|
TEMPO.CO,
04 Mei 2013
Resto (rumah makan) Kunstkring
Paleis di Jalan Teuku Umar 1, Menteng, Jakarta Pusat, diresmikan beberapa waktu
yang lalu. Peresmian resto ini dihadiri Gubernur Jakarta Joko Widodo dengan
sajian rijsttafel Betawi yang pasti lezat tiada terperi. Bagi
banyak orang, berdirinya resto ini memiliki makna yang agak luar biasa.
Khususnya apabila dihubungkan dengan sejarah bangsa Indonesia, dan secara
spesifik dikaitkan dengan sejarah kebudayaan dan kesenian Indonesia.
Pasalnya, Kunstkring Paleis
menduduki gedung Bataviasche Kunstkring, yang merupakan cagar budaya arsitektur
Jakarta. Itu sebabnya, resto ini menjunjung kata kunstkring (lingkaran
atau komunitas seni). Lalu, sebagai seorang visioner yang menghormati sejarah,
pemilik resto, Anhar Setjadibrata, meresmikan rumah-makannya pada Rabu, 17
April. Hari, tanggal, dan bulan ini persis dengan hari, tanggal, dan bulan
ketika gedung Bataviasche Kunstkring diresmikan oleh Gubernur Jenderal Belanda
A.W. Frederick Indenburg pada 1914, atau 99 tahun silam. Sementara angka 99,
yang dalam kosmologi Cina dieja sebagai kiu-kiu, dianggap sebagai
simbol laba berganda-ganda.
Resto Kunstkring Paleis
sesungguhnya perombakan dari Buddha Bar, yang dikelola orang berbeda. Sementara
kita ingat, pada Maret 2009 keberadaan Buddha Bar diprotes lantaran resto
tempat minum-minum (dan boleh mabuk) itu menggunakan nama Buddha serta
arca-arca Buddha sebagai elemen dekorasi.
Berangkat dari kegaduhan tersebut,
sejumlah eksponen kesenian lantas mengimbau pemerintah DKI Jakarta agar
mengambil alih (membeli kembali) gedung yang sudah jadi milik swasta itu, dan
dikembalikan fungsinya sebagai gedung kesenian. Namun berbagai problem hak
kepemilikan menghadang. Lalu, gedung itu pun dibiarkan dikelola oleh swasta.
Tentu dengan syarat: bentuk arsitektur gedung harus tetap seperti semula.
Buddha Bar telah tenggelam, dan
kini terbit Kunstkring Paleis. Semua tentu berharap tak ada lagi persoalan yang
menggelitik usaha dagang ini. Apalagi ketika diketahui “sang resto” akan selalu
mengimbuhkan unsur-unsurkunst (seni) di sekujur interior. Sehingga
resto itu tetap membawakan roh sebagai bekas gedung kesenian yang tersohor pada
zamannya.
Van Gogh
Gedung Bataviasche Kunstkring
diarsiteki P.A.J. Moojen. Gedung diposisikan sebagai primadona arsitektur
lingkungan, sebelum orang masuk ke kawasan Menteng (Entree Gondangdia).
Bangunan bercorak art nouveau ini mendampingi gedung
Pemberitaan Angkatan Bersenjata. Juga menemani gedung N.V. De Bouwploeg (orang
Jakarta menyebutnya “boplo”, yang lantas jadi merek gado-gado), perusahaan
pengembang kawasan yang kini menjadi masjid. Alamat gedung Bataviasche
Kunstkring kala itu adalah Jalan Heutszboulevard No.1, Batavia.
Sebagai gedung kesenian,
Bataviasche Kunstkring, yang menempati lahan seluas 3.250 meter persegi,
memenuhi berbagai prasyarat. Gedung ini punya tiga muka karena terletak di
simpang Jalan Teuku Umar, Cut Meutia, dan Cut Nya Dien, sehingga gampang
menarik perhatian masyarakat. Banyak acara kesenian penting telah digelar. Yang
paling diingat adalah pameran lukisan koleksi P.A. Regnault dengan melibatkan
karya maestro dunia, seperti Pablo Picasso, Kees van Dongen, Van Gogh, Marc
Chagall, sampai Jan Sluijter, pada April 1937. Pameran yang diadakan Bond van
Kunstkringen in Nederlandsch Indie ini mengguncang pencinta seni Indonesia.
Meski warga pribumi pada waktu itu didiskriminasi lewat larangan oral:
“Inlander dan anjing dilarang masuk”.
Program yang kontinu diadakan
adalah pameran seni rupa karya para anggota kunstkring yang
tersebar di banyak kota, seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan lain
sebagainya. Pameran-pameran terselenggara berkala dan bertahap dengan seleksi
model piramida. Puncaknya ialah tahap tentoonstelling bondscollectie,
yang merupakan gabungan dari karya-karya terbaik anggota kunstkring berbagai
daerah. Bataviasche Kunstkring sangat aktif ketika diketuai oleh Jan Frank.
Biasanya, perupa (terutama pelukis)
yang pernah muncul di gedung ini memperoleh posisi bagus dalam sejarah seni
rupa Hindia Belanda. Apalagi bila sudah dimasukkan ke grup kecil, yang
sesungguhnya merupakan pengakuan spesial. Seperti Tentoonstelling van Werhen van Indische Kunst Schilders, Desember
1933, yang menghadirkan C.L. Dake Jr, Emil Rizek, H.V. Velthuysen, dan M.
Vervoort. Siapa yang tak kenal nama-nama itu sekarang? Ries Mulder, tokoh seni
rupa Institut Teknologi Bandung, juga pernah menggelar pameran tunggal di sini
pada Agustus 1941. Pameran besar arsitektur juga digelar pada 1925, dengan
dukungan biro progresif AIA Bureau, Ghijsels, dan H.P. Berlage. Sebuah pameran
yang segera mengubah wajah Batavia jadi lebih elok dengan bangunan-bangunan
baru.
Umumnya, yang dipamerkan Bataviasche Kunstkring adalah karya
seniman akademis. Masyarakat Hindia Belanda menikmatinya sebagai sebuah
rekreasi yang elitis. Susah disangkal, pergerakan sejarah seni rupa Indonesia
yang ditokohi Sudjojono dan Agus Djaya, lewat Persagi (Persatuan Ahli-ahli
Gambar Indonesia, 1938) juga dikompori oleh aktivitas di gedung ini. Walau pada
masa itu sebagian masyarakat seni bumiputra “berseberangan” dalam aspek visi
dan sosial. Salah satu pengelolanya, J. de Loos-Haaxman, dikenang sebagai
intelektual ternama, dan menghasilkan buku berharga Verlaat Rapport
Indie serta Dagwerk in Indie.
Rumah Kesenian
Tahun 1942 Belanda mundur dan
Jepang masuk ke Indonesia. Dengan munculnya Poetera (Poesat Tenaga Rakjat)
serta Keimin Bunka Sidhoso, aneka perkumpulan berikut gedung-gedung kesenian
Belanda ditutup. Gedung Bataviasche Kunstkring kemudian dimanfaatkan jadi kantor
Majelis Islam, lalu kantor Imigrasi, dan selanjutnya dibeli oleh PT Mandala
Griya Cipta. Ketika reformasi 1998, gedung ini sempat rusak lantaran dipakai
untuk pos tentara yang menjaga Keluarga Cendana. Banyak elemen interior yang
estetik dan antik raib.
Setelah melacak sejarah, kita tidak
bisa mengelak bahwa gedung Bataviasche Kunstkring sesungguhnya memang milik
kesenian. Bukan milik jawatan imigrasi. Bukan milik pengusaha bar dan resto.
Karena itu, pada 2002, pemerintah Jakarta berkehendak mengembalikan fungsi
gedung itu sebagai tempat seni. Tapi upaya itu macet. Ketika Fauzi Bowo jadi
Gubernur Jakarta, upaya peninjauan kepemilikan dan fungsi gedung itu diupayakan
lagi. Namun upaya itu lagi-lagi terhenti.
Kini Jakarta berada di tangan Joko
Widodo, dan gedung Bataviasche Kunstkring menjelma menjadi resto Kunstkring Paleis. Istana kuliner
berselimut seni, yang agaknya juga “terlarang”, verboden toegang,
bagi siapa pun yang pas-pasan dalam aspek ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar