Minggu, 19 Mei 2013

Target Rentan Cuci Uang


Target Rentan Cuci Uang
Achmad Syafii Dosen dan Peneliti pada Fakultas Ekonomidan Bisnis,
Universitas Airlangga
JAWA POS, 18 Mei 2013


SATU dekade terakhir, Indonesia tidak lagi dipandang sebagai negara tujuan antara, yakni penghubung kawasan Asia dan Australia, tapi telah menjadi salah satu "surga" bagi pelaku pencucian uang internasional. Pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnational crime yang melibatkan jumlah uang raksasa. 

Saat ini Indonesia termasuk dalam daftar sepuluh negara yang memiliki arus lalu lintas "uang haram" terbesar di dunia sejak kurun 2001 sampai 2010  (liputan6.com). Tidak kurang dari Rp 2.156 triliun uang panas atau "uang neraka" beredar di Indonesia, jauh melebihi utang luar negeri Indonesia 2012 yang telah mencapai Rp 1.950 triliun. Bila legal, uang itu sangat berarti bagi pembiayaan pembangunan infrasturktur dan sumber daya manusia di Indonesia yang masih tertinggal.

Sebagian besar aktivitas yang sering ditunggangi pencucian uang itu adalah korupsi, perdagangan narkoba, dan pendanaan terorisme (Laporan PPATK, 2011). Bahkan dapat pula merambah pada sektor ekonomi informal. Apalagi situasi ini cukup kondusif dengan sebagian besar angkatan kerja di Indonesia, yakni 61 persen bekerja di sektor informal. 

Para pelaku pembalakan liar, perdagangan narkoba kelas teri (pengedar), maupun kaum "elite" (baca: ekonomi sulit), yakni kelompok penduduk miskin (11,6 persen) dan kelompok pencari kerja sebesar 5,92 persen, sering menjadi sasaran empuk praktik pencucian uang. Aktivitas politik pun jarang luput dari praktik ini. Misalnya, sumber donasi kampanye (pilkada, pileg, hingga pilpres) merupakan salah satu cara yang relatif sulit dideteksi. Sasaran utama pencucian uang ini adalah calon pemilih pada umumnya yang rentan ekonomi.

Perempuan Sasaran Rentan 

Berdasar kajian FE-Unair dan Bank Indonesia, secara struktur demografis, sebagian besar kelompok penduduk yang disasar oleh praktik pencucian uang adalah berjenis kelamin perempuan; masyarakat berpenghasilan rendah; dan berpendidikan menengah. Situasi ini relatif linier dengan karakteristik demografis masyarakat yang disasar oleh praktik pencucian uang (Jawa Pos: 12 dan 13 Mei 2013).

Sementara itu, ketidakpahaman masyarakat terhadap terminologi "pencucian uang" secara tidak langsung turut memberikan andil keterlibatan masyarakat sebagai korban pencucian uang. Berdasar studi di atas, tidak sedikit masyarakat dari berbagai jenjang pendidikan dan kelompok penghasilan, maupun kelompok umur yang kurang memahami makna pencucian uang yang merupakan tindak pidana.

Demikian pula slogan Bank Indonesia "kalau bersih, kenapa harus risih" belum banyak dipedulikan. Bahkan, institusi perbankan yang seharusnya menjadi garda terdepan dengan kampanye Know Your Customer (sekarang: Customer Due Dilligence) untuk mencegah tindak pidana pencucian uang ternyata kurang menjadi alat screening dan tidak bertaji menghadapi nasabah besar.

Semakin menguatnya potensi kejahatan pencucian uang, terutama dari korupsi dan narkoba, membawa konsekuensi negatif baik secara ekonomis maupun politis. Secara ekonomis, mengakibatkan mahalnya biaya yang ditanggung oleh industri keuangan Indonesia apabila melakukan transaksi dengan mitranya di luar negeri (risk premium). Inilah beban tambahan bagi perekonomian yang pada gilirannya mengurangi daya saing produk Indonesia.

Dari sisi politis, akan semakin banyak perhelatan pemilihan kepala daerah maupun DPRD, yang didanai oleh uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang yang berasal dari cukong hingga bos narkoba.

Langkah Ikhtiar 

Karena itu, pembangunan rezim antimoney laundering yang berupaya untuk melepaskan Indonesia dari daftar negara yang tidak kooperatif dalam memberantas tindak pidana pencucian uang (non-cooperative countries and territories atau NCCTs) oleh The Financial Action Task Force (FATF), agaknya, perlu diiringi dengan upaya strategis dan konkret. Pengalaman membuktikan, kebijakan/strategi top-down akan efektif bila didampingi dengan strategi multidimensi dan melibatkan tokoh panutan masyarakat.

Ada beberapa langkah strategis kampanye anti pencucian uang. Pertama, sosialisasi "bahaya pencucian uang" kepada masyarakat, terutama para ibu rumah tangga dan ABG (remaja) miskin dengan pendidikan menengah-bawah.

Kedua, melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh besar pada masyarakat agar dapat menjadi change implementor, misalnya: kaum intelektual yang diwakili oleh guru, ulama, artis, atau selebriti. Ketiga, memasukkan ke dalam kurikulum pelajaran agar sejak dini bahaya pencucian uang telah disadari oleh para siswa sekolah maupun mahasiswa. Sangat penting business visitsiswa/mahasiwa ke lembaga perbankan terdekat untuk lebih memahami bagaimana dunia perbankan mengenali nasabah mereka (know your customer).

Keempat, memanfaatkan organisasi formal maupun informal yang telah mengakar di masyarakat, seperti PKK, karang taruna, RT, RW, kelompok pengajian atau organisasi keagamaan, berbagai forum komunikasi masyarakat, berbagai asosiasi. Kelima, merumuskan slogan/moto yang mudah dicerna, dipahami dan diingat, oleh seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai cara, misalnya dengan mengadakan lomba kegiatan pembuatan slogan/moto. Keenam, penggunaan istilah "pencucian uang" hendaknya dicarikan padanan kata yang lebih mudah dimengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar