|
SUARA
KARYA, 11 Mei 2013
Salah satu faktor terkikisnya
kebanggaan berbahasa Indonesia pada sebagian atau bahkan separuh masyarakat
Indonesia, disebabkan dan terkait dengan kebijakan pemerintah sendiri yang
dalam praktiknya kurang memberikan ketegasan. Contohnya, nama-nama bank dan
perusahaan skala nasional masih banyak yang menggunakan bahasa asing, terutama
bahasa Inggris dan dibiarkan bertabur begitu saja. Kalau berkaca pada negara
tetangga, Malaysia, misalnya, sungguh sangat berbeda. Di Malaysia, segala
bentuk bahasa asing untuk sebuah penamaan atau ungkapan telah diubah ke dalam
ejaan Melayu secara konsisten.
Terkikisnya rasa kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia juga alatan 'dikotori' oleh perbuatan pemimpin kita
yang tidak sungguh-sungguh menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan secara
bermoral. Bahasa Indonesia hanya dijadikan alat permainan pencitraan belaka
dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Terselipnya kosakata-kosakata bahasa
Inggeis dalam setiap pidato kenegaraan, misalnya, membuktikan adanya sikap yang
tidak ajeg dalam berbahasa. Atau, memang sengaja hal itu diniatkan dalam rangka
teknik dan strategi mencuri simpati Barat.
Kita wajib bersungguh-sungguh
melestarikan bahasa Indonesia yang sejatinya merupakan bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional kita. Patut diapresiasi, dibubarkannya RSBI (Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional) oleh Komisi Yudisial (KY), baru-baru ini karena
memang RSBI bertolak-belakang dengan semangat nasionalisme kita.
Sejatinya pembelajaran bahasa
Indonesia menguatkan cermin karakter budaya bangsa. Bahasa Indonesia tidak
cukup dipandang sebagai alat pemersatu, melainkan juga bahasa kebudayaan yang
patut disyukuri sebagai berkah tersendiri dari Allah SWT. Melalui jiwa-jiwa
pemimpin bangsa yang telah melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan, melalui Sumpah
Pemuda, sejatinya bahasa Indonesia telah mempersaudarakan kita dalam ikatan
satu bahasa meskipun berbeda ras dan agama.
Di lain sisi, kedudukan bahasa
daerah juga penting terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, pendukung atau penyokong kebudayaan. Bahasa Sunda atau bahasa daerah lainnya
sebagai 'dulur' setanah bangsa yang menguatkan wawasan kearifan budaya lokal.
Sementara itu bahasa Inggris atau bahasa asing sebagai 'sahabat' seperjuangan
dalam meraih kebijaksanaan global, mengunduh segala ilmu pengetahuan berwawasan
dunia.
Lokalistik
Seorang pakar linguistik pernah
menyatakan bahwa bahasa itu bersifat arbitrer atau manasuka. Tergantung minat,
niat dan kesukaan para pemakai bahasa itu sendiri. Bahasa, tak bisa dipaksakan.
Memang, peran media massa sangat urgen dalam upaya pengembangan dan pelestarian
bahasa. Contoh kecil, dulu P3B (Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) yang
sekarang berganti nama menjadi Badan Bahasa, pernah mempromosikan kata baku
'sangkil' dan 'mangkus' yang merujuk pada pengertian 'efektif' dan 'efisien'. Sayang,
upaya itu sia-sia, kata yang laris manis tetap saja kata 'efektif' dan
'efisien' yang telah dipakai khalayak banyak.
Kasusnya hampir sama dengan
pembelajaran bahasa dan aksara Sunda yang belakangan dirisaukan oleh para guru
bahasa Sunda di sekolah-sekolah di Jawa Barat, khususnya. Materi aksara dan
bahasa Sunda dalam sisi kepraktisan berbahasa memang seolah-olah mubazir atau
hanya menjadi bahasa estetik semata yang bersifat lokalistik. Ini berbeda
dengan aksara China dan huruf Kanji Jepang yang tetap dipakai masyarakat
penggunanya secara formal dan non-formal karena menyangkut eksistensi
negara-bangsa.
Fakta di lapangan, menurut salah
satu survei di daerah perbatasan dengan ibu kota seperti Depok, Bekasi, dan
Bogor, kecenderungan pembelajaran bahasa Sunda ternyata hanya sebagai
'pelengkap penderita'. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada sekolah-sekolah
yang hanya memberikan nilai bahasa Sunda saja pada buku rapor siswa tanpa
adanya kegiatan pembelajaran bahasa Sunda di dalam kelas. Dan, guru pun hanya sebatas
gugur kewajiban dalam mengajarkan bahasa Sunda. Pembelajaran bahasa Sunda di
sekolah seakan sia-sia. Selain itu, secara psikomotorik, siswa banyak mengalami
kesulitan dalam memperoleh kosakata bahasa Sunda di tengah-tengah dialek Betawi
yang begitu kental.
Pada kenyataannya, peserta didik
juga cenderung menjatuhkan pilihan pada bahasa Inggris, bahasa yang dianggap
penting dalam konteks kekinian. Respon globalisasi di bidang pengetahuan dan
teknologi menuntut penguasaan bahasa Inggris sebagai hal yang niscaya. Sebagai
contoh sederhana, misalnya, lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan kini
menuntut kecakapan dan kemahiran bahasa Inggris secara memadai. Jarang ada
lowongan pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang menuntut kecakapan bahasa
daerah.
Maka dari itu, baik bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa Sunda (daerah) sebagai bahasa
kearifan lokal maupun bahasa Inggris (asing) sebagai bahasa wawasan global
perlu mendapatkan porsi dan posisinya yang tegas dan selaras dalam konteks
kebijakan dan kurikulum pendidikan. Tugas kita semua, harus memikirkannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar