|
JAWA
POS, 04 Mei 2013
Sejenak kita hela napas di tengah kerisauan Indonesia. Mari
kita mengalihkan pandangan kepada konstelasi politik negeri jiran Malaysia yang
semakin hangat dalam menghadapi suksesi kekuasaan lewat pemilu atau pilihan
raya umum (PRU) ke-13 besok.
Berkaca kepada ''tsunami politik'' PRU-12 tahun 2008, dari 13 negara bagian, dominasi Barisan Nasional (BN) nyaris runtuh. Koalisi 13 partai penguasa yang dipimpin United Malays National Organisation (UMNO) itu hanya menang di delapan wilayah. Sedangkan, lima negara bagian harus rela ditawan oleh Pakatan Rakyat (PR), koalisi tiga partai oposisi. Kejutan tersebut mengindikasikan peta politik Malaysia hari ini memasuki zona subduksi yang mungkin membawa guncangan politik.
Pasca pembubaran dewan rakyat (parlemen federal/pusat) oleh Perdana Menteri Najib pada Rabu (3/4), KPU Malaysia mengumumkan Ahad besok (5/5) adalah hari pemilihan umum yang akan melibatkan 13,3 juta pemilih. Sebanyak 222 kursi untuk dewan rakyat dan 505 kursi parlemen negara bagian (dewan undangan negeri) diperebutkan. Pemenang 2/3 mayoritas (164) kursi di DR atau minimal menang simple majority (112) kursi akan mengamankan ''golden ticket'' untuk melangkah ke singgasana perdana menteri.
Hasil survei Centre for Democracy and Elections (Umcedel) Universitas Malaya yang dirilis pada Januari 2013 menyatakan, BN menguasai 42 persen dan PR 37 persen. BN diprediksi akan kembali menang, tetapi potensi PR untuk menyalip BN masih sangat terbuka. Apalagi, terdapat 21 persen pemilih yang belum menentukan pilihan. Menariknya, dalam pemetaan Umcedel, swing voter tersebut terdiri atas 53 persen etnis Tionghoa, 49 persen mahasiswa, 51 persen berusia 21-30 tahun, dan 48 persen merupakan pemilih kali pertama.
Tersirat dua realitas politik dalam paparan di atas, pertama, angka 51 persen pemilih Tionghoa yang masih terombang-ambing itu terlalu seksi untuk diabaikan. Mungkin Democratic Action Party/ DAP (partai oposisi selain Partai Islam se-Malaysia -PAS) dan Partai Keadilan Rakyat (PKR) berada di ''atas angin''. Sebab, pada 2008, partai yang digawangi Lim Kit Siang itu meraup 58,3 persen suara etnis Tionghoa dan memerintah di Pulau Penang.
Selain itu, BN versus PR akan siap berdarah-darah untuk mendaratkan 37 persen suara orang Melayu dan 10 persen orang India yang belum menemukan pelabuhan suara. Etnis Melayu mungkin akan mendarat di dua kubu yang berlawanan, yaitu UMNO (BN) versus PAS dan PKR (PR). Sedangkan, suara etnis India akan menyasar ke partai berbasis India seperti Malaysian Indian Congress/MIC (BN) dan PKR (PR). Terjadi keunikan di sini, PKR adalah kepunyaan Anwar Ibrahim (Melayu) pada 2008 mendapat suara signifikan dari etnis India. Gaya politik PKR relatif berhasil meredam sentimen politik etnis dalam partainya.
Kedua, pendulum politik kini mengarah kepada kelas menengah Malaysia. Golongan itu tengah didera kegelisahan, di antara kestabilan yang ditawarkan incumbent atau kumandang perubahan ala penantang. Karakteristik rasional, peka informasi teknologi, berorientasi prestasi, punya privilege, dan terkadang pragmatis kadung tersemat dalam golongan tersebut.
Suara kelas menengah akan didasari tiga pertimbangan: Pertama, kekuasaan BN yang sudah berjalan lima dasawarsa menjadi satu pilihan yang absurd dan memuakkan karena dinilai amat korup dan tertutup.Kedua, ''jatuh cinta'' kepada janji perubahan kaum oposan merupakan pilihan berisiko, mereka takut kegagalan mengawal transisi politik akan menyeret stabilitas negeri itu pada huru-hara ala ''Arab Spring''.Ketiga, kebingungan kelompok tersebut pada akhirnya -bukan tidak mungkin- akan bermuara kepada keengganan memilih. Alhasil, partai pemerintah maupun oposisi tidak akan mudah memastikan kemenangan dan melenggang ke Putera Jaya.
Dalam demokrasi parlementer, ''teka-teki'' perdana menteri Malaysia bisa ditebak setelah diketahui siapa yang mendominasi parlemen federal. Hingga kini, yang menjadi kandidat terkuat untuk menjadi PM adalah Mohd. Najib (BN) dan Anwar Ibrahim (PR). Pemilu kali ini merupakan perjudian terakhir keduanya, jika gagal berarti berakhir pula karir politiknya.
Untuk memenangi kontestasi, dua kandidat harus mengetahui di mana titik lemah dan ke mana harus memperkuat basis dukungan. Dalam survei Umcedel, didapati kaum Melayu (46 persen) dan perempuan menjadi basis terbesar dukungan Najib, sedangkan Anwar Ibrahim hanya 34 persen. Tetapi, untuk dukungan dari kalangan Tionghoa dan pemilih muda, Anwar memperoleh dukungan 61 persen orang Tionghoa dan Najib 35 persen. Sementara pemilih baru lebih mendukung Anwar (52 persen) jika dibandingkan dengan Najib (30 persen). Namun, masih ada sekitar 35 persen orang belum menyatakan dukungan kepada dua calon.
Najib akan menjalani penggal kedua sebagai PM jika BN berhasil meraup 2/3 mayoritas (164) kursi di parlemen. Jika BN hanya menang simple majority (112) kursi -apalagi kalah-, karma politik akan menimpa Najib. Nasib Najib bakal sama dengan Badawi yang digusur dari kursi PM oleh dirinya karena BN gagal mencapai 2/3 mayoritas di parlemen pada PRU 2008. Sementara bagi Anwar Ibrahim, hasrat menjadi PM harus dikubur rapat jika koalisi partai oposisi gagal menang dalam pemilu kali pertama, mengingat usia Anwar telah berada di bibir senja (66 tahun).
Dalam pemilu kali ini, jelaga etnisitas dan agama, tampaknya, masih akan menggejala. Namun, dengan kekuatan kelas menengah yang kian dewasa, warga Malaysia layak mengharapkan pemilu dapat menghadirkan demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial. ●
Berkaca kepada ''tsunami politik'' PRU-12 tahun 2008, dari 13 negara bagian, dominasi Barisan Nasional (BN) nyaris runtuh. Koalisi 13 partai penguasa yang dipimpin United Malays National Organisation (UMNO) itu hanya menang di delapan wilayah. Sedangkan, lima negara bagian harus rela ditawan oleh Pakatan Rakyat (PR), koalisi tiga partai oposisi. Kejutan tersebut mengindikasikan peta politik Malaysia hari ini memasuki zona subduksi yang mungkin membawa guncangan politik.
Pasca pembubaran dewan rakyat (parlemen federal/pusat) oleh Perdana Menteri Najib pada Rabu (3/4), KPU Malaysia mengumumkan Ahad besok (5/5) adalah hari pemilihan umum yang akan melibatkan 13,3 juta pemilih. Sebanyak 222 kursi untuk dewan rakyat dan 505 kursi parlemen negara bagian (dewan undangan negeri) diperebutkan. Pemenang 2/3 mayoritas (164) kursi di DR atau minimal menang simple majority (112) kursi akan mengamankan ''golden ticket'' untuk melangkah ke singgasana perdana menteri.
Hasil survei Centre for Democracy and Elections (Umcedel) Universitas Malaya yang dirilis pada Januari 2013 menyatakan, BN menguasai 42 persen dan PR 37 persen. BN diprediksi akan kembali menang, tetapi potensi PR untuk menyalip BN masih sangat terbuka. Apalagi, terdapat 21 persen pemilih yang belum menentukan pilihan. Menariknya, dalam pemetaan Umcedel, swing voter tersebut terdiri atas 53 persen etnis Tionghoa, 49 persen mahasiswa, 51 persen berusia 21-30 tahun, dan 48 persen merupakan pemilih kali pertama.
Tersirat dua realitas politik dalam paparan di atas, pertama, angka 51 persen pemilih Tionghoa yang masih terombang-ambing itu terlalu seksi untuk diabaikan. Mungkin Democratic Action Party/ DAP (partai oposisi selain Partai Islam se-Malaysia -PAS) dan Partai Keadilan Rakyat (PKR) berada di ''atas angin''. Sebab, pada 2008, partai yang digawangi Lim Kit Siang itu meraup 58,3 persen suara etnis Tionghoa dan memerintah di Pulau Penang.
Selain itu, BN versus PR akan siap berdarah-darah untuk mendaratkan 37 persen suara orang Melayu dan 10 persen orang India yang belum menemukan pelabuhan suara. Etnis Melayu mungkin akan mendarat di dua kubu yang berlawanan, yaitu UMNO (BN) versus PAS dan PKR (PR). Sedangkan, suara etnis India akan menyasar ke partai berbasis India seperti Malaysian Indian Congress/MIC (BN) dan PKR (PR). Terjadi keunikan di sini, PKR adalah kepunyaan Anwar Ibrahim (Melayu) pada 2008 mendapat suara signifikan dari etnis India. Gaya politik PKR relatif berhasil meredam sentimen politik etnis dalam partainya.
Kedua, pendulum politik kini mengarah kepada kelas menengah Malaysia. Golongan itu tengah didera kegelisahan, di antara kestabilan yang ditawarkan incumbent atau kumandang perubahan ala penantang. Karakteristik rasional, peka informasi teknologi, berorientasi prestasi, punya privilege, dan terkadang pragmatis kadung tersemat dalam golongan tersebut.
Suara kelas menengah akan didasari tiga pertimbangan: Pertama, kekuasaan BN yang sudah berjalan lima dasawarsa menjadi satu pilihan yang absurd dan memuakkan karena dinilai amat korup dan tertutup.Kedua, ''jatuh cinta'' kepada janji perubahan kaum oposan merupakan pilihan berisiko, mereka takut kegagalan mengawal transisi politik akan menyeret stabilitas negeri itu pada huru-hara ala ''Arab Spring''.Ketiga, kebingungan kelompok tersebut pada akhirnya -bukan tidak mungkin- akan bermuara kepada keengganan memilih. Alhasil, partai pemerintah maupun oposisi tidak akan mudah memastikan kemenangan dan melenggang ke Putera Jaya.
Dalam demokrasi parlementer, ''teka-teki'' perdana menteri Malaysia bisa ditebak setelah diketahui siapa yang mendominasi parlemen federal. Hingga kini, yang menjadi kandidat terkuat untuk menjadi PM adalah Mohd. Najib (BN) dan Anwar Ibrahim (PR). Pemilu kali ini merupakan perjudian terakhir keduanya, jika gagal berarti berakhir pula karir politiknya.
Untuk memenangi kontestasi, dua kandidat harus mengetahui di mana titik lemah dan ke mana harus memperkuat basis dukungan. Dalam survei Umcedel, didapati kaum Melayu (46 persen) dan perempuan menjadi basis terbesar dukungan Najib, sedangkan Anwar Ibrahim hanya 34 persen. Tetapi, untuk dukungan dari kalangan Tionghoa dan pemilih muda, Anwar memperoleh dukungan 61 persen orang Tionghoa dan Najib 35 persen. Sementara pemilih baru lebih mendukung Anwar (52 persen) jika dibandingkan dengan Najib (30 persen). Namun, masih ada sekitar 35 persen orang belum menyatakan dukungan kepada dua calon.
Najib akan menjalani penggal kedua sebagai PM jika BN berhasil meraup 2/3 mayoritas (164) kursi di parlemen. Jika BN hanya menang simple majority (112) kursi -apalagi kalah-, karma politik akan menimpa Najib. Nasib Najib bakal sama dengan Badawi yang digusur dari kursi PM oleh dirinya karena BN gagal mencapai 2/3 mayoritas di parlemen pada PRU 2008. Sementara bagi Anwar Ibrahim, hasrat menjadi PM harus dikubur rapat jika koalisi partai oposisi gagal menang dalam pemilu kali pertama, mengingat usia Anwar telah berada di bibir senja (66 tahun).
Dalam pemilu kali ini, jelaga etnisitas dan agama, tampaknya, masih akan menggejala. Namun, dengan kekuatan kelas menengah yang kian dewasa, warga Malaysia layak mengharapkan pemilu dapat menghadirkan demokrasi yang tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar