Minggu, 19 Mei 2013

Ancaman Oligarki Televisi


Ancaman Oligarki Televisi
R Kristiawan ;  Manajer Program Media dan Informasi Yayasan Tifa, Jakarta;
Aktif di Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP)
KORAN TEMPO, 18 Mei 2013

Dalam konteks transisional, media penyiaran telah bersalin rupa dari aktor pendorong demokrasi di ujung Orde Baru menjadi aktor yang mengancam demokrasi itu sendiri.
Kekhawatiran masyarakat akan hubungan pemilik media dengan politikus akhirnya terjadi juga. Di YouTube beredar rekaman yang berisi bagaimana kampanye sebuah partai akan disokong oleh pemilik beberapa stasiun televisi yang juga menjadi salah satu pimpinan partai tersebut. Jika pemilik media sekaligus juga aktif di dunia politik, kemungkinan untuk menggunakan media sebagai pamflet politik sangat mungkin terjadi. Menjelang Pemilu 2014, gejala-gejala itu akan makin kelihatan. Opini publik dan pilihan politik bisa tergiring sesuai dengan kehendak pemilik media. 
Sekarang saatnya kita mengevaluasi reformasi media yang dipelopori oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang sangat demokratis. Reformasi pers kemudian disusul oleh reformasi penyiaran lewat UU Nomor 32/2002. Keduanya menggantikan rezim regulasi otoriter Orde Baru. Rezim yang akomodatif terhadap gerakan reformasi waktu itu memungkinkan kedua aturan tersebut disahkan. Kedua produk hukum itu patut dicatat sebagai monumen demokrasi media karena regulasi media selanjutnya kembali cenderung otoriter lewat UU ITE Nomor 11/2008 dan UU Film Nomor 33/2009. Pertanyaannya, bagaimana mungkin UU Penyiaran yang demokratis itu bisa melahirkan kongkalikong antara pengusaha dan politikus seperti terasa saat ini? 
Transisi watak televisi
Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali ke sejarah menjelang bangkrutnya Orde Baru, ketika mahasiswa di berbagai kota bergerak bersama. Televisi swasta waktu itu cenderung berpihak pada reformasi. Teks semiotiknya muncul lewat gambar pembawa acara TV, Ira Koesno, yang menitikkan air mata saat membacakan berita gugurnya mahasiswa dalam Tragedi Semanggi. Televisi swasta, yang kelahirannya tidak lepas dari kroni Orde Baru, telah menjadi bagian penting dari reformasi. Dalam konteks melawan rezim penyiaran Orde Baru, kalangan televisi swasta saat itu pun bahu-membahu bersama kalangan masyarakat sipil dalam melahirkan regulasi baru yang lebih terbuka dan demokratis. Maka, lahirlah UU Penyiaran Nomor 32/2002 sebagai antitesis terhadap rezim kontrol negara. 
Paradigma hukum penyiaran yang dipakai undang-undang itu adalah paradigma liberal, di mana penyiaran diatur oleh lembaga independen. Di Indonesia, regulator ini bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Paradigma lain yang diadopsi adalah pembatasan kepemilikan stasiun penyiaran. Untuk Indonesia, pembatasan yang dipakai didasari kriteria geografis, di mana satu pemilik hanya boleh memiliki satu stasiun di satu provinsi. Pemilik itu bisa memiliki satu stasiun lagi, namun harus di provinsi yang berbeda. Prinsip ini diterapkan karena penyiaran memakai domain publik bernama frekuensi yang jumlahnya terbatas.
Kedua paradigma demokratis itulah yang mengganggu kepentingan bisnis penyiaran Indonesia. Industri penyiaran tidak mau diatur oleh KPI, karena KPI memiliki wewenang yang kuat sampai mencabut izin siaran. Hal ini sangat mengganggu kepentingan penyiaran swasta karena, secara historis, mereka lebih nyaman berhubungan dengan pemerintah, yang lebih mudah "diatur". Untuk itu, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) bersama IJTI, PRSSNI, KomTeve, PPPI, dan PERSUSI mengajukan judicial review ke MK pada 2005 untuk meninjau ulang wewenang KPI. Anehnya, MK menyetujui judicial review tersebut karena menilai wewenang KPI tidak sesuai dengan konstitusi. Padahal, di negara demokratis mana pun di dunia, penyiaran termasuk item yang highly regulated, sehingga perlu diatur oleh lembaga independen. Inilah awal dari bencana tayangan televisi, karena KPI kemudian hanya mampu memantau isi penyiaran tanpa berhak menjatuhkan sanksi. 
Dalam hal kepemilikan, yang direkomendasikan oleh UU Penyiaran adalah sistem penyiaran berjaringan dengan pertimbangan luas wilayah Indonesia, keragaman budaya, dan desentralisasi. Lagi-lagi aturan ini diganjal oleh ATVSI karena mereka tidak mau membagi kue iklan kepada daerah yang telanjur mereka nikmati semasa Orde Baru. Sampai sekarang, sistem berjaringan itu tidak pernah terwujud walau sempat diberi batas waktu implementasinya sampai 27 Desember 2007. Yang terjadi justru pemusatan kepemilikan televisi di Jakarta. Negara seluas Indonesia ini hanya dikontrol oleh segelintir televisi di Jakarta. 
Kebrutalan terjadi pada tahap ini. Pelanggaran terang-terangan telah terjadi, di mana satu perusahaan media memiliki beberapa media penyiaran sekaligus di satu provinsi. Grup MNC, misalnya, memiliki RCTI, Global TV, dan MNC TV pada wilayah siar Jakarta. Demikian pula Indosiar dan SCTV di bawah satu payung EMTEC, dan ANTV serta TV One milik Bakrie. Pada tahap ini saja, sudah terjadi pelanggaran prinsip keragaman informasi yang menjadi syarat penting demokrasi. Struktur kepemilikan yang homogen akan melahirkan informasi yang homogen pula. Pilihan publik terhadap informasi menjadi terbatas sehingga persepsi publik tentang realitas sosial pun menjadi homogen. Ditambah kualitas tayangan yang rendah, bisa dibayangkan kualitas imajinasi masyarakat Indonesia tentang realitas saat ini. 
Salah satu ujung penting dari persoalan konsentrasi kepemilikan adalah pemilu. Beberapa nama, seperti Hary Tanoesoedibjo, Aburizal Bakrie, dan Surya Paloh, merupakan pemilik media sekaligus pemimpin partai. Survei ISAI dan Yayasan Tifa tentang media dalam Pemilu 2004 dan 2009 membuktikan bahwa SBY berhasil menjadi pemenang pemilu dan SBY paling banyak diberitakan media. Artinya, siapa yang menguasai isi media akan cenderung memenangi pemilu. Pemilik media tentunya punya akses besar terhadap manajemen isi media, seperti tampak dalam tayangan YouTube yang beredar. Inilah yang sepatutnya menjadi keprihatinan bersama. Oligarki politik kita saat ini telah pula diikuti oleh oligarki media penyiaran yang sangat mengancam demokrasi. Dalam konteks transisional, media penyiaran telah bersalin rupa dari aktor pendorong demokrasi di ujung Orde Baru menjadi aktor yang mengancam demokrasi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar