Senin, 13 Mei 2013

Hukum di Tangan Penguasa


Hukum di Tangan Penguasa
W Riawan Tjandra  ;  Pengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
REPUBLIKA, 06 Mei 2013


Karut-marut penegakan hukum di negeri ini memberikan pertanda (sign) bahwa realitas penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari amanah konstitusi yang menegaskan republik adalah sebuah neg ara hukum. Kasus perlawanan eksekusi oleh Susno, meski pada akhirnya bersedia menyerahkan diri setelah sempat melakukan tawar-menawar dengan Kejakgung mengenai cara dan tempat eksekusinya, masih samarnya penegakan hukum dalam kasus bail out Century, dan sejenisnya adalah tanda-tanda (signifier) dari sebuah negara hukum yang mengalami kemerosotan.

Tidak adanya keteladanan dari pemimpin/elite penguasa dalam mematuhi hukum merupakan awal terjadinya banalitas keadilan dalam penegakan hukum. Filsuf al-Farabi pernah mengatakan bahwa pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepalalah, menurut al-Farabi, yang menjadi sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, serta cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Al Farabi meyakini bahwa peran pemimpin/elite penguasa merupakan fondasi dari tegak atau ambruknya pilar-pilar hukum dan keadilan di suatu negara.

Al-Farabi membuat klasifikasi negara menjadi beberapa macam, tiga di antaranya adalah negara utama, negara yang bodoh, dan negara yang rusak.
Negara yang utama adalah negara yang masing-masing warganya, baik pemimpin maupun rakyat, sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Pemimpinnya dapat menjadi suri teladan bagi rakyatnya dan sebaliknya rakyatnya mencintai/menghormati negara dan pemimpinnya beserta segala aturan yang diciptakan negara. Negara yang bodoh adalah negara yang hanya mengerti terhadap pemenuhan kebutuhan material bagi rakyatnya dan melakukan penumpukan kekayaan tanpa menyertakan moralitas di dalamnya.
Sedangkan, negara yang rusak, menurut al-Farabi, adalah hampir sama dengan negara bodoh karena meskipun ingin memberikan kebahagiaan untuk rakyatnya, hanya memuaskan kebutuhan material rakyatnya. Negara seperti ini tidak memedulikan dimensi moralitas-ruhaniah bagi kehidupan rakyatnya. 

Klasifikasi negara yang terburuk, menurut al-Farabi, adalah negara yang sesat, yaitu negara yang di dalamnya berkembang penipuan, korupsi, ataupun kebohongan. Hukum di negeri ini dalam pandangan filsuf postmodern, seperti Baudrillard telah menjelma menjadi sebuah tanda dusta (false sign). Tanda dusta adalah tanda yang memperlihatkan relasi asimetris antara tanda dan realitas. Hukum telah menjadi apa yang oleh Umberto Eco di sebut sebagai alat dusta. Dalam berbagai pernyataan, para elite politik selalu ingin menampilkan kesan adanya supremasi hukum di negeri ini. Namun, realitasnya hukum justru menjadi alat permainan bahasa (language games) yang menjadi tanda palsu (pseudo sign). Teks undang- undang bisa ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa serta vonis pengadilan jauh dari perwujudan keadilan restoratif maupun substantif. 

Tengoklah disparitas keadilan dalam berbagai putusan kasus-kasus korupsi yang menjadi vonis paling ringan di seluruh dunia bagi kasus-kasus korupsi. Proses rekrutmen politik dari para calon legislatif yang bermasalah dan hanya mampu menjaring calon-calon bermasalah, baik secara moral, hukum, maupun politik menjadi awal dari kebobrokan sistem legislasi. 

Produk legislasi berupa undang-undang yang bermasalah, multitafsir, dan hanya merupakan perwujudan dari transaksi politik maupun kepentingan serta ditegakkan oleh penegak hukum dalam birokrasi penegakan hukum yang korup, hanya akan menghasilkan hukum yang miskin keadilan. Guna mengatasi karut-marutntya sebuah negara, al-Farabi menyarankan agar para pemimpin/elite penguasa mampu menaikkan standar moralitas dirinya sampai pada level akal fa'al (akal aktif) yang darinya wahyu dan ilham dapat diambil. 

Dengan kata lain, moralitas kaum elite penguasa sangat menentukan untuk bisa memperbaiki negara yang merosot. Persyaratan ini menunjukkan bahwa reformasi penegakan hukum harus dimulai dari kesadaran hukum sang pemimpin agar dapat menuntun rakyatnya untuk melangkah di jalan yang benar dengan berkaca pada moralitas pemimpinnya. 

Kriminalisasi seseorang yang giat menegakkan hukum dan sebaliknya dekriminalisasi sebuah kasus hukum telah menjadikan hukum sebagai tanda dusta (false sign) yang menjadi pertanda dari kemerosotan sebuah negara dalam klasifi kasi al-Farabi. Pilihan negeri ini untuk menjadi sebuah negara demokrasi konstitusional pada hakikatnya adalah sebuah pilihan yang bijak.

Namun, konstitusi dan norma-norma hukum yang diderivasi darinya harus mampu menopang sistem demokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Jangan sampai konstitusi dan norma-norma hukum justru menjadi malefice atau sorcery, yaitu tanda yang menopengi sebuah realitas yang sesungguhnya tidak ada (masks the absence of basic reality). Artinya, konstitusi yang telah susah payah diamendemen dan norma- norma hukum yang diderivasi darinya tak lebih hanya menjadi topeng dari sebuah banalitas penegakan hukum. Konstitusi menjadi tempat hukum dimodifikasikan dan disubordinasikan di bawah hegemoni syahwat politik dan naluri berkuasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar