaysia lantak karena bentrokan rasial ini. 
Terlepas dari berbagai kecurigaan adanya kecurangan tersebut, Barisan Nasional, yang dimotori oleh Partai UMNO, memenangi pertarungan kali ini, mungkin saja karena sejumlah program kerja yang ditawarkannya lebih konkret. Kita harus mengakui, sejak Najib Tun Razak mengambil kemudi Malaysia, ia meluncurkan program "Satu Malaysia" untuk merekatkan kemajemukan Malaysia. 
Sebagian orang Malaysia meyakini bahwa Najib telah melakukan transformasi besar-besaran, misalnya ia menghapuskan Internal Security Act yang selalu menjadi momok secara politis selama ini di Malaysia. Bersamaan dengan itu, ia juga menghapuskan pusat tahanan politik dengan cara melepaskan lebih dari seratus tahanan politik. Dalam bidang ekonomi, Malaysia tumbuh 5 persen tiap tahun. Sebuah angka yang dinilai baik untuk kesejahteraan rakyat Malaysia.
Sektor perumahan, Najib banyak membangun perumahan rakyat sehingga rakyat Malaysia sekarang ini sebagian besar sudah memiliki rumah. Seiring dengan itu, kedai untuk bahan makanan pokok dibangun di berbagai pelosok Malaysia. Kedai inilah yang membagikan bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat miskin, sehingga rakyat tahu betul apa manfaat kepemimpinan Najib. 
Klinik kesehatan juga dibangun hingga ke daerah-daerah sehingga rakyat miskin bisa berobat dengan mudah. Untuk pemeriksaan biasa, rakyat cukup membayar dengan satu ringgit Malaysia. Malah, untuk rawat inap selama 7 hari, rakyat cukup membayar 70 ringgit. Sebuah layanan yang sangat mendasar dan menyentuh. 
Di sisi lain, kelompok oposisi cenderung menawarkan program populis yang tidak logis dan realistis. Kaum oposisi berkutat hanya pada agenda pemerintahan yang bersih, tetapi rakyat Malaysia memilih hal yang konkret dan menyenangkan. Perbedaan mendasar ini membuat pemilih Malaysia lebih rasional: menikmati atau akan menikmati. 
Namun kekecewaan Anwar memang juga memiliki alasan tersendiri. Masalahnya, selama kampanye, media Malaysia, terutama televisi dan media cetak, sangat merugikan Anwar. Media-media tersebut pada umumnya milik pemerintah sehingga Anwar sama sekali tidak diberi kesempatan dan peluang. Untuk ini, rasa dizalimi patut juga diterima. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar