|
REPUBLIKA,
06 Mei 2013
Karut-marut
penegakan hukum di negeri ini memberikan pertanda (sign) bahwa realitas penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari
amanah konstitusi yang menegaskan republik adalah sebuah neg ara
hukum. Kasus perlawanan eksekusi oleh Susno, meski pada akhirnya bersedia
menyerahkan diri setelah sempat melakukan tawar-menawar dengan Kejakgung
mengenai cara dan tempat eksekusinya, masih samarnya penegakan hukum dalam
kasus bail out Century, dan sejenisnya
adalah tanda-tanda (signifier) dari
sebuah negara hukum yang mengalami kemerosotan.
Tidak
adanya keteladanan dari pemimpin/elite penguasa dalam mematuhi hukum merupakan
awal terjadinya banalitas keadilan dalam penegakan hukum. Filsuf al-Farabi
pernah mengatakan bahwa pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan
kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan
akal. Kepalalah, menurut al-Farabi, yang menjadi sumber dari segala
peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan
kuat, pintar, serta cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Al Farabi
meyakini bahwa peran pemimpin/elite penguasa merupakan fondasi dari tegak atau
ambruknya pilar-pilar hukum dan keadilan di suatu negara.
Al-Farabi
membuat klasifikasi negara menjadi beberapa macam, tiga di antaranya adalah
negara utama, negara yang bodoh, dan negara yang rusak.
Negara yang utama adalah negara yang masing-masing warganya, baik pemimpin maupun rakyat, sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Negara yang utama adalah negara yang masing-masing warganya, baik pemimpin maupun rakyat, sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Pemimpinnya dapat menjadi suri teladan bagi rakyatnya dan sebaliknya rakyatnya
mencintai/menghormati negara dan pemimpinnya beserta segala aturan yang
diciptakan negara. Negara yang bodoh adalah negara yang hanya mengerti terhadap
pemenuhan kebutuhan material bagi rakyatnya dan melakukan penumpukan kekayaan
tanpa menyertakan moralitas di dalamnya.
Sedangkan, negara yang rusak, menurut al-Farabi, adalah hampir sama dengan
negara bodoh karena meskipun ingin memberikan kebahagiaan untuk rakyatnya,
hanya memuaskan kebutuhan material rakyatnya. Negara seperti ini tidak
memedulikan dimensi moralitas-ruhaniah bagi kehidupan rakyatnya.
Klasifikasi
negara yang terburuk, menurut al-Farabi, adalah negara yang sesat, yaitu negara
yang di dalamnya berkembang penipuan, korupsi, ataupun kebohongan. Hukum di
negeri ini dalam pandangan filsuf postmodern, seperti Baudrillard telah
menjelma menjadi sebuah tanda dusta (false
sign). Tanda dusta adalah tanda yang memperlihatkan relasi asimetris
antara tanda dan realitas. Hukum telah menjadi apa yang oleh Umberto Eco di
sebut sebagai alat dusta. Dalam berbagai pernyataan, para elite politik selalu
ingin menampilkan kesan adanya supremasi hukum di negeri ini. Namun,
realitasnya hukum justru menjadi alat permainan bahasa (language games) yang menjadi tanda palsu (pseudo sign). Teks undang- undang bisa ditafsirkan menurut selera
dan kepentingan penguasa serta vonis pengadilan jauh dari perwujudan keadilan
restoratif maupun substantif.
Tengoklah
disparitas keadilan dalam berbagai putusan kasus-kasus korupsi yang menjadi
vonis paling ringan di seluruh dunia bagi kasus-kasus korupsi. Proses rekrutmen
politik dari para calon legislatif yang bermasalah dan hanya mampu menjaring
calon-calon bermasalah, baik secara moral, hukum, maupun politik menjadi awal
dari kebobrokan sistem legislasi.
Produk
legislasi berupa undang-undang yang bermasalah, multitafsir, dan hanya
merupakan perwujudan dari transaksi politik maupun kepentingan serta ditegakkan
oleh penegak hukum dalam birokrasi penegakan hukum yang korup, hanya akan
menghasilkan hukum yang miskin keadilan. Guna mengatasi karut-marutntya sebuah
negara, al-Farabi menyarankan agar para pemimpin/elite penguasa mampu menaikkan
standar moralitas dirinya sampai pada level akal fa'al (akal aktif) yang
darinya wahyu dan ilham dapat diambil.
Dengan
kata lain, moralitas kaum elite penguasa sangat menentukan untuk bisa
memperbaiki negara yang merosot. Persyaratan ini menunjukkan bahwa reformasi
penegakan hukum harus dimulai dari kesadaran hukum sang pemimpin agar dapat
menuntun rakyatnya untuk melangkah di jalan yang benar dengan berkaca pada
moralitas pemimpinnya.
Kriminalisasi
seseorang yang giat menegakkan hukum dan sebaliknya dekriminalisasi sebuah
kasus hukum telah menjadikan hukum sebagai tanda dusta (false sign) yang menjadi pertanda dari kemerosotan sebuah negara
dalam klasifi kasi al-Farabi. Pilihan negeri ini untuk menjadi sebuah negara
demokrasi konstitusional pada hakikatnya adalah sebuah pilihan yang bijak.
Namun,
konstitusi dan norma-norma hukum yang diderivasi darinya harus mampu menopang
sistem demokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Jangan sampai
konstitusi dan norma-norma hukum justru menjadi malefice atau sorcery,
yaitu tanda yang menopengi sebuah realitas yang sesungguhnya tidak ada (masks the absence of basic reality). Artinya,
konstitusi yang telah susah payah diamendemen dan norma- norma hukum yang
diderivasi darinya tak lebih hanya menjadi topeng dari sebuah banalitas
penegakan hukum. Konstitusi menjadi tempat hukum dimodifikasikan dan
disubordinasikan di bawah hegemoni syahwat politik dan naluri berkuasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar