|
KORAN
TEMPO, 18 Mei 2013
Dalam konteks transisional, media penyiaran telah bersalin
rupa dari aktor pendorong demokrasi di ujung Orde Baru menjadi aktor yang
mengancam demokrasi itu sendiri.
Kekhawatiran masyarakat akan hubungan pemilik media dengan
politikus akhirnya terjadi juga. Di YouTube beredar rekaman yang berisi
bagaimana kampanye sebuah partai akan disokong oleh pemilik beberapa stasiun
televisi yang juga menjadi salah satu pimpinan partai tersebut. Jika pemilik
media sekaligus juga aktif di dunia politik, kemungkinan untuk menggunakan
media sebagai pamflet politik sangat mungkin terjadi. Menjelang Pemilu 2014,
gejala-gejala itu akan makin kelihatan. Opini publik dan pilihan politik bisa
tergiring sesuai dengan kehendak pemilik media.
Sekarang saatnya kita mengevaluasi reformasi media yang
dipelopori oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang sangat demokratis.
Reformasi pers kemudian disusul oleh reformasi penyiaran lewat UU Nomor
32/2002. Keduanya menggantikan rezim regulasi otoriter Orde Baru. Rezim yang
akomodatif terhadap gerakan reformasi waktu itu memungkinkan kedua aturan
tersebut disahkan. Kedua produk hukum itu patut dicatat sebagai monumen
demokrasi media karena regulasi media selanjutnya kembali cenderung otoriter
lewat UU ITE Nomor 11/2008 dan UU Film Nomor 33/2009. Pertanyaannya, bagaimana
mungkin UU Penyiaran yang demokratis itu bisa melahirkan kongkalikong antara
pengusaha dan politikus seperti terasa saat ini?
Transisi watak televisi
Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali ke sejarah
menjelang bangkrutnya Orde Baru, ketika mahasiswa di berbagai kota bergerak
bersama. Televisi swasta waktu itu cenderung berpihak pada reformasi. Teks
semiotiknya muncul lewat gambar pembawa acara TV, Ira Koesno, yang menitikkan
air mata saat membacakan berita gugurnya mahasiswa dalam Tragedi Semanggi.
Televisi swasta, yang kelahirannya tidak lepas dari kroni Orde Baru, telah
menjadi bagian penting dari reformasi. Dalam konteks melawan rezim penyiaran
Orde Baru, kalangan televisi swasta saat itu pun bahu-membahu bersama kalangan
masyarakat sipil dalam melahirkan regulasi baru yang lebih terbuka dan
demokratis. Maka, lahirlah UU Penyiaran Nomor 32/2002 sebagai antitesis
terhadap rezim kontrol negara.
Paradigma hukum penyiaran yang dipakai undang-undang itu
adalah paradigma liberal, di mana penyiaran diatur oleh lembaga independen. Di
Indonesia, regulator ini bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Paradigma
lain yang diadopsi adalah pembatasan kepemilikan stasiun penyiaran. Untuk
Indonesia, pembatasan yang dipakai didasari kriteria geografis, di mana satu
pemilik hanya boleh memiliki satu stasiun di satu provinsi. Pemilik itu bisa
memiliki satu stasiun lagi, namun harus di provinsi yang berbeda. Prinsip ini
diterapkan karena penyiaran memakai domain publik bernama frekuensi yang
jumlahnya terbatas.
Kedua paradigma demokratis itulah yang mengganggu
kepentingan bisnis penyiaran Indonesia. Industri penyiaran tidak mau diatur
oleh KPI, karena KPI memiliki wewenang yang kuat sampai mencabut izin siaran.
Hal ini sangat mengganggu kepentingan penyiaran swasta karena, secara historis,
mereka lebih nyaman berhubungan dengan pemerintah, yang lebih mudah
"diatur". Untuk itu, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)
bersama IJTI, PRSSNI, KomTeve, PPPI, dan PERSUSI mengajukan judicial review ke
MK pada 2005 untuk meninjau ulang wewenang KPI. Anehnya, MK menyetujui judicial
review tersebut karena menilai wewenang KPI tidak sesuai dengan konstitusi.
Padahal, di negara demokratis mana pun di dunia, penyiaran termasuk item yang
highly regulated, sehingga perlu diatur oleh lembaga independen. Inilah awal
dari bencana tayangan televisi, karena KPI kemudian hanya mampu memantau isi
penyiaran tanpa berhak menjatuhkan sanksi.
Dalam hal kepemilikan, yang direkomendasikan oleh UU
Penyiaran adalah sistem penyiaran berjaringan dengan pertimbangan luas wilayah
Indonesia, keragaman budaya, dan desentralisasi. Lagi-lagi aturan ini diganjal
oleh ATVSI karena mereka tidak mau membagi kue iklan kepada daerah yang
telanjur mereka nikmati semasa Orde Baru. Sampai sekarang, sistem berjaringan
itu tidak pernah terwujud walau sempat diberi batas waktu implementasinya
sampai 27 Desember 2007. Yang terjadi justru pemusatan kepemilikan televisi di
Jakarta. Negara seluas Indonesia ini hanya dikontrol oleh segelintir televisi
di Jakarta.
Kebrutalan terjadi pada tahap ini. Pelanggaran
terang-terangan telah terjadi, di mana satu perusahaan media memiliki beberapa
media penyiaran sekaligus di satu provinsi. Grup MNC, misalnya, memiliki RCTI,
Global TV, dan MNC TV pada wilayah siar Jakarta. Demikian pula Indosiar dan
SCTV di bawah satu payung EMTEC, dan ANTV serta TV One milik Bakrie. Pada tahap
ini saja, sudah terjadi pelanggaran prinsip keragaman informasi yang menjadi
syarat penting demokrasi. Struktur kepemilikan yang homogen akan melahirkan
informasi yang homogen pula. Pilihan publik terhadap informasi menjadi terbatas
sehingga persepsi publik tentang realitas sosial pun menjadi homogen. Ditambah
kualitas tayangan yang rendah, bisa dibayangkan kualitas imajinasi masyarakat
Indonesia tentang realitas saat ini.
Salah satu ujung penting dari persoalan konsentrasi
kepemilikan adalah pemilu. Beberapa nama, seperti Hary Tanoesoedibjo, Aburizal
Bakrie, dan Surya Paloh, merupakan pemilik media sekaligus pemimpin partai.
Survei ISAI dan Yayasan Tifa tentang media dalam Pemilu 2004 dan 2009
membuktikan bahwa SBY berhasil menjadi pemenang pemilu dan SBY paling banyak
diberitakan media. Artinya, siapa yang menguasai isi media akan cenderung
memenangi pemilu. Pemilik media tentunya punya akses besar terhadap manajemen
isi media, seperti tampak dalam tayangan YouTube yang beredar. Inilah yang
sepatutnya menjadi keprihatinan bersama. Oligarki politik kita saat ini telah
pula diikuti oleh oligarki media penyiaran yang sangat mengancam demokrasi.
Dalam konteks transisional, media penyiaran telah bersalin rupa dari aktor
pendorong demokrasi di ujung Orde Baru menjadi aktor yang mengancam demokrasi
itu sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar