|
SUARA
KARYA, 11 Mei 2013
Peringatan Hari Pendidikan
Nasional 2013, berdasarkan surat ederan Menteri Pendidikan No 080/MPK.F/LL/2013
mengambil tema, "Meningkatkan Kualitas dan Akses Berkeadilan". Tema
itu terasa sangat paradoks. Penyebabnya, silang sengkarutnya wajah pendidikan
kita saat ini. Satu di antaranya kisruh ujian nasional (UN).
Permasalahan distribusi soal, soal
yang tertukar, tidak cukup lembaran soal dan harus difotokopi di luar, kertas
jawaban berkualitas rendah dan lain-lainnya, hanya beberapa persoalaan yang
mengemuka dalam pelaksanaan UN kali ini, khususnya di 11 provinsi di Indonesia
Tengah. Parahnya lagi, UN harus ditunda di 30 kabupaten di Sumatera Utara.
Pertanyaannya, di manakah kualitas dan akses berkeadilan itu, kalau UN-nya saja
silang sengkarut?
Adanya kisruh UN ini semakin
menambah sentimen negatif masyarakat terhadap kinerja Kemendikbud. UN yang
sejak awal banyak diperdebatkan akan semakin disorot. Ini bisa membuat
masyarakat semakin meragukan pengelolaan pendidikan.
Selanjutnya, atas berbagai kisruh
UN 2013, Kemendikbud seharusnya mau mengevaluasi diri, termasuk UN SD yang
dilaksanakan pada 6-8 Mei. Namun, bagaimanapun, kisruh UN sempat mendatangkan
kecemasan bagi pesertanya. Casbarro J (2005) menyebutkan bahwa manifestasi
kecemasan ujian terwujud sebagai kolaborasi dan perpaduan tiga aspek yang tidak
terkendali dalam diri individu, yaitu manifestasi kognitif, afektif, dan
perilaku motorik.
Manifestasi kognitif yang terwujud
dalam bentuk ketegangan pikiran siswa, sehingga membuat siswa sulit
konsentrasi, kebingungan menjawab soal dan mengalami mental blocking. Kemudian,
manifestasi afektif, yang diwujudkan dalam perasaan yang tidak menyenangkan
seperti khawatir, takut dan gelisah yang berlebihan. Terakhir, perilaku motorik
bisa tidak terkendali, yang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti
gemetar, sering merasa ingin ke belakang dan sebagainya.
Dalam keadaan siswa dilanda
kecemasan, kemampuan maksimal tidak akan keluar. Karena, konsentrasi mereka
tidak secara total. Kondisi siswa seperti ini berakibat pada rendahnya capaian
hasil pekerjaan. Oleh sebab itu, dalam menghadapi UN khususnya SD, pihak
Kemendikbud sepantasnya terbuka dan mengevaluasi diri terhadap apa pun yang
terjadi.
Selanjutnya, kisruh UN ini
menunjukkan adanya ketidakberesan dalam reformasi birokrasi di bidang
pendidikan. Penyebabnya, reformasi pengelolaan pendidikan tidak disertai
reformasi mental penyelenggaranya, yang masih mempunyai mindset lama dengan
kacamata kudanya.
Meminjam istilahnya, Rhenald Kasali bahwa pendidikan di
Indonesia tidak menghasilkan pribadi yang unggul, yang minim DNA perubahan.
Para pejabat penyelenggara pendidikan belum mempunyai jiwa OCEAN yaitu, openness to experience (keterbukaan
pikiran), conscientousness
(keterbukaan hati dan telinga), extrovertion
(keterbukaan terhadap penderitaan rakyat), agreeableness
(keterbukaan terhadap kesepakatan), dan neuruticism
(keterbukaan terhadap tekanan-tekanan).
Padahal, untuk mengelola
pendidikan di abad 21 yang semakin kompleks dibutuhkan orang-orang berjiwa
OCEAN seperti disebutkan oleh Rhenald Kasali. Dibutuhkan orang-orang yang luar
biasa (extra ordinary people) untuk
membawa pendidikan yang bisa menjemput masa depan. Jika tidak jadilah
pendidikan kita, bak tarian poco-poco (maju selangkah mundur selangkah), meminjam
istilahnya Megawati.
Apalagi melihat kondisi Indonesia
yang sangat beragam, hal ini sudah seringkali menjadi pembahasan banyak pihak.
Kondisi heterogen ini tidak akan mampu dibawa pada satu aturan yang seragam.
Artinya, pendelegasian wewenang dalam pelaksanaan UN perlu dipertimbangkan.
Keunikan daerah beserta karakteristik seluruh penghuninya seharusnya
diakomodasikan melalui sistem pendidikan yang sesuai kebutuhan daerah, bukan
hanya sesuai kehendak Jakarta. Kita diingatkan pepatah lama, "Dimana bumi dipijak,
di situ langit dijunjung." Kearifan lokal seharusnya menjadi satu pijakan
untuk menentukan sistem yang akan diterapkan. Bukannya memaksakan satu sistem
yang baku yang terus diyakini akan sukses membawa pendidikan ini kepada visi
yang dicita-citakan.
Padahal, untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, bisa ditempuh dengan cara-cara yang berbeda. Tidak harus
dengan cara yang monoton dan seragam dari Sabang sampai Meurauke. Secara logika
saja, hal tersebut tidaklah mungkin. Sebagai bahan perenungan, siswa yang ada
di pucuk pegunungan Jaya Wijaya (Papua) tidaklah bisa diperlakukan sama dengan
siswa yang ada di Jakarta. Siswa di Papua tidak bisa setiap hari menemukan
gurunya yang siap berada di kelasnya, tidak setiap siswa pula mampu membeli
buku-buku pelajaran, dan bahkan setiap hari mereka harus melewati jalanan yang
becek dan berlumpur untuk mencapai sekolahnya.
Dengan sistem pendidikan yang
terpusat di Jakarta, merupakan bentuk pengingkaran atas keunikan lokal yang
dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada di berbagai daerah seharusnya
dioptimalkan dengan cara memberdayakan daerah. Ini lebih masuk akal. Alasannya
pun logis. Di samping untuk efektivitas pelaksanaannya juga bisa menekan
anggaran. Karena, untuk saat ini, anggaran UN lebih besar dihabiskan untuk
operasional. Dengan memperpendek rantai koordinasi, dengan sendirinya memangkas
jalur birokrasi.
Sistem pendelegasian wewenang juga
akan menggerakkan roda usaha yang ada di daerah. Sehingga, uang yang beredar di
daerah pun semakin meningkat jumlahnya. Tidak seperti sekarang semua ditentukan
di Jakarta. Dengan sendirinya daerah hanya sebagai penonton. Namun, ketika
bermasalah, merekalah yang kena getahnya (ora
mangan nangkane, keno pulute). Kalau pendidikan/UN tidak ada pendelegasian
ke daerah, tema Hardiknas, "Meningkatkan
Kualitas dan Akses Berkeadilan," hanyalah sebagai pemanis kata. Atau, "bertanam tebu di bibir." Nah! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar